Kamu Cina atau Bali ?


“Kontak sosial antara etnis Tionghoa dengan penduduk Bali sudah terjadi jauh sebelum perkawinan Jaya Kasunu dan Kang Cing Wei. Jadi tonggak awal akulturasi budaya Cina-Bali bukan ditandai dengan adanya perkawinan campur  tersebut,” tutur The Boen Tjaw, ahli akupuntur yang menaruh minat pada sejarah akulturasi budaya Cina-Bali.

Budaya Cina merupakan sebuah budaya yang sudah lama berada di tanah Bali ini. Menurut penuturan The Boen Tjaw, orang Cina datang ke Bali berpuluh abad yang lalu saat abu Raja Jayengrat, Raja di Tanah Guan,Cina, dikremasi dan dibuang ke Laut Cina Selatan. Saat itu terdapat 8.000 orang yang datang ke Bali dari tanah Guan, Cina dan mereka menelusuri pulau yang baru mereka pijaki dan bersosialisasi terhadap warga sekitar. “Orang Cinalah yang mendirikan Pura Purusada yang terletak di Desa Kapal, Badung itu. Hal ini diuraikan dalam Babad Champaga, jadi memang merupakan fakta sejarah,” kata pengusaha bengkel las tersebut. Berbeda dengan keterangan Dra. Sulandjari, M.A., yang merupakan Dosen Sejarah Fakultas Sastra, Universitas Udayana. “Kedatangan etnis Cina datang ke Indonesia pada zaman VOC karena ada urusan dagang,”ujarnya.

“Pada awalnya budaya Cina dan budaya Bali berdiri sendiri, berkat ada kontak di berbagai aspek terjadi percampuran secara psikologis, budaya, dan sosial. Berkat adanya kontak yang mendalam, terjadilah akulturasi. Kontak sosial juga terjadi di bidang religius, dimana orang Cina selain melakukan budaya Budha juga mengikuti aktivitas Hindu sekitar lingkungan tinggalnya. Hal ini sah-sah saja selama mereka tidak melanggar aturan-aturan tradisi Bali sekarang, terjadi kontak secara holistik, misalnya bahasa,” tutur Drs. Wayan Suastika, M.Ag., Kepala Bidang Urusan Agama Hindu Kakanwil Depag Provinsi Bali. Ini merupakan bentuk adaptasi dari budaya Cina untuk dapat langsung bersosialisasi dengan masyarakat asli Bali. Ini juga membuat tanggapan positif tentang orang Bali yang dapat menerima kebudayaan mana saja. Hal senada juga dikatakan oleh The Boen Tjaw “saya tidak mau pelinggih yang dibangun oleh nenek moyang saya dulu dikatakan klenteng karena disana orang bali pun boleh sembahyang dan begitu juga sebaliknya.” Ia juga menambahkan bahwa Hindu di Bali tidak sama dengan Hindu di India atau di tempat lainnya. Hindu di Bali merupakan sebuah keyakinan sama seperti yang dianut oleh orang Cina, namun dijadikan sebuah agama yang diakui oleh Indonesia. Hindu di Bali menganut paham Surya Kencana dan orang Cina menganut paham Surya Kirana.

Menurut I Ketut Kaler, dosen antropologi fakultas sastra, orang Cina atau yang sering disebut orang tiongkok ini banyak tinggal di Banjar Gerenceng, Denpasar. Disana orang-orang Bali banyak yang merangkul orang Cina ke banjar kecuali saat acara kematian. Namun tidak semua tempat dapat merangkul dan menerima orang Cina dengan baik. “Di Bangli, orang Cina tidak dapat dapat diterima dengan masyarakatnya karena pada zaman kerajaan, Raja Bangli menganggap kedatangan orang Cina tersebut dapat menimbulkan pejajahan di Bali sehingga orang Cina diusir dari Bangli dan sampai sekarang tidak ada orang Cina di Bangli. Ini yang menyababkan perekonomian yang ada di Bangli tidak dapat berkembang seperti di kabupaten lainnya ” ujar The Boen Tjaw. Orang Cina di Jawa juga demikian. Orang-orang di Jawa terlalu heyatif, fanatik terhadap akar agamanya sendiri dan merasa mayoritas tetapi jika sudah dekat dengan orang Cina mereka berani mati untuk membela orang Cina, tambah pengusaha bengkel ini.

Produk hasil akulturasi budaya cina dan bali adalah munculnya kebudayaan-kebudayaan seperti uang kepeng yang digunakan sebagai pelengkap seremonial keagamaan umat Hindu. Uang kepeng memang sudah menjadi kebudayaan asal Cina. Atau dengan adanya Barong Landung, barong ini merupakan produk kebudayaan barong yang muncul sebagai penghormatan terhadap Raja Jaya Kasunu dan Kang Cing Wei. Mereka berdua direpresentasikan dengan barong. Ini tak bisa dianggap sebagai simbolis belaka tapi ada nilai persatuan dan persaudaraan yang terjalin sejak lama antara dua kebudayaan ini.

“Selama ini saya tidak pernah merasa bahwa budaya Cina akan terkikis oleh budaya Bali,” ungkap Tio Ling Ling, Guru Bahasa Mandarin di SMA Kristen Harapan. Menurutnya kebudayaan Cina tak mungkin akan terkikis karena pengaruh kebudayaan Cina terhadap kebudayaan Bali sudah ada sejak lama sehingga kemungkinan untuk terkikis atau bahkan hilang dirasa tidak akan ada.

“Jika mau tahu, justru budaya-budaya di Bali seperti upacara keagamaan itu mengandung unsur kebudayaan Cina. Bahkan kalau saya lihat, unsur kebudayaan Cina yang masuk itu sangat kentara sekali,” tambah Tio Ling Ling. Upacara Ngaben dinilai Tio, sapaan akrab Tio Ling Ling, memiliki alur dan prosesi yang sama dengan kebudayaan Cina. Mulai dari prosesi disemayamkannya jenazah hingga abunya dikremasi dan dilarung.

The Boen Tjaw atau yang sering disapa Boen Tjaw turut menambahkan bahwa kebudayaan Bali dan kebudayaan Cina memiliki banyak persamaan. Tidak ada yang bisa meghilangkan budaya mereka kecuali mereka sendiri yang berada di dalamnya menginginkan budaya tersebut hilang. Hal ini terbukti dengan adanya sangggah yang terletak pada rumah-rumah orang Cina yang ada di Bali. Orang Cina yang memiliki sanggah dan menghaturkan canang di rumah disebu Cina Bali tutur I Ketut Harsana dosen agama fakultas sastra. Ia juga mengatakan jika orang cina yang menjalankan 2 kebiasaaan beribadah ke wihara dan ke pura mungkin karena ada faktor turun temurun, sehingga kalau tidak dilakukan/bersikap acuh terhadap hal tersebut maka akan merasa tdak enak.

Dengan adanya budaya cina yang ada di Bali menyebabkan budaya yang ada di Bali mengalami suatu akulturasi budaya yang dapat mempererat persaudaraan antara orang Cina dan orang Bali asli atau yang sering disebut Baliaga. Perbedaaan ini tidak pernah menyebabkan perpecahan antara            kedua belah pihak. Sehingga membuat semuanya dapat saling menghormati dan saling mendukung antara budaya Cina dan budaya Bali dengan tidak membuat pihak lain menjadi tersinggung.

You May Also Like