Sebagai pilar ke-4 demokrasi, pers berperan krusial dalam mengontrol kekuasaan agar tak terjadi penyelewengan. Pers berperan menciptakan iklim informasi yang sehat dan berimbang. Lantas, kenapa Pers mau dikebiri?
Mempersoalkan demokrasi hari ini, rasanya begitu pelik. Jalannya berliku dan begitu terjal. Negeri yang katanya berdasarkan “hukum” ini justru “hukum” nya dipermainkan untuk menguntungkan yang itu-itu saja. Sebut saja saat ini revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang berpotensi melumpuhkan MK sebagai penjaga marwah konstitusi, ada lagi inisiasi dari DPR tentang RUU Penyiaran yang akan membunuh pilar ke-4 demokrasi, pers. Tak berhenti dalam tataran hukum, dalam ruang yang lebih sempit lagi, demokrasi dibunuh dengan membubarkan forum-forum diskusi di masyarakat. Maka tak perlu ragu ketika menyebut hukum negeri ini kian runcing menukik ke bawah.
Dalam peliknya kondisi demokrasi, seyogyanya Pers memiliki peran sebagai tuas pengontrol, memastikan proses demokrasi kembali berjalan pada koridor-koridor yang semestinya. Namun, mencuatnya draft RUU Penyiaran yang diinisiasi oleh DPR menimbulkan kekhawatiran akan diberangusnya kebebasan pers dalam menjalankan perannya tersebut. Era reformasi serasa sebatas wacana, sebab nyatanya watak-watak yang takut dikritik masih ingin terus berkuasa.
Dalam draft rancangan undang-undang (RUU) penyiaran tertanggal 27 Maret 2024, definisi penyiaran mengalami perluasan ke ruang-ruang digital. Sehingga batasan-batasan penyiaran digital termasuk penyiaran jurnalistik digital diatur dalam draft RUU ini. Hal ini tentu akan berdampak pada kepentingan publik terutama kebebasan dalam ruang digital.
Selain itu, terdapat sejumlah pasal yang dinilai bisa membahayakan kebebasan pers dan bertentangan dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal yang dimaksud misalnya pasal 50B ayat (2) huruf c mengenai larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
Dalam ekosistem jurnalistik, jurnalisme investigasi adalah satu nyawa yang tak boleh hilang dan dihilangkan, sebab tanpa jurnalisme investigasi, ruang informasi publik hanya akan diisi oleh laporan-laporan fakta yang hanya ada di permukaan, tapi tidak pada fakta-fakta yang disembunyikan.
Hal yang paling berbahaya dari dilarangnya penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi adalah hilangnya ruang untuk membongkar kesewenang-wenangan mereka yang ongkang-ongkang kaki berkuasa. Sehingga tidak hanya pers yang dibungkam, melainkan juga suara masyarakat sipil yang kian nelangsa.
Selain itu ada juga pasal 42 ayat (2) draft RUU Penyiaran yang menyatakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran. Hal ini sangat bertentangan dengan Undang-Undang Pers yang menggaris bawahi penyelesaian sengketa pers dilakukan oleh Dewan Pers.
Lahirnya wewenang tersebut tentu menggeser peranan Dewan Pers sebagai lembaga pelindung pers sehingga menyebabkan keamanan dalam jati diri pers dipertanyakan. Mengingat bahwa pers merupakan lembaga independen maka semestinya pers tidak berada dalam kendali organ-organ tertentu.
Masyarakat Tidak Boleh Pintar?
Fenomena yang diciptakan oleh hadirnya RUU Penyiaran ini mengingatkan pada bahasan Noam Chomsky dalam bukunya yang bertajuk “” pada Bab “Awalnya Propaganda”. Noam Chomsky menuliskan bahwa propaganda pemerintah, jika didukung oleh kelas berpendidikan dan tak terjadi penyimpangan, maka pengaruhnya akan sangat besar. Dalam konteks kekinian, apabila kerja pers itu dikontrol lewat kekuasaan, tentu tidak akan ada media yang menyampaikan informasi berbeda bahkan “berani” berseberangan dengan penguasa. Situasi demikian menyebabkan masyarakat “terkungkung” dalam informasi yang bias dan cenderung memuja pemerintahan yang korup.
Lebih lanjut, Noam Chomsky menarasikan betapa mengerikannya propaganda media yang menyihir Rakyat Amerika di masa pemerintahan Woodrow Wilson yang semula anti-perang menjadi histeris dan haus akan perang. Narasi tersebut seperti mengamini bahwa media bisa saja menjadi alat propaganda bagi yang berkuasa.
Oleh karenanya, pemberangusan terhadap kerja-kerja pers tak semestinya terjadi. Pers harus dibiarkan berdikari sebagai lembaga yang mengontrol kerja-kerja penguasa. Sebab sejatinya pers bekerja bukan untuk diri sendiri ataupun nama institusinya. Pers bekerja dan menghasilkan karya jurnalistik untuk memenuhi hak publik dalam mendapatkan informasi. Sedangkan hak publik untuk memperoleh informasi adalah hak asasi manusia yang tak bisa dirampas oleh siapapun, tak terkecuali penguasa.
Namun kini, kita lagi-lagi mesti dipertontonkan pada keadaan wakil rakyat yang tak melulu berpihak pada “kepentingan rakyat”. RUU Penyiaran ini menyadarkan kita bahwa jalan menuju demokrasi yang ideal di Indonesia masih panjang dan terjal. Mungkinkah kita akan sampai ?
Penulis: Gung Putri, Reva, Putri
Penyunting: Wid