Ketika Damai Mulai Dicari dan Menjiwai Jurnalistik

Jurnalisme damaiDamai menjadi topik utama dalam gelaran Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional oleh Pers Mahasiswa Suara USU Medan. Kegiatan yang berlangsung dari 23 sampai 28 November 2010 ini bertempat di Balai Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal, Medan. Kegiatan ini juga menghadirkan 30 orang peserta dari lembaga pers mahasiswa seluruh Indonesia.

Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut (PJTL) Nasional merupakan sebuah ajang di mana setiap insan Pers Mahasiswa (Persma) dapat melatih kembali kemampuan di bidang jurnalistik lebih dalam. PJTL secara rutin digelar oleh lembaga Persma pada suatu wilayah di Indonesia. Kemudian mengundang perwakilan lembaga Persma lain dari seluruh Indonesia. Topik yang diangkat juga berbeda-beda pada setiap kegiatan  tersebut.

PJTL kali ini, bertempat di Kota Medan, Sumatra Utara. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Lembaga Persma Suara USU, Medan ini mengambil tema “Jurnalisme Damai, Tak Hanya Menuliskan tapi juga Mendamaikan”. Pemilihan tema ini tidak lepas dari dasar pemikiran. Di mana berdasarkan pada masih banyaknya media yang melihat konflik sebagai sesuatu yang menjual untuk diberitakan. Jurnalisme damai memang belum banyak diterapkan, karena diperlukan teknik dan keterampilan dalam menuliskan. Sehingga tujuan dari jurnalisme damai ini tercapai. Yaitu dapat mewakili kedua pihak yang sedang terlibat konflik, menceritakan sisi humanisme serta dapat mendamaikan.

Salam Ulos Jurnalisme DamaiMenghadirkan beberapa orang pembicara, menjadikan peserta begitu tertarik. Terbukti dengan banyaknya pertanyaan, saran dan juga kritik yang dilontarkan. Pada hari pertama disampaikan sebuah materi tentang Sejarah dan Perkembangan Jurnalisme Damai oleh Usman Kansong. Usman menuturkan bagaimana Jurnalisme damai terbentuk dan dikenal oleh masyarakat serta tantangan yang dihadapi. Dilanjutkan dengan pengenalan Lembaga Persma yang menghadiri kegiatan tersebut. Pada pengenalan tersebut, setiap Lembaga Persma menuturkan bagaimana kondisi mereka, struktur organisasi, jenis terbitan, juga kendala dan masalah yang dihadapi. Setelah dipaparkan kemudian ditanggapi oleh yang lainnya. Sehingga dapat dipakai bahan atau bekal saat setiap lembaga Persma kembali ke daerah masing-masing untuk berbenah diri.

Pada malam harinya diadakan kegiatan nonton bareng. Film yang diputar berjudul The Black Road, di mana pada film tersebut menceritakan bagaimana kondisi konflik antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Seusai film, diadakan diskusi bersama Hotli Simanjuntak sampai larut malam. Hotli ini merupakan seorang fotografer di salah satu media di Medan. Hotli juga sudah memiliki pengalaman memasuki kawasan konflik saat pecah perang peristiwa GAM tersebut.

Keesokan harinya, pada hari kedua disampaikan materi Teknik Liputan dan Menulis Jurnalisme Damai di Wilayah Konflik oleh Luzi Diamandana. Luzi ini merupakan seorang wartawan Gatra untuk Riau. Pada penulisan Jurnalisme Damai memang lebih banyak menampilkan sisi humanisme. Menceritakan siapa korbannya, bagaimana perjuangannya di daerah konflik tersebut. Serta bagaimana menceritakan agar kedua pihak yang sedang terlibat konflik juga dapat terwakili. Inti dari jurnalisme Damai adalah agar kita bersikap adil. Tidak memihak pada salah satu pihak. Meskipun kita tahu, salah satu pihak tidak kita suka. Di situlah tantangannya Jurnalisme Damai.

Materi berikutnya, masih pada hari yang sama, yaitu Teknik Pengambilan Foto Jurnalisme Damai oleh Hotli Simanjuntak. Banyak pengalaman yang dibagi Hotli dengan menampilkan foto-foto saat dia masuk ke wilayah GAM maupun wilayah TNI. Berkat usaha dan kelihaiannya dia bisa masuk ke kedua markas yang sedang berseteru tersebut. Serta mengambil foto yang sebelumnya tidak bisa diekspose publik. Karena memang kedua markas sulit dimasuki oleh wartawan.

Setelah membahas bagaimana perjuangan wartawan foto tersebut pada wilayah konflik, dilanjutkan dengan pengenalan kamera dan teknik fotografi. Terlihat peserta begitu antusias dengan banyaknya pertanyaan yang dilontarkan.

Pada malam harinya, para peserta terlihat saling berkumpul dan saling bertukar pengalaman ataupun kondisi pada provinsinya masing-masing. Saat senggang seperti inilah masing-masing peserta saling cerita dan bercanda tawa sehingga dapat menumbuhkan rasa kekeluargaan antar peserta maupun panitia.

Pada hari ketiga, semua peserta diajak untuk melakukan praktek lapangan dan studi kasus. Namun sebelumnya, diberikan materi tambahan terlebih dahulu dengan topik Jurnalisme Damai dalam Perspektif Pers Mahasiswa oleh Bambang Harimurti. Bambang menjelaskan bahwa memang dalam masa-masa sekarang, penulisan Jurnalisme Damai masih sulit diterapkan karena diaanggap segala sesuatu yang berbau konflik lebih bisa menjual. Maka dari itu, dari lembaga Persma lah, Jurnalisme Damai mulai dicoba diterapkan secara perlahan.

Praktek lapangan dan studi kasus tersebut, mengambil tempat di Pajak USU (Pajus). Pajak dalam bahasa daerah di Medan berarti Pasar. Pajak USU sendiri merupakan pasar yang terdapat di dalam kawasan Universitas Sumatra Utara (USU). Banyak konflik yang terjadi pada Pajus. Terlebih lagi saat Pajus mengalami kebakaran beberapa waktu lalu. Konflik mulai dari pedagang, pihak Rektorat, pengelola Pajak, dan juga mahasiswa.

Lewat contoh konflik nyata ini, setiap peserta yang dibagi dalam beberapa kelompok mencoba melakukan reportase. Serta juga menuliskannya agar sesuai dengan Jurnalisme Damai itu sendiri sampai sore hari.

Malamnya, semua peserta diajak berkeliling kota Medan. Mengetahui bagaimana sejarah beberapa benda pusaka. Juga beberapa tempat yang mengandung nilai sejarah. Melihat bagaimana koda Medan pada Malam hari.

Keesokan harinya pada hari ke empat, diberikan evaluasi mengenai tugas praktek lapangan pada hari sebelumnya oleh Luzi Diamandana. Luzi mengatakan bahwa penugasan peserta tidak terlalu banyak mengarah ke Jurnalisme Damai. Masih banyak yang menggunakan Jurnalisme Advokasi ataupun Jurnalisme Sastrawi. Memang dibenarkan oleh Luzi, bahwa teknik Penulisan Jurnalisme Damai lebih sulit dari jenis penulisan yang lain. Memang dari hasil tulisan peserta masih banyak yang kurang, namun diakui Luzi bahwa foto-foto yang diambil sudah cukup baik.

Malam harinya, peserta kembali diberikan materi tentang Jurnalisme Damai oleh Hanif Suranto, Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan. Hanif lebih menekankan bagaimana kunci keberhasilan Jurnalisme damai tersebut dengan memahami konflik yang ada. Selain itu, peserta juga dirangsang kembali untuk melihat suatu objek atau peristiwa tidak hanya dari satu sisi, namun juga dari sisi yang berbeda-beda. Hal tersebut untuk mengurangi tingkat subyektifitas pengamat terhadap objek tersebut.

Akhirnya pada hari kelima dan keenam, semua peserta melakukan acara wisata ke daerah wisata di Sumatra Utara. Daerah pertama yang dituju yaitu Parapat. Kemudian dilanjutkan dengan menyebrangi Danau Toba menuju Tomok  di wilayah Pulau Samosir. Peserta mengahbiskan waktu dengan menikmati panorama wisata juga kebudayaan yang ada di sana. Tidak ketinggalan juga buah tangan yang dibeli di wilayah tersebut.

Setelah kembali ke penginapan, peserta diajak untuk menikmati langsung air danau Toba dengan berenang atau sekedar bermain di sisi Danau sampai sore hari.

Malam harinya peserta yang dibagi-bagi ke setiap kelompok per provinsi, menampilkan atraksi atau pertunjukan sebagai malam keakraban. Malam terakhir perjalanan kala itu. Suasana terus berubah-ubah sesuai dengan apa yang dipertunjukan. Rasa haru, sedih, senang, gembira, lucu, santai, menghibur dan masih banyak lagi muncul silih berganti.

Pada hari terakhir, peserta diajak mengunjungi daerah wisata Air Terjun Sipiso-piso, Gundaling yang dilanjutkan ke daerah Berastagi.

Perjalanan wisata serta pengalaman yang sangat menarik menurut pengakuan beberapa peserta. Banyak pengalaman yang dirasakan terutama ketika ikatan persaudaraan antar peserta maupun panitia mulai terjalin. Ketika mereka harus kembali ke daerah mereka masing-masing, lebih banyak dihabiskan dengan rasa haru dan tangis.

Semua itu dimulai dari materi Jurnalisme Damai yang belum banyak dipikirkan media-media saat ini, pertukaran cerita dan kebudayaan daerah masing-masing, sampai pada rasa persaudaraan yang mulai terjalin. Itulah sekelumit kegiatan yang mewarnai PJTL Nasional 2010 oleh Lembaga Persma Suara USU, di kota Medan. Kota yang menyisakan kesan dan kenangan bagi setiap insan persma yang terlibat kala itu. -ind

You May Also Like