Mahasiswa Bicara Persoalan KUHAP: Semua Bisa Kena
Revisi KUHAP menuai sorotan berbagai kalangan masyarakat karena berpotensi memengaruhi langsung hak-hak publik. Dampak pasal-pasal baru yang dinilai kian membatasi ruang kebebasan sipil, sekaligus menegaskan peran mahasiswa sebagai “agent of change” dalam mengawal isu hukum meski berhadapan dengan kalangan ahli.
Mekanisme pengesahan Revisi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kembali memantik kritik dari berbagai elemen masyarakat. Dalam forum diskusi terbuka mengenai revisi KUHAP di Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Udayana, Sabtu (22/11/2025), pasal-pasal karet dalam KUHAP dinilai penting untuk diadvokasikan kepada masyarakat sebab menyentuh langsung hak-hak hukum setiap warga negara.
“Tentu masyarakat harus memahami bahwa KUHAP merupakan salah satu instrumen undang-undang yang bisa membatasi apa haknya sebagai warga negara,” ujar Andi selaku pembicara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, (22/11/2025).
Diskusi yang dilakukan di depan Lab Sejarah FIB Unud itu dihadiri oleh mahasiswa Unud dan luar Unud. Peserta forum menilai revisi ini bukan sekadar perubahan teknis, melainkan perubahan yang menentukan bagaimana nasib warga negara diperlakukan oleh aparat penegak hukum. “Karena dengan semua wewenang-wewenang yang diajukan itu sangat-sangat merugikan rakyat, yang mana kayak semua orang bisa ditangkap walaupun bukan tersangka,” jelas Wahyu selaku peserta diskusi (22/11/2025).

Diskusi-Forum Diskusi Duduk Bersama Membahas KUHAP
Selain itu kewenangan lainnya seperti penyadapan atau peretasan tanpa izin dianggap melanggar privasi warga. Walaupun disebut untuk kepentingan kepolisian, menurut Wahyu tidak ada jaminan bahwa kewenangan tersebut tidak akan disalahgunakan di kemudian hari. “Jadi kayak walaupun ini untuk kepentingan polisi, tapi kan kita enggak tahu ini tuh dampaknya bakal sebesar apa nanti, apakah disalahgunakan atau tidak” imbuh Wahyu.
Mahasiswa lain juga menyorot pentingnya pembagian tugas antar simpul gerakan, baik dari mahasiswa maupun masyarakat sipil, sehingga proses formal seperti judicial review dapat berlangsung secara efektif. “Karena nampaknya kalau kita masih terpecah dengan konflik-konflik horizontal gitu, jangan sampai kemudian ini (isu KUHAP) enggak terkawal gitu,” jelas Matthew Owen, salah satu mahasiswa yang hadir dalam diskusi.
Hal lain yang juga menjadi sorotan peserta diskusi adalah peran mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki kapasitas intelektual. Mahasiswa disebut memiliki tanggung jawab moral untuk mengawal proses demokrasi. Namun ketika berhadapan dengan kebijakan hukum sering kali membuat masyarakat merasa kalah wacana karena berhadapan dengan ahli. Persoalan itu kemudian diutarakan oleh Gung Pram, seorang mahasiswa yang turut berpendapat dalam diskusi. Ia mempertanyakan bagaimana posisi mahasiswa dalam situasi tersebut. “Apa yang bisa kita lakukan gitu untuk membantu orang-orang ini yang ada di sana (Judicial Review ke MK) karena melihat pengetahuan dari prof Eddy (Wakil Menteri Hukum dan HAM Indonesia) satu saja permasalahannya, dia selalu bisa menjawab,” ujar Gung Pram dalam diskusi.
Menanggapi hal tersebut, Andi dari LBH menjelaskan bahwa dalam proses hukum, posisi ahli memiliki bobot yang besar karena keterangannya termasuk dalam kategori alat bukti. Karena itu, menurutnya, langkah konkret yang dapat dilakukan adalah memperluas jejaring dan memperkuat barisan aktor yang memahami isu hukum secara memadai. “Jadi tidak perlu benar-benar menyerah begitu soal bagaimana ada kompetensi itu, banyak kok ada ahli pidana yang memang memiliki perspektif HAM yang bisa diungkapkan (diajak dalam) diskusi yang bisa juga dibenturkan dengan ahli lain,” jelas Andi.
Sejak dulu mahasiswa selalu dipandang sebagai agent of change, yaitu perpanjangan tangan dan suara dari masyarakat. Karena itu, ketika muncul arah kebijakan yang berpotensi merugikan publik, mahasiswa tidak seharusnya hanya berpangku tangan. Menurut Lion selaku peserta diskusi, isu KUHAP adalah persoalan yang memang seharusnya dikawal oleh mahasiswa, sebab regulasi yang seharusnya menyejahterakan rakyat dinilai lebih menekankan pada kepentingan aparat penegak hukum. “Ini (Revisi KUHAP) menurutku membuat masyarakat itu kurang diuntungkan lah. Sedangkan berbanding terbalik ke aparat-aparatnya yang lebih diuntungkan. Kan anggapannya kayak tumpulnya ke arah aparat sedangkan tajamnya terhadap masyarakat,” ungkap Lion.
Ruang diskusi membuka kesempatan bagi lahirnya lebih banyak gagasan kritis dari mahasiswa. Marchel selaku Koordinator Bidang Analisis & Pergerakan (Asper FIB), menekankan bahwa ketika semakin banyak pemikiran yang muncul, semakin besar pula peluang mahasiswa untuk berperan dalam mengawal arah kebijakan publik. “Supaya kita sebagai mahasiswa bisa mengimplementasikan kita sebagai pewahyu rakyat, sebagai agent of change dari masyarakat,” pungkas Marchel.
Penulis: Gita
Penyunting: Gung Putri
slot gacor
