Menyemai Perlawanan Anak Muda Menolak PLTU Celukan Bawang

Menyemai Perlawanan Anak Muda Menolak PLTU Celukan Bawang

Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) I di Desa Celukan Bawang, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali, menyisakan kisah getir bagi warga desa. Bermula dari permainan katrol harga saat pembebasan lahan hingga berimplikasi pada sektor lainnya. Kini, pembangunan PLTU tahap II siap menerpa. Anak-anak muda di Desa Celukan Bawang pun mulai menyuarakan sikap penolakan demi keberlanjutan lingkungan.

Matahari begitu terik pada Minggu (22/11). Elvira Rosa, salah satu anak muda di Desa Celukan Bawang, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, tengah menapaki lahan kosong di sekitar PLTU Celukan Bawang I yang berkapasitas 426 megawatt (MW) itu. Sesekali ia melihat ke arah pantai, kadang menoleh ke perkebunan kelapa. Pandangannya tertuju pada sepetak tanah yang sudah tumbuh rerumputan liar. “Ini dulu MI (Madrasah Ibtidaiyah -red) Ta’riful Fuad. Karena ada pltu disini jadinya tanah ini milik PLTU. Terus karena dampaknya kerasa banget, akhirnya sekolah dipindah ke selatan sana,” ungkap gadis yang akrab disapa Vira itu seraya menunjuk jarinya ke bekas bangunan sekolahnya. Ia kemudian menoleh ke arah barat laut. “Terus dulu tuh di sini pemukiman rumah warga tapi mereka digusurnya lebih dulu daripada sekolah, cuman masih ada masyarakat yang masih mempertahankan tanahnya sampai sekarang,” lanjutnya. Rumah keluarga Vira menjadi salah satunya yang turut tergusur. Vira mengungkap kesedihannya. Lantaran ikatan persaudaraan dengan tetangganya sedikit memudar akibat tempat tinggal yang sudah terpisah-pisah. Beberapa tradisi perayaan syukuran yang biasanya dilakukan dengan menggunakan sampan di tengah laut kini beralih ke tempat ibadah. “Masa kecilnya disini terus sekarang ga terawatt banyak polusi, sedih sih, cuman ya mau gimana masyarakat juga pernah demo sampe sidang, tetep ada pltu tetep berdiri,” tuturnya.

 

Berdiri – Elvira Rosa (16) berdiri di atas lahan bekas bangunan sekolahnya, MI Ta’riful Fuad, yang digusur akibat pembangunan PLTU Celukan Bawang. (Foto: Galuh)

Berbeda dengan Vira, keluarga Ahmad Zulfanni (18) memilih mempertahankan tanah rumahnya di tengah lahan pembangunan PLTU Celukan Bawang. Sungguhlah, tinggal di rumah yang hanya berjarak 100 meter dari PLTU tiada memberi kenyamanan. Itulah yang dirasakannya. Rumah Zul tepat di sebelah barat PLTU I Celukan Bawang. Suara-suara bising aktivitas PLTU kerap kali mengganggunya, terlebih jika laki-laki yang akbrab disapa Zul itu sedang belajar mandiri di larut malam atau subuh hari. “Sekarang saya belajar online, itu belajarnya malam karena memang kalau belajar malam itu cepat mengerti. Tapi PLTU juga malah mereka aktifnya malam hari,” ungkap Zul bercerita dengan raut wajah serius. Biasanya, Zul mulai belajar pukul sekitar 01.00 WITA, subuh hari. Konsentrasinya harus terbelah. “Terus bahkan asap yang warna hitam itu kadang keluarnya saat malam hari,” lanjut pemuda yang lahir di Desa Celukan Bawang itu. Apa yang dialami Zul telah dilakoninya bahkan sejak ia belia. “Saat saya sekolah itu suara mesinnya terus debunya juga ke sekolah. Memori lainnya itu juga di pantai, biasaya kalau kapal tongkangnya membawa batubara kadang terlalu kepinggir jadi baunya meyengat,” kenangnya. Sesekali juga ia berdecak lidah, kesal. “Kalau dibilang PLTU tidak ada dampaknya ya bohong besar,” tambah Zul.

Baik Vira maupun Zul sebelumnya tak pernah terpkirkan dampak yang dirasakannya kini. Menurut pengakuan Zul, pembangunan PLTU Celukan Bawang dimulai saat usianya begitu belia. “Wah gitu karena baru ada mesin yang datang ke desa dan melihat eskavator itu rasanya seneag dan kelihatannya keren. Tapi ternyata dibalik kerennya itu menghasilkan energi kotor,” ucapnya. Begitu juga dengan Vira. “Dari saya SD disana itu belum terlalu megerti dampak negatif tapi sudah ngerasain polusi di sekitar itu sudah tidak enak,” ujarnya.

Ketidaktahuan Masyarakat akan Pembangunan PLTU dan Dampaknya

Ketidaktahuan Vira dan Zul sama pula halnya ketidaktahuan masyarakat sekitar. “Kita orang awam kan kita tidak tahu bahwa batubara itu berhaya atau tidak, berdampak tidak? Ternyata kita tanya orang yang mengarti terhadap lingkungan, ternyata PLTU itu berbahya bagi lingkungan,” tutur Ketut Mangku Wijana saat ditemui di pelataran rumahnya, selaku warga desa sekaligus salah satu pemilik perkebunan kelapa di sekitar PLTU Celukan Bawang. Akibatnya, warga desa kecolongan. Dalam laporan GreenPeace yang bertajuk ‘PLTU Celukan Bawang Meracuni Pulau Dewata’, fase pertama PLTU Celukan Bawang pun berdiri dengan Kapasitasnya sampai 426 MW yang dihasilkan oleh sekitar 5.200 ton batubara tiap hari dan sudah beroperasi sejak 2015. Pembangunan fase pertama menyisakan banyak kisah getir. Utamanya, terkait dengan upaya pembebasan tanah warga desa. “Ada juga yang sudah diadu domba msalnya informasi oh ini sudah deal nah itu dia udah sering. Ini sudah deal padahal belum deal. Wah kita deal aja deh. Nah dijual lah tanahnya agak miring miring. Pernah juga tanah lakunya 60 juta disuruh nanti bilangnya 50 juta jangan 60 juta. Itu sudah ada,” tegasnya Mangku tanpa nada getar.

Bertutur – Mangku Wijana, salah seorang warga desa di sekitar PLTU Celukan Bawang menceritakan dampak serta perjuangan warga menolak pembangunan PLTU Celukan Bawang. (Foto: Galuh)

Setelah fase pertama, kini PLTU Celukan Bawang melakukan ekspansi dengan berencana mendirikan PLTU fase kedua sebesar 2×330 MW. Dikutip dari balebengong.id, jumlah batubara yang akan dibakar untuk menghasilkan listrik kapasitas sebesar itu, amatlah banyak. Diperkirakan mencapai 2.950.635,60 ton per tahun. Artinya, menghabiskan 8.083,94 ton batubara tiap hari. “Ya jelas kita nolak. Karena apa karena bukan hanya disini kita punya pohon kelapa tapi disebelah juga punyna pohon kelapa. Nanti dia dampaknya ke pohn kelapa sekarang banyak yang mati karena itu,” lanjut Mangku. Seraya mengerutkan dahi, ia bercerita, setelah keberadaan PLTU fase pertama, jumlah kelapa yang mati di perkebunannya bahkan dapat mencapai puluhan. Ekspansi dari PLTU juga memberi imbas pada lahannya yang turut menjadi sasaran untuk diambil alih kepemilikannya. Mangku juga terkejut lantaran AMDAL PLTU fase kedua sudah diterbitkan. Ia sebagai warga yang dekat dengan PLTU justru mengetahuinya dari pihak luar, yakni Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali. Berbagai masukkan terkait energi kotor yang menjadi roda utama PLTU itu pun memberi Mangku kesadaran bahwa mengancam lingkungan hidup. “Nah akhirnya narik diri kan, wah gausahlah kita jual. Oh, akhirnya saya bertahan,” ceritanya.

Atas Nama Pembangunan, Lingkungan dan Masyarakat Diabaikan

Selain Mangku, seorang warga desa Celukan Bawang yang enggan disebutkan namanya menurutkan dampak pada sector perikanan. Misalnya, akibat pembuangan limbah batubara menyebabkan suhu air laut naik dan ikan-ikan banyak yang pergi ke tengah laut. Hal ini berdampak pada biaya penangkapan yang lebih tinggi dan lebih banyak merugi. Belum lagi persoalan ketenagakerjaan. “Masyarakat lokal ya itu kerja hanya outsourcing saja yang kita tahu, gatau mekanisme kedepannya gimana. Tapi sejauh ini ya outsourcing saja,” ungkap Putu (nama samara- red) sekaligus bekas pekerja nelayan itu. Kini putu menjajakan makanan menggunakan motor keliling. Berangkat dari permasalahan tersebut, “munculah gugatan,” kata Mangku.

Masyarakat yang terdampak beserta organisasi peduli lingkungan melakukan gugatan Tata Usaha Negara mengenai pembatalan Keputusan Gubernur Bali No. 660.3/3985/IV-A/DISPMPT tentang Izin Lingkungan Hidup Pembangunan Celukan Bawang II. SK ini diterbitkan Gubernur Bali pada 28 April 2017 yang kala itu masih dijabat I Made Mangku Pastika. Salah satu poin yang menjadi sadar gugatan ialah karena tidak adanya sosialisasi pada masyarakat. Hal ini diungkapkan oleh Mangku. “Dia (pihak PLTU) yang paling ditekankannya dia sudah menyampaikan ke publik bahwa pembangunan ini akan begini. Tapi lewat website. Lah kita ga pernah main gitu. Malah facebook aja. Nah terus nelayan kadang-kadang hpnya gada. Paling tulalit tulalit itu sekarang ya mana tau dia,” kenang Mangku mengingat saat-saat persidangan yang membuatnya tertawa sinis.

“Proses litigasi bergulir selama kurang lebih dua setengah tahun karena kami kalah warga penggugat kalah karena substansi justru tidak diperiksa. Masih di draft-draft awal-awal dengan alasan-alasan yang mengatakan bahwa warga yang menggugat tidak berhak untuk menggugat,” ujar Ni Putu Candra Dewi, Tim Kuasa Hukum LBH Bali. Gugatan tersebut ditolak oleh PTUN Bali pada 16 November 2018. Alasannya, para penggugat tidak memiliki kepentingan dan proyek belum menimbulkan dampak apa-apa. Gugatan banding juga sudah dilayangkan pada 26 Desember 2018 ke PTUN Surabaya, tetapi kandas di awal tahun 2019. “Kami juga mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke MA juga akhirnya di 10 desember 2019. Peninjauan kembali harus ada nofum atau bukti baru. Bukti baru yang kami ajukan adalah bahwa ada survey sebelumnya menunjukkan warga lebih banyak tidak menerima atau tidak tau sebenarnya apa yang dibangun,” lanjut Candra. Sayangnya, menurut keputusan MA yang dikeluarkan 10 April 2020, novum yang diajukan tidak bersifat menentukan, sehingga tidak bisa menggugurkan pertimbangan hukum dari putusan kasasi. Kini, di tengah pandemi, perjuangan melalui jalur litigasi vakum. Namun, geliat penyuaraan justru bertumbuh dari anak-anak muda di sekitar PLTU Celukan Bawang, ialah salah satunya Vira dan Zul.

Energi Muda Lawan ‘Energi Jahat’

Vira dan Zul menyadari perannya sebagai generasi muda. “Selain punya keresahan di sekitar sini karena sangat banyak dampak negatif dari PLTU batubara di desa saya. Saya juga ingin belajar menulis berita apa yang harus saya publish di desa saya,” ujarnya. Ia terinspirasi dari sang ayah yang kala itu ikut melakukan demonstrasi menolak pembangunan PLTU Celukan Bawang fase kedua. Maka, ketika ada kelas jurnalisme warga yang diselenggarakan LBH Bali Bersama Gen Pintar, Vira dan Zul beserta tujuh anak muda desa disekitar PLTU Celukan Bawang pun mendaftarkan diri untuk meningkatkan kapasitas jurnalisme.

Berdiskusi – Muhammda Dzulfanni (18), tengah, sedang berdiskusi bersama teman kelompoknya terkait topik berita yang akan dibuat dalam kelas jurnalisme warga “Energi Muda”. (Foto: Galuh)

Bagi Zul, hal ini memberi angin segar dalam bentuk perjuangannya sebagai anak muda di Desa Celukan Bawang. Sejak duduk di bangku SMP, ia lebih banyak menyuarakan di sosial media, misalnya facebook. “Saat saya kelas 9 SMP sampai kelas 11 SMA itu lumayan saya aktif di facebook bahkan pernah cekcok-lah di sosmed sama oknum pendukung PLTU. Setelah itu, datanglah dari Greenpeace, LBH Bali, dan banyak lagi yang menjelaskan PLTU ini berbahaya. Akhirya, saya ambil inisiatif untuk menyuarakan di media sosial itu tadi,” ujar Zul. Ia kemudian bersemangat menyebarkan informasi terkait dampak-dampak PLTU Celukan Bawang bagi kehidupan warga desa. Tak jarang postingannya menimbulkan pro dan kontra, bahkan Zul disarankan untuk tidak menggunakan akun aslinya, sebab membahayakan keselamatan pribadi. “Saya tetap tidak mau pakai nama facebook lain, maunya nama saya sendiri, tupun bukan bermaksud sombong tapi agar orang tau bahwa benar-benar warga Celukan Bawang yang terdampak,” tanggal Zul.

Adapun kelas jurnalisme yang digelar bertajuk “Energi Muda”, dengan menghadirkan pemateri dari media warga Balebengong, para peserta antusias mengikuti kelas yang dilaksanakan selama dua hari tersebut. “Sesuai dengan tajuk yang kami ambil, yaitu energi muda, peserta utamanya adalah anak muda setempat yang berlokasi di wilayah terdampak wilayah PLTU batubara. Kami percaya anak muda adalah orang orang yang memang perlu diberdayakan,” ujar Seira Tamara Herlambang selaku ketua pelaksana kelas jurnalisme warga ‘Energi Muda’. Lebih lanjut Seira memaparkan bahwa kelas jurnalisme warga ini bermaksud agar dapat menghadirkan sudut pandang baru dalam produksi pemberitaan terkait masyarakat terdampak di sekitar PLTU Celukan Bawang.

Pada hari pertama, Sabtu, 21 November 2020, peserta diberi pembekalan terkait dasar-dasar jurnalistik, teknik membuat berita, dan jenis-jenis berita. Selanjutnya pada hari kedua, para peserta mempratikkan materi yang didapatkan di lapangan. Kegiatan ini menjadi mula Vira menapaki hamparan tanah kosong di sekitar PLTU Celukan Bawang. Ia berniat membuat laporan jurnalistik tentang perjuangan masyarakat di Desa Celukan Bawang dalam menolak pembangunan PLTU fase kedua. “Dari sini saya belajar dari awal mula sampai gugatan-gugatan yang diajukan masyarakat,” ujar Vira ketika ditanya bagaimana perannya sebagai pemuda di Desa Celukan Bawang. Selain dari kisah-kisah perjuangan warga desa yang ia dengar sejak belia, ia bertanya langsung kepada salah satu warga yang menggugat, yakni Mangku Wijana. Vira Bersama dua orang temannya pun bertandang ke rumah Mangku yang letaknya tidak jauh dari PLTU. “Mungkin setelah ini saya menjadi lebih berani utuk mengajak teman-teman yang lain sebagai generasi muda agar tidak ada pembangunan tahap kedua, sekarang saja dampaknya sudah sangat merugikan bagi masyarakat sekitar apalagi sampai diperluas pembangunan proyeknya,” ungkap Vira seolah telah mendapat suntikkan perjuangan atas keberlanjutan lingkungan hidup dari Mangku.

Antusias – para peserta antusias mengikuti rangkaian kelas jurnalisme warga yang diadakan oleh LBH Bali dan Gen Pintar. (Foto: Galuh)

Meski demikian, Vira mengaku, anak-anak muda di Desa Celukan Bawang tidak banyak yang aktif mengkritisi dan menyuarakan penolakan terhadap PLTU Celukan Bawang. “Mereka juga banyak tugas jadinya kayak malas buat mengurusi masalah seperti ini. Karena mungkin juga kurang paham apa yang bisa mereka perjuangkan gitu,” ujarnya. Vira tak patah semangat, beberapa temannya ada juga yang ingin menyuarakan aspirasi namun masih belum memiliki keberanian untuk menyuarakan. Lain halnya dengan Vira, Zul mengangkat tentang dampak PLTU terhadap perikanan di Desa Celukan Bawang. Mereka pun masing-masingnya membuat sebuah tulisan yang kemudian diulas antar sesama kelompok.

Zul bertekad melanjutkan perjuangan warga desa yang menolak pembangunan fase kedua PLTU Celukan Bawang. “Yang muda harus bisa melanjutkan perjuangan. Jadi mereka pun berjuang untuk anak cucu kalau mereka tidak melanjutkan saying-lah dari pengorbanan pikiran, biaya, jadi harus diperjuangkan se-mampu kita. Dan tetap berdoa dalam perjuangan, jangan lupa pada Tuhan,” ucapnya seraya sedikit tersenyum yang bersembunyi dibalik masker birunya. Apalagi, terbitnya Peraturan Gubernur No. 45 Tahun 2019 tentang Bali Energi Bersih, baik Vira dan Zul mengharapkan adanya pengalihan sumber energi di pembanglit lingtrik yang sudah terbangun maupun akan terbangun di Desa Celukan Bawang tersebut. “Semoga ya, yang penting ada kemauan pasti ada jalan. Memikirkan masa depan untuk desa kita. Karena bagaimanapun kan belum tentu pindah dari Celukan Bawang. Kita asli warga sini ya kangenlah dengan masa kecil yang lingkungannya masih asri,” pungkasnya usai mengikuti kelas jurnalisme warga.

Kelas jurnalisme warga pada dua hari itu menjadi angin baru inspirasi perjuangan para anak-anak muda itu dalam memperjuangkan desanya, yakni dengan memberi kabar bahwa Desa Celukan Bawang sedang tidak baik-baik saja. Perlahan mereka menyemai perlawanan yang telah bergumul sedari dulu, Keberanian mereka untuk menyatakan sikap hingga berusaha menguak kondisi warga desa, menjadi babak baru perlawanan anak muda di Desa Celukan Bawang dalam menolak pembangunan PLTU Batubara Celukan Bawang.

Reporter: Galuh

Penulis: Galuh

Fotografer: Galuh

Penyunting: Yuko

You May Also Like