Sandra menyingkap tirai kamar jendelanya. Udara pagi bulan Oktober di Kota Chicago terasa begitu dingin hingga membuatnya terbangun dari tidurnya yang lelap. Rasa kantuk masih menyelimuti diri Sandra, sepertinya ia butuh beberapa jam lagi untuk tidur karena semalam ia tidur terlalu larut. Sandra mengedarkan pandangannya pada lingkungan sekitar rumahnya. Namun matanya terpaku melihat rumah di seberang jalan yang nampak kosong. Ia rindu laki-laki pemilik rumah itu. Laki-laki yang kerap duduk di balkon sembari mengalunkan gitarnya di tengah malam. Laki-laki yang kerap berkunjung ke rumah Sandra hanya untuk sekedar makan malam dan berbincang. Namanya Nino, ia sudah berhasil membuat Sandra jatuh hati.
Februari lalu, Sandra tidak sengaja berkenalan dengan Nino. Kala itu Sandra tengah kesulitan untuk memperbaiki keran air di halaman rumahnya. Entah dapat bisikan dari mana, Nino menghampiri Sandra yang tengah terduduk lesu di beranda rumahnya. Sandra yang merasa terbantu tentu mempersilahkan Nino untuk mengutak-atik saluran air di halaman rumahnya. Tak disangka, perihal saluran air adalah awal mula kisah bahagia mereka. Malamnya, Sandra mengudang Nino untuk datang berkunjung ke rumahnya. Sandra membuatkan makan malam sebagai ucapan terima kasih kepada Nino yang sudah membantunya.
“Terima kasih untuk jamuan malam ini, sungguh macaroni schotel yang paling lezat yang pernah aku coba. Kamu harus mencoba untuk menjualnya!” Puji Nino malam itu.
“Jika itu memang yang paling lezat, mungkin aku akan kewalahan untuk memenuhi pesanan pelanggan,” ucap Sandra.
“Aku dengan senang hati akan membantumu lagi. Haha”
“Aku akan membuatkannya lagi untukmu jika kamu benar-benar menyukainya”
“Oh tidak, sepertinya ucapanku akan merepotkanmu. Lebih baik aku pulang saja kalau begitu. Sampai jumpa lagi, San. Terima kasih untuk malam ini”
“Dengan senang hati” pungkas Sandra yang diam mematung di beranda rumahnya sembari melihat Nino yang perlahan masuk ke dalam rumah.
Sejak saat itu, hubungan Sandra dan Nino kian dekat. Mereka layaknya sepasang kekasih yang sedang mabuk asmara. Setelah sibuk bekerja, keduanya akan saling menghubungi untuk sekedar bertukar cerita tentang hari itu. Pada akhir pekan, Sandra dan Nino meluangkan waktu mereka untuk pergi bersama meski hanya untuk sekedar makan malam. Bulan berganti, laki-laki bermata cokelat itu berhasil membuat Sandra jatuh hati.
Meski sudah cukup lama mereka bersama, tidak ada hubungan khusus yang terjalin di antara mereka. Nino dan Sandra sama-sama sadar bahwa menjalin komitmen untuk berpacaran bukanlah hal yang mudah. Mereka bahagia dengan hubungan yang ada, meski hanya teman semata. Rasanya, begini saja sudah bahagia.
Nino membawa suasana bahagia untuk Sandra. Pertengkaran yang mereka miliki tak pernah berakhir menjadi perpisahan, selalu ada kata maaf untuk semua kesalahan. Kian hari, mereka tak sanggup untuk berjauhan. Sandra juga kerap berkunjung ke rumah Nino untuk menemaninya bermain game hingga larut malam, berdansa dengan alunan musik jazz di bawah lampu temaram. Bagi Sandra, semuanya terasa sempurna. Sandra amat bersyukur dipertemukan dengan laki-laki baik seperti Nino.
Setelah beberapa saat melamun ketika melihat rumah Nino, Sandra tersadar dan teringat bahwa sore ini ia harus menghadiri konser musik jazz yang berada di salah satu stadion di Chicago. Sandra tidak begitu menyukai musik jazz. Namun bagi Nino, musik jazz adalah salah satu bagian besar dalam hidupnya.
Sesampainya di parkiran stadion, tanpa pikir panjang Sandra langsung melangkahkan kakinya menuju loket penukaran tiket. Antriannya cukup panjang, orang-orang nampak antusias meski udara dingin cukup menusuk kulit. Setelah mengikuti serangkaian prosedur sebelum memasuki area konser, Sandra duduk di kursi yang sesuai dengan nomor tiketnya. Kali ini, Sandra menonton konser seorang diri. Tanpa Nino, tanpa lelaki yang amat jatuh cinta dengan alunan musik jazz.
“Andai saja kamu masih ada disini, No. Kamu pasti akan sangat bahagia” batin Sandra, sembari melihat dan mengusap gelang tiket konser yang ada di pergelangan tangan kirinya.
Ya, keseruan Sandra dan Nino itu kini tinggal kenangan. Nino menghembuskan nafas terakhirnya karena terjatuh dari tangga di kantornya. Nyawanya tak tertolong setelah mendapatkan perawatan selama 4 hari di ICU. Saat tahu sumber kebahagiaannya pergi untuk selamanya, Sandra tak henti-hentinya menangis. Dua bulan setelah kepergian Nino, Sandra mulai ikhlas meski kerap menangis di tengah heningnya malam. Ia rindu Nino, ia rindu pada mata cokelat yang dengan lekat menatapnya ketika di meja makan.
Sandra mengedarkan pandangannya kepada hadirin yang lain, orang-orang tampak bersemangat dan sangat siap untuk mendengarkan alunan musik yang akan ditampilkan selama 3 jam kedepan. Meskipun Sandra tak lagi melihat raga Nino, memorinya kembali memutar senyum indah Nino yang merekah ketika mulai mendengarkan musik jazz. Sandra hadir di konser ini bukan karena ia menyukai musik jazz, Sandra hadir karena Nino menyukai musik jazz.
“Nino, aku hadir disini. Aku tidak begitu yakin akan menikmati alunan musiknya dengan baik, tapi aku yakin kamu akan menyukai pertunjukan hari ini. Aku sudah berusaha untuk bahagia selepas kepergianmu, apa kabarmu disana? Semoga semua baik-baik saja, ya. Karena kini aku baik-baik saja, meski bayangan indahmu tidak pernah meninggalkan sisiku.” Ucap Sandra dalam hati, berusaha menegarkan dirinya agar tidak menangis ketika musik pembuka mulai mengalun dengan indahnya.
Penulis: Dhifa Hafizha
Penyunting: Yuko