“Tutup saja kasusnya,” ujar sang dosen pada korban. Rasa aman jadi semakin jauh tak terasa hawa ketenangan, kekhawatiran bergejolak, pasalnya kasus kekerasan menjulang di lingkaran pendidikan. Hak untuk bersuara hanya angan bagi yang tidak punya kuasa. Lantas, keberanian siapa yang ditunggu?
Majalah LPM Lintas Institut Agama Islam Negeri Ambon (IAIN) edisi II menghebohkan Kampus IAIN terkait kasus kekerasan seksual yang mencapai angka 32 kasus. Pihak Lintas bersaksi telah melakukan riset terhadap kasus tindakan, perbuatan, atau perkataan yang melecehkan korban. Demi keamanan dan rasa percaya korban, tentu pihak Lintas memilih untuk mempertahankan bukti otentik seperti halnya data para korban dibandingkan membeberkannya pada pihak kampus.
Pimpinan Redaksi LPM Lintas, Yolanda Agne dan rekannya melakukan investigasi terkait kekerasan seksual yang ada di IAIN Ambon. Liputan yang dilakukan selama berbulan-bulan ini, sudah mempertimbangkan isi dan bentuk tulisan yang akan dimasukkan ke dalam majalah mereka. Terbitlah Majalah Lintas edisi khusus kekerasan seksual yang memuat 32 kasus pelecehan, diantaranya korban perempuan sebanyak 25 orang dan korban laki-laki sebanyak 7 orang. Pelaku kekerasan seksual disebutkan ada dosen sebanyak 8 orang, 3 pegawai, 2 mahasiswa, dan seorang alumni. Majalah dengan judul “IAIN Ambon Rawan Pelecehan” itu akhirnya menjadi pemantik pihak kampus yang tidak terima.
Seorang tenaga pengajar di IAIN yang disebutkan dalam satu artikel yang bertajuk “Tutup Kasus Itu” mengajukan keberatan. Salah satu korban pelecehan melaporkan kasusnya pada seorang dosen, akan tetapi korban malah dipanggil dan diminta untuk menutup kasusnya. “Tutup saja kasusnya,” ujar sang dosen. Tiga orang mahasiswa menampakkan diri dan mengaku sebagai kerabat dekat dari dosen, meminta LPM Lintas untuk tidak menyertakan nama pihak terkait, hingga melempar Majalah Lintas.
Hal tersebut tentu saja membuat pihak Lintas tersinggung dan meminta mahasiswa tersebut untuk menghargai karya tulis tim redaksi. Salah satu mahasiswa tidak menyambut permintaan pihak Lintas dengan baik, sampai akhirnya memukul sekretaris dan layouter dari pihak Lintas. Beberapa hari kemudian, diadakan lah rapat biro kampus yang dihadiri oleh LPM Lintas dan para petinggi kampus.
“Ini rapat tertutup,” ujar salah seorang petinggi kampus. Mendengar hal tersebut tidak membuat Lintas gentar, mereka tetap akan mencatat apa pun yang nantinya pihak kampus katakan terkait majalah mereka. Seluruh ponsel milik pihak Lintas ditahan selama rapat berlangsung, akan tetapi pihak kampus merekam seluruh proses rapat.
LPM Lintas diminta menunjukkan data dan bukti bahwa kekerasan seksual tersebut benar-benar terjadi di IAIN Ambon dan bukannya berita bohong. LPM Lintas yang sudah melaksanakan investigasi dari mulai mencari kabar burung yang beredar terkait kekerasan seksual, hingga wawancara dengan korban yang menyambungkannya ke kasus dari korban yang lain, tentu sudah memiliki data terkait korban dan pelakunya. Akan tetapi, pihak Lintas memilih untuk melindungi data korban atas nama kode etik pers.
Pihak Lintas juga tahu kalau IAIN pernah membuat tim investigasi kasus kekerasan seksual pada tahun 2016, namun tidak mengusut tuntas kasusnya. LPM Lintas ingin agar IAIN Ambon membuat tim investigasi lagi untuk mengusut semua kasus yang ada, namun tidak digubris. Pihak kampus pun menyatakan bahwa Lintas hanya membuat berita bohong karena data dan faktanya tidak dapat dibuktikan dengan jelas. LPM Lintas resmi dibekukan setelah SK Rektor Nomor 92 keluar.
Ruang sekretariat Lintas tak berpenghuni, bahkan didapati satpam menjaga ruangan itu dan selalu merekam siapa pun dari pihak Lintas yang ingin memasuki ruang sekretariat Lintas. Beberapa hari kemudian, salah satu anggota Lintas yang masuk ke ruang sekretariat mengaku melihat ruangan yang kosong, alat-alat milik Lintas ditemukan sudah tidak ada lagi. Syukurlah data-data yang ada sudah digandakan dan disimpan di tempat yang aman, sehingga masalah ini masih dapat diperjuangkan. Miris sekali bagaimana LPM Lintas dibekukan bahkan ketika kasus kekerasan seksualnya hendak diungkapkan. Akan kemanakah korban yang butuh perlindungan? Akan bagaimanakah kebebasan pers di masa depan?
Penulis : Sandra
Penyunting : May Danawati