Ada yang berbeda dari pelaksanaan Petik Laut tahun ini di Pantai Pancer, Banyuwangi. Upacara masyarakat Banyuwangi ini diwarnai dengan aksi penolakan atas Tambang Emas Tumpang Pitu.
Panas terik terasa di sepanjang jalanan Banyuwangi. Tak satupun awan tampak hadir. Langit cerah telanjang lengkap dengan jalan yang sedikit gersang. Cuaca yang serba tak lembab ini sekiranya pantas untuk menemani upacara Petik Laut yang diadakan oleh Pemerintah Banyuwangi di Pantai Pancer.
Dengan jarak tempuh 60 km dari Kota Banyuwangi, perjalanan ini memakan waktu kurang lebih 3 jam. Perjalanan terbilang panjang dan lama, memang. Ditambah pula medan yang cukup kalut. Terlihat di ujung kiri jalan, tampak gunung yang sudah mulai terkikis akibat alih fungsi lahan menjadi tambang emas.
Sesampai di Pantai Pancer, tampak pantai dipenuhi pengunjung. Mereka terlihat menanti acara Petik Laut. Walau panas terik menyengat dan debu-debu bertebaran bersama hembusan angin. Selain acara yang dinanti-nanti ini, ada pula berbagai rangkaian kegiatan menuju acara puncak. Di antaranya sambutan dan penampilan budaya seperti parade, tarian tradisional, serta nyanyian-nyanyian lokal.
Acara di awali dengan parade budaya. Dalam parade, orang-orang membawa sesajen berupa tumpeng, buah-buahan, dan perahu sebagai simbol upacara. Rombongan parade dihadiri Pemerintah Provinsi Banyuwangi serta dikawal langsung oleh awak TNI.
Namun kekurangan dan kejanggalan masih terasa mewarnai acara yang ramai nan istimewa ini. Hal itu adalah jumlah kehadiran nelayan setempat yang terbilang cukup minim. Seakan Petik Laut tidak lagi menjadi upacara yang dipersembahkan oleh masyarakat. Seolah kini, Petik Laut hanya sebatas seremonial yang bisa dipertontonkan. Terutama bagi para wisatawan.
Ternyata ada alasan di balik kejanggalan ini. Salah satu warga yang merupakan nelayan Pancer mengeluh dan menyayangkan acara Petik Laut kali ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. “Biasanya, ramai semua itu (Petik Laut) dan murni urunan dari warga,” terang Mad saat ditemui di kediamannya yang tak jauh dari pesisir pantai,
Sepinya acara ini bukan tanpa alasan. Konflik yang terjadi antara warga dengan pihak tambang membuat sebagian aktivitas di Pantai Pancer berubah. Termasuk upacara tahunan ini. Konflik tersebut bermuara pada satu tuntutan yaitu menolak keberadaan Tambang Emas Tumpang Pitu. Penolakan ini dilakukan oleh warga yang sebagian besar adalah nelayan di Pesanggaran.
Beberapa nelayan menyatakan semenjak beroperasinya Tambang Emas Tumpang Pitu, mata pencaharian mereka semakin berkurang. Hal ini diakibatkan oleh limbah yang berasal dari tambang. Dampaknya tak lain mencemari lingkungan, terutama laut.
Selain mata pencaharian yang semakin berkurang, muncul pula kekhawatiran warga lantaran adanya trauma di masa lalu. Di tahun 1994, pernah terjadi tsunami di Dusun Pancer. Saat itu Gunung Tumpang Pitu menjadi tempat evakuasi bagi para warga. Tak heran semenjak gunung tersebut dikeruk, warga menjadi takut sekaligus mencemaskan tempat berlindung. Maka dari itu, warga berusaha keras untuk mempertahankan Tumpang Pitu sebagai benteng alami dari tsunami.
Oleh sebab tersebut, warga yang ikut menolak keberadaan tambang tidak ingin berkompromi dengan para korporat untuk melaksanakan acara Petik Laut tahun ini. Selain itu, pihak penyelenggara tidak mengizinkan warga untuk mengibarkan spanduk serta bendera penolakan.
Sejak mengetahui keikutsertaan pihak tambang dalam pelaksanaan Petik Laut, warga yang mayoritas merupakan nelayan menolak untuk turut berpartisipasi. Tindakan ini merupakan bentuk pernyataan sikap warga terhadap penolakan yang mereka lakukan. “Nelayan tahun ini engga ada yang ikut. Cuma satu kapal yang ikut, karena satu kapal itu orangnya tambang (orang perusahaan -red),” tutur Mad. (Gusti Diah/Akademika)
Editor: Kristika/Juni
[DISCLAIMER]
Berita ini dipublikasikan pertama kali pada tanggal 25 Oktober 2018 di persakademika.com