Sekali Lagi Melawan

Oleh: Khoirul Munir

Sekali lagi mahasiswa Udayana mematahkan stereotipe untuk diam dan apatis terhadap berbagai persoalan di Indonesia. Dalam rangka memperingati Hari Pelajar Internasional yang jatuh pada 17 Novermber 2017, beberapa mahasiswa Udayana yang terdiri dari Kelompok Belajar Mahasiswa Progesif (KBMP) dan Serikat Mahasiswa Kerakyatan (SEMAKRA) menggelar aksi serta pemasangan spanduk di depan Cakra Kampus Sudirman. Dalam aksi tersebut mahasiswa mengecam berbagai macam pungutan liar (seperti bazar) yang masih terjadi di beberapa kampus Unud. Mahasiswa juga mununtut diadakannya transparansi dana, mewujudkan pendidikan gratis, ilmiah dan demokratis, serta menolak segala bentuk pendidikan yang dikomersialisasikan. Kemudian aksi diakhiri dengan diskusi terkait dinamika pendidikan di Indonesia.

Sejarah adalah akumulasi dari kejadian-kejadian yang dibuat manusia. Dalam riwayat Indonesia, pendidikan memang menjadi persoalan utama. Pada masa kolonial, pendidikan hanya untuk mereka yang memiliki modal dan kedekatan dengan penguasa sehingga menimbulkan perlawanan pelajar STOVIA terhadap penjajah. Pasca kemerdekaan, dengan suasana semangat revolusi, pendidikan yang menjadi sarana utama pencerdasan justru hanya dinikmati oleh orang-orang kaya dan para borjuasi. Buku-buku yang dimahalkan dengan dalih menciptakan pendidikan berkualitas tinggi dan naiknya bahan pokok mendorong mahasiswa (yang disebut angkatan 66) melengserkan pemerintahan Orde Lama. Pada masa Orde Baru, pendidikan yang diajarkan dengan dogma-doktriner, monoversi dan manipulasi akhirnya harus digulinggkan. Dan kita bertanya, bagaimanakah suasana pendidikan pada reformasi saat ini? Sudahkah memadai untuk menciptakan para ilmuan?

Setiap tindakan akan selalu ada konsekuensi. Dewasa ini, fenomena globalisasi dengan praktik neoliberalismenya (pasar bebas) yang membuat adanya privatisasi, komersialisasi pada segala bidang termasuk pendidikan. Dan pendidikan akan terus bergejolak melenting dalam arus zaman. “Lawan” merupakan kata yang tepat untuk menyemangati keberanian dari KBMP dan SEMAKRA dalam melakukan aksi pada 17 November kemarin untuk mendobrak belenggu sejarah. Inilah kesadaran dan keberanian mahasiswa untuk berkata “Tidak” pada segala bentuk penghisapan, penindasan terutama yang dilakukan melalui pendidikan. Dari keberanian tegas dan telanjang semacam inilah kita akan melihat adanya benih-benih demokrasi dan kesejahteraan.

Pendidikan adalah buah revolusi, sebagaimana revolusi juga merupakan buah dari pendidikan. Di negara-negara dimana pendidikan tidak dapat diakses oleh rakyatnya, karena lembaga pendidikan adalah salah satu aset pemodal untuk diprivatisasikan. Di Indonesia masalah pendidikan yang ruwet pada dasarnya berujung dan berpangkal pada “kapitalisme pendidikan”. Pendidikan hanyalah lembaga ‘ideologi aparatus negara’ karena ilmu pengetahuan yang diajarkan dalam dunia pendidikan bukan untuk menyelesaikan permasalahan manusia, justru membohonginya. Ilmu pengetahuan dan teknologi nyatanya berjalan lambat, hanya citranya saja yang diperbarui melalui promosi. Produk lama akan dimodifikasi oleh pekerja-pekerja promosi melalui pembuatan iklan yang melahirkan ilmu komunikasi model kapitalis, juga sekolah-sekolah dan bimbingan belajar yang membentuk muridnya bekerja sebagai model, pekerja seni (hiburan) dll.

Kemajuan pendidikan dalam masyarakat kapitalis adalah sejauh menghasilkan tenaga-tenaga kerja yang akan dapat membuat mesin-mesin industri berjalan, sehingga ilmu pengetahuan dipecah-pecah yang ke semuanya bermuara pada hubungan jual beli. Dalam kapitalisme manusia diajarkan bahwa berproduksi bukan dipakai demi kesejahteraan bersama, melainkan diklaim secara pribadi dan dijual-belikan untuk mencari keuntungan. Ketimpangan kelas masih langgeng sebagaimana zaman feodal. Maka tak heran, ideologi pendidikan yang ada diabdikan untuk pelanggengan sistem penindasan kelas ini. Lembaga pendidikan pun hanya menciptakan peserta didik yang akan menjadi penggerak mesin penindas. Hal itulah yang membuat Bakunin berkata, generasi penerus penindas ialah kelas-kelas terdidik.

Seseorang tidak digerakkan dengan nilai (moral) yang ada pada dirinya, melainkan berkompromi dengan pemilik kuasa. Bagi Foucault, lembaga pendidikan hanyalah penjara untuk mendisiplinkan dan menciptakan tubuh-tubuh yang patuh pada penguasa. Anak-anak masuk sekolah sebagai tanda tanya, keluar sekolah sebagai tanda titik. Akhirnya mereka hanya menjadi kelas-kelas pekerja terdidik. Pendidikan yang dipercaya untuk memanusiakan manusia, justru malah mendehumanisasikannya. Anak dan orang tua yang bunuh diri karena tidak mampu membayar biaya kuliah; dosen dan birokrasi pendidikan yang korup; kampus yang hanya menjadi ajang bergaya hidup di tengah serangan budaya pasar menjadikan mahasiswa hanya bisa tampil tren, komsumtif, tidak produktif (apalagi kritis); privatisasi dan komersialisasi lembaga pendidikan; dan lain sebagainya adalah kepingan-kepingan gambar tentang lukisan buram dari wajah pendidikan kita.

Pendidikan adalah ‘penyempurna’ manusia, demikian Maskawih berkata. Pendidikan harus membuat peserta didik memiliki sensitivitas terhadap realitas. Aksi 17 November 2018 oleh segelintir mahasiswa Unud ini merupakan bentuk dari kesadarannya akan realitas yang dihadapinya, bahwa pendidikan di Indonesia telah perifer dengan yang dicita-citakan pada saat awal pembentukan negara. Tindakan mereka yang berani untuk melawan tembok kekuasaan yang kuat patutlah kita apresiasi, bahwa kesadaran mahasiswa Udayana akan realitas dunia belumlah sepenuhnya mati. Di tengah sandiwara birokrasi negara (kasus Papa SN misalnya), mahasiswa hadir membahas masalah paling substansial, yakni pendidikan. Karenanya menurut Plato, pendidikan yang baik akan mengarahkan pada pemerintahan yang baik, sebaliknya pemerintahan yang baik akan mengarahkan pada pendidikan yang baik. Disini kita bertanya, apakah berbagai permasalahan di negara ini seperti korupsi, diskriminasi dlsb, akibat pendidikan yang buruk-yang melahirkan pemerintahan korup? Atau karena pemerintahan yang korup sehingga membuat suasana pendidikan menjadi buruk?

Keadaan tidak akan berubah hanya dengan membaca, berdiskusi, apalagi diam tanpa tindakan. Pendidikan bukanlah untuk si kaya, melainkan untuk seluruh lapisan massa rakyat. Mencerdasakan kehidupan bangsa merupakan fungsi negara dan mendapatkan pendidikan adalah hak atas setiap warganya. Pendidikan bukanlah barang dagangan (meski faktanya seperti itu), tetapi ialah medium menumbuhkan kesadaran dan kesejahteraan. Apakah kita akan tetap diam melihat pendidikan yang dipermainkan oleh pemilik modal dan kekuasaan? tetap berpangku tangan dan meminta belas kasihan pemerintah hanyalah akan menciptakan generasi karbitan yang justru memapankan kekuasaan.

Mahasiswa adalah calon cendekiawan, menjadi pelopor sebuah perubahan yang melebur dalam arus massa dan kapitalisme (pendidikan) adalah musuh bersama. Dalam setiap cita-cita pasti ada kerikil yang menghalanginya. Menciptakan pendidikan yang ilmiah dan kesejahteraan bukanlah hal mudah, namun ingatah massa yang bersatu tak akan dapat dikalahkan. Dan jika tirani kemapanan (dalam pendidikan) itu ada, maka ia harus dihancurkan.

Sumber foto: Marchika Langkay

You May Also Like