Munculnya revolusi industri pada ratusan tahun silam, boleh saja membuat manusia dimanja segala kemudahan. Kendati demikian, bagaimana nasib alam? Semakin tua usia bukannya dirawat dengan telaten, bumi justru dibiarkan menanggung beban. Kian hari kian kesulitan. Terus menunggu kesadaran serta rangkulan seluruh penerus.
Kepekaan anak muda terhadap isu krisis iklim dan lingkungan cukuplah tinggi. Survei Yayasan Indonesia Cerah pada 9-16 September 2021 dengan rentang usia responden 17-35 tahun, mengungkapkan sebanyak 52 persen dari 4.020 responden khawatir akan kerusakan lingkungan. Namun, kekhawatiran itu belum seutuhnya mengarah kepada kesadaran maksimal pada lingkungan.
Perkembangan dunia industri, turut menggeser pola pikir dan gaya hidup generasi muda. Termasuk arah pilihan karir yang condong ke profesi digital industrialis dan bisnis. Berdasarkan artikel Kompas.com yang bertajuk ‘10 Jenis Pekerjaan Paling Dicari selama 2021, Menurut JobStreet’, digital marketing merupakan pekerjaan paling dicari anak muda pada tahun 2021 dengan peningkatan sebesar 66 persen.
Alih-alih tertarik pada profesi kekinian ala JobStreet, Ni Nyoman Oktaria Asmarani (24) melangkah dengan berani untuk melakoni profesi menjaga bumi. Kecintaannya terhadap riset dan jurnalistik, membuat Rani menimbang-nimbang profesi yang pas baginya. “Merasa kalau aku kayaknya nggak akan jadi wartawan dan kalau mau jadi peneliti di Bali itu juga agak susah karena lembaga penelitian sedikit di sini, jadi aku memutuskan sebagai buruh LSM,” terang Rani.
Namun, April 2021 lalu, perempuan lulusan Universitas Gadjah Mada ini, memutuskan berhenti dari kantor pertamanya. Alasannya, di kantor lamanya, Rani tak memiliki kesempatan untuk terjun langsung mengedukasi masyarakat. “Karena tidak in touch dengan masyarakat langsung, fakta yang mereka temui di lapangan aku membutuhkan itu, aku merasa ini agak kurang cukup,” terangnya. Sehingga Rani memulai babak barunya dengan melamar di LSM Merah Putih Hijau (MPH) Bali.
LSM MPH Bali merupakan lembaga nirlaba, berfokus pada pengelolaan sampah berbasis sumber dengan memberdayakan masyarakat. Berbeda dengan organisasi lingkungan lainnya, MPH Bali yang berdiri sejak tahun 2017 mengajak masyarakat untuk mengelola sampah rumah tangga, dengan jargon “Pemisahan adalah Kunci”. Menggunakan pendekatan sosial-budaya, setiap komunitas akan menemukan cara penyelesaian masalah sesuai dengan karakter masyarakat setempat. Pelibatan tokoh masyarakat dalam kegiatan sosialisasi, setiap rumah tangga wajib memisahkan sampah yang dihasilkan agar dapat diproses lebih lanjut. Sehingga hanya residu yang terbuang ke TPA.
Sebagai Manajer Proyek, Rani berperan besar melanjutkan tahapan ‘ubah kebiasaan’ tersebut ke lingkup pelatihan dan edukasi. “Bagaimana caranya kita membuat masyarakat itu paham dan tercerahkan bisa melakukan sesuatu. Jadi, tidak semata-mata kita lakuin ini ya, kita tinggal, tetapi kita justru sama-sama masyarakat memecahkan masalah yang ada di masyarakat itu sendiri,” papar Rani. Setelah teredukasi, masyarakat yang berkomitmen didaulat sebagai ‘Pahlawan Lingkungan’ atau ‘Eco Champions’.
Mengabdikan diri pada isu lingkungan, membuat Rani berjejaring luas dengan rekan organisasi sejenis. Salah satunya Bye Bye Plastic Bags (BBPB), Rani sempat bergabung pada aktivitas kampanye media sosial BBPB, yang bertajuk “Heros Week Campaign”. Meski fokusnya berbeda, tetapi cita tetaplah sama yakni menyadarkan manusia bahwa ancaman perubahan iklim itu nyata. Project Leader BBPB, Dara Datita Ginting (26), membagikan kisahnya selama berprofesi di ranah lingkungan. Setelah lulus dari Universitas Udayana, gadis asal Sumatera Utara ini mengejar panggilan hatinya pada bumi dan bekerja pada salah satu LSM di Nusa Lembongan. Seiring waktu, Dara pun tersadar akan satu hal. “Melihat anak-anak sebenarnya mereka mau taking actions di saat mereka tahu masalahnya, disitu saya makin semangat untuk bisa fokus concern di masalah ini,” jelas Dara yakin.
Tahun 2021, Dara meninggalkan LSM terdahulu dan melabuhkan hatinya kepada BBPB. BBPB didirikan Melati dan Isabel Wijsen saat masih berusia 12 dan 10 tahun. “Ternyata anak-anak muda sekecil itu, nggak harus menunggu tua dulu untuk mereka buat aksi dan BBPB sekarang menjadi sebesar ini,” ungkap Dara. Kata hati kian menguat, tatkala Dara menonton film dokumenter yang berlatar di Pulau Midway bagian Samudera Pasifik, Ia tersentak mengetahui banyaknya burung albatros yang mati karena menelan sampah plastik. Rani dan Dara berupaya keras mengembalikan keindahan Bali, lantas adakah kesempatan bagi Bali terlepas dari gerusan sampah?
Pulau Surga dalam Gerusan Sampah
Miguel Covarrubias dalam Dokumentasi Majalah LIFE yang terbit pada 7 Maret 1937 menyiratkan sebuah pesan bernada kekhawatiran. “Bukan kemisteriusan maupun keindahan Bali yang ditakutkan oleh Covarrubias, melainkan kemungkinan bahwa Pulau Dewata akan diserbu oleh para misionaris dan wisatawan yang akan menantang kehalusan rakyatnya, menghancurkan budayanya, dan merusak peradabannya.”
Antropolog berkebangsaan Meksiko itu seolah menerawang masa depan pariwisata di Bali bak pisau bermata dua, mendulang berkah sekaligus resah. Laporan Perekonomian Provinsi Bali, terbitan Bank Indonesia, mencatat bahwa tahun 2021 pendapatan Provinsi Bali, komponen pajak dan retribusi sektor pariwisata mengalami penurunan. Perbaikan terhadap situs pariwisata terus digencarkan, tetapi ada hal menyedihkan dibaliknya. Citra mdwdasyarakat Bali yang ramah melayani wisatawan, tetapi persoalan sampah khususnya dari rumah tangga sendiri, Bali masih terseok-seok.
Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional pada tahun 2021, mengungkapkan 65,1 persen sampah di Bali bersumber dari rumah tangga. Ini berarti jika ada sepuluh sampah yang mengapung, enam diantaranya boleh jadi telah melewati perjalanan panjang dari tong sampah rumahan. “Sebenarnya yang paling utama sekali itu masalah sumbernya. Jangan diserahkan semua kepada yang mengelola, kalau bisa yang di hulu ini dia bisa milah sampah,” tutur Dr. Eng. Ni Made Pertiwi Jaya, S.T., M.Si., M.Eng. sebagai Dosen Teknik Lingkungan Universitas Udayana. Pertiwi lanjut menuturkan, kenyataannya tidak semua masyarakat siap untuk memilah sampah.
Alhasil, banyak desa adat di Bali terburu-buru membeli alat dan membangun Tempat Pengolahan Sampah – Reduce Reuse Recycle (TPS3R). Celakanya, tak sedikit desa yang sekadar memboyong pulang alat tersebut tanpa membekali diri dengan pengetahuan yang mumpuni. “Kebanyakan TPS 3R yang dibangun itu umurnya nggak sampai dari setahun. Karena ya dia cuma beli alatnya saja, ditaruh di sana, terus nggak punya pengetahuan yang memadai untuk menggunakannya,” ungkap Pertiwi. Dirinya meyakini, Sumber Daya Manusia dalam persoalan ini memegang peranan amat penting. Setidaknya petugas TPS 3R harus memiliki kualifikasi sehingga layak mendapatkan pelatihan.
Menyoal regulasi, Pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber. Regulasi itu ditindaklanjuti dengan Keputusan Gubernur Nomor 381/03- P/HK/2021 dan Instruksi Gubernur Nomor 8324 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber di Desa/Kelurahan dan Desa Adat. Regulasi itu mengatur strategi Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber di Desa/Kelurahan dan Desa Adat, yang mewajibkan warga melakukan pemilahan sampah di rumah tangga, membatasi penggunaan bahan plastik sekali pakai sesuai dengan Pergub Bali Nomor 97 Tahun 2018, serta melarang warga membuang sampah di Danau, Mata Air, Sungai dan Laut sesuai dengan Pergub Bali Nomor 24 Tahun 2020.
Regulasi akan berjalan efektif apabila masyarakat dan lembaga terkait mengawasi secara langsung implementasinya. “Sebenarnya NGO ini sangat berperan sekali dalam memonitor. Misalnya ada sampah di Kuta, mereka langsung heboh, kan itu sebagai salah satu bentuk alarm untuk pemerintah maupun institusi yang terkait” jelas alumni Universitas Yamaguchi ini.
Kolaborasi Meretas Batas
Perjalanan Rani dan MPH Bali mengedukasi dan melatih warga desa dalam mengelola sampah berbasis sumber sampailah pada Desa Pejeng. Tahun 2020 lalu, MPH Bali memperkenalkan metode Windrow Composting melalui sistem blower untuk memudahkan pekerjaan saat membalik kompos. Pejeng juga berpotensi untuk mengembangkan program BSF (Black Soldier Fly) dan program pertanian organik. Kompos hasil produksi TPS 3R pun dimanfaatkan demi mewujudkan terciptanya ekonomi sirkular dalam pengelolaan sampah bagi desa.
Sebelum kedatangan MPH ke Desa Pejeng. Tahun 2019, kondisi TPS 3R di Desa Pejeng tidak terkelola dengan maksimal. Hingga figur Jero Sri Umayani (50) yang bersedia memimpin pengelolaan TPS 3R di Desa Pejeng. “Ini desa, desa kami. Rumah, rumah kami. Sampah, sampah kami. Itu prinsipnya. Karena bagi kami, sampah kami tanggung jawab kami,” kata Jero Sri menggebu. Selama menempuh perjalanan berliku, pensiunan atlet voli itu tidak berjuang sendiri. Dirinya menggandeng ibu rumah tangga yang bergabung PKK Desa Pejeng. Jero Sri meyakini perempuan desanya sanggup menjawab panggilan bumi yang hendak kembali lestari.
Selama tahun pertama, Jero Sri dan 36 kader lainnya telah berhasil menetapkan jadwal pengangkutan sampah sesuai golongannya. Namun, saat itu Pejeng masih bergerak tanpa sistem yang tepat. Berkat adanya dukungan dari desa, para kader kebersihan Desa Pejeng akhirnya belajar bersama dengan MPH Bali. “Sistemnya benar-benar jelas. Jelas penggarapannya, jelas tujuannya. Ibu banyak belajar dari situ. Kalau MPH tidak datang, Ibu mungkin tidak akan tahu ilmunya,” aku Jero Sri. Kini, berdasarkan Laporan Triwulan MPH Bali Tahun 2021, Desa Pejeng berhasil mengelola sebanyak 15,6 ton material organik dan non organik, dengan rata-rata 13,5 ton material kompos yang dibuat. Alhasil Desa Pejeng mampu mengurangi pembuangan sampah ke TPA hingga 60 persen.
Entah kapan Bali mampu menanggulangi persoalan sampah secara holistik. Namun, satu hal yang pasti dari pengamatan Pertiwi, pembebasan Bali dari sampah ibarat sebuah perjalanan yang amat panjang. Pertiwi menuturkan, sebelum memiliki pengelolaan sampah yang maju, Jepang juga pernah berada di posisi ini. Menghabiskan waktu yang panjang untuk bertumbuh menjadi seperti sekarang.
“Mungkin kita perlu 20 tahun dari sekarang untuk seperti itu. Kayaknya bisa, karena sekarang sudah lumayan, apalagi sudah ada aturannya. Harapannya nanti setelah masyarakatnya sudah bisa milah sampah, kemudian fasilitasnya perlu distandar semua dan dilengkapi,” harap Pertiwi.
Hingga detik ini, Rani dengan MPH Bali maupun Dara dengan BBPB, terus bergerak meretas batas usia. Mereka percaya bahwa terus-menerus bersentuhan langsung dengan masyarakat, lambat-laun mereka akan tersadar. Keduanya meretas batas usia, bahwa menjaga bumi bukan tanggung jawab muda-mudi semata, tetapi tanggung jawab seluruh umat manusia.
Reporter: Yuko, Kartika, Dayita
Penulis : Yuko, Kartika, Dayita
Editor : Yuko
Sumber / Referensi
Afayat, Ihya. 2021. Survei: 52 Persen Generasi Muda Peka Isu Lingkungan dan Krisis Iklim. https://www.greeners.co/berita/survei-52-persen-generasi- muda-peka-isu-lingkungan-dan-krisis-iklim/ (diakses tanggal 23 April 2022)
Bandem, Marlowe dan Propagila, Gilang. 2020. Arsip Bali 1928: Meneropong Pesona Alam dan Budaya Bali 1930. Denpasar. Sindikat Pesta Kebon.
Merah Putih Hijau Bali. 2021. Laporan Kuartal Tiga. https://mph- bali.org/id/contact-id/ (diakses tanggal 9 April 2022)
Instruksi Gubernur Bali Nomor 8324 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber di Desa/Kelurahan dan Desa Adat.
Keputusan Gubernur Bali Nomor 381/03-P/HK/2021 Tentang Pedoman Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber Di Desa/Kelurahan Dan Desa Adat.
Peraturan Gubernur Bali Nomor 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber.
SIPSN Kementerian Lingkungan Hidup. 2021. Data Pengelolaan Sampah dan RTH, Sumber Sampah Provinsi Bali. https://sipsn.menlhk.go.id/sipsn/public/data/sumber (diakses tanggal 21 April 2022)
Tashandra, Nabilla. 2021. 10 Jenis Pekerjaan Paling Dicari selama 2021, Menurut JobStreet. https://lifestyle.kompas.com/read/2021/06/08/135139320/10- jenis-pekerjaan-paling-dicari-selama-2021-menurut-jobstreet?page=all (diakses tanggal 23 April 2022)