Memaknai Kemenangan Dharma dengan Hidup Berkesadaran

Sederet rahinan atau hari raya suci mengisi keseharian umat Hindu di Bali. Salah satunya adalah hari raya Galungan, yakni perayaan spesial yang hadir setiap enam bulan sekali. Penjor-penjor pun berjejer dengan rapi, hamparan padi yang menguning, serta segala isi bumi adalah simbol rasa syukur terhadap segala anugerah yang diberikan oleh Sang Pencipta. Para warga pulang ke kampung halamannya masing-masing, menunaikan Dewa Yadnya dengan bersembahyang ke pura-pura, perwujudan bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Semarak Galungan diisi dengan suka cita, saling melepas rasa rindu dengan keluarga, terkadang disisipi pula basa-basi yang biasa.

Pasar yang sebagian besar tidak tampak seperti pasar, kian ramai dikunjungi, terutama ketika hari Penampahan Galungan. Sehari sebelum Galungan itu, sebagian besar ibu-ibu memborong buah-buahan di bazar murah. Swalayan tampak sesak, para ibu berebut mendapatkan buah terbaik, tentunya diboyong pulang dengan harga yang ramah di kantong. Begitulah sebagian pemandangannya. Namun, bukan hanya buah saja yang jadi rebutan. Daging, janur, bunga, dan berbagai kebutuhan pokok menjadi bintang utama yang selalu dicari ibu-ibu. Bapak-bapak juga tidak mau kalah, berburu bambu terbaik untuk membuat penjor. Sedangkan, anak-anak membantu orang tuanya mempersiapkan segala sarana upakara sebaik mungkin.

Mungkin sah-sah saja berbelanja banyak sekali. Toh, enam bulan sekali untuk ber-yadnya, mempersembahkan yang tebaik kepada Tuhan dengan dasar lascarya—tulus dan ikhlas. Setiap Galungan, ada suatu kalimat khas yang menjadi filosofi hari raya ini, “Kemenangan dharma melawan adharma,” yakni bermakna kemenangan dari kebaikan melawan keburukan. Kemenangan kebaikan tidak hanya menjadi prinsip umat Hindu saja, seluruh agama memiliki hari raya tersendiri untuk merayakan kemenangan kebaikan. Namun, esensi utamanya ialah kemenangan setelah mampu mengendalikan segala nafsu, amarah, dan sifat buruk dalam diri. Apalagi ketika pandemi Covid-19 melanda, perayaan hari raya tak lagi sama. Kendatipun demikian, belakangan Bali kembali ramai. Aktivitas di pasar berangsur pulih, meskipun harga kebutuhan pokok kian meninggi. Setidaknya, tahun ini umat Hindu jauh lebih siap menyambut hari raya.

Sejatinya, konsumerisme masyarakat Bali layak mendapat perhatian. Aspek ekonomi boleh saja selamat, tetapi tidak serta merta beriringan dengan aspek lainnya, salah satunya lingkungan. Bermacam-macam sesaji yang dihaturkan boleh saja sebagai wujud syukur kepada Sang Hyang Widhi. Sayangnya, setiap timbulan sampah pasca menghaturkan sesaji tidak dikelola dengan tepat. Alhasil, sampah pasca upakara yang sebagian besar menjadi sampah organik berpadu dengan jenis sampah lainnya. Timbulan sampah ini menghasilkan gas metana yang berkontribusi dalam efek gas rumah kaca yang menjadi penyebab utama pemanasan global. Tak dapat dipungkiri, setiap aktivitas manusia selalu menghasilkan sampah. Termasuk untuk menjalani upacara keagamaan dan perayaan hari suci, sampah selalu ada.

Lantas, bagaimana menanggulangi persoalan sampah upakara? Apakah setelah sepenuh hati menghaturkan yadnya, tidak ada usaha untuk mengetahui kemana sampah yang terbawa pasca upacara yadnya? Jangan sampai Tri Hita Karana hanya menjadi tataran filosofis tetapi minim aksi. Menjaga hubungan harmonis wajib seimbang antara Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan. Bhakti kepada Tuhan saja tidak cukup, kebiasaan baru harus dibangun agar hari raya setidaknya minim sampah.

Hidup berkesadaran atau mindfull living, layak menjadi panduan bersama untuk membenahi diri dan memaknai kemenagan dharma. Sadar terhadap apa yang dikonsumsi maupun belanjaan berlebih yang dapat dikendalikan. Sadar terhadap sampah sisa upakara yang dapat dipisah sesuai dengan jenis sampahnya. Serta sederet kesadaran yang dapat merasuk ke setiap aspek kehidupan. Hidup berkesadaran dapat perlahan-lahan diwujudkan dalam setiap aktivitas manusia. Hal ini dapat dimulai dari hal yang paling dekat, yakni mengendalikan nafsu dan menyadari keberadaan makhluk hidup lainnya. Meskipun dalam perjalanannya tidak serta merta mulus, tanpa memulai kita tak akan pernah mengetahui nikmatnya hidup berkesadaran. Sebab, hidup berkesadaran merupakan gaya hidup yang melekat dan berjalan secara berkelanjutan, tentu perubahannya tidak instan, wujud perubahannya hanya akan terjawab oleh sang kala (waktu-red).

Memaknai kemenangan dharma, tidaklah kaku. Tidak melulu dengan berkutat pada lontar, berbicara tentang dewa-dewi, bahkan surga-neraka. Hidup dengan penuh kesadaran adalah langkah sederhana untuk memaknai kemenangan dharma. Sehingga, dari hidup berkesadaran kita mampu menjadi manusia yang utuh.

Penulis: Yuko Utami

Penyunting : Juniari

You May Also Like