Utari dan Semestanya

Aku terpaku sambil menatap hamparan ilalang yang membentang sepanjang mata. Anak rambutku ikut terangkat karena angin nakal yang sedang ingin bermain dengannya. Ditemani sepiring pisang goreng dan dua cangkir teh manis, aku duduk di teras tanpa ada tujuan yang pasti, dalam waktu yang tak ditentukan.

“Loh, Sandi belum jemput, nak?” Aku menoleh ke belakang, mendapati nenekku tengah berjalan menghampiriku sembari membawa dua rantang ukuran sedang yang ia tenteng. Sebagai cucu yang baik, aku mengambil alih rantang tersebut dan menaruhnya di atas meja.

“Belum, Nek. Katanya Sandi masih ada urusan dengan para sahabatnya. Biasa, paling kalau tidak di bengkelnya Mang Harun pasti di kos si Gunung.” alibiku kepada nenek. Anggap saja aku sudah khatam benar bagaimana kebiasaan Sandi, kekasihku. Mulai dari makanan kesukaan, hobi, hingga kebiasaan buruknya saja aku tahu. Yang tidak aku tahu hanya alasan dia menamai ketiga kucing kembarnya dengan nama super unik ; piyik, puyuh dan pempek. Sandi kadang memang terlalu abstrak untuk dipahami.

Tak lama setelahnya, suara motor vespa terdengar tengah mendekat ke arah rumah nenek. Jelas kulihat penampakan Sandi dengan kemeja biru bergaris tengah tersenyum ke arahku. Aku balas dengan senyuman, sayangnya bukan senyun manis. Aku terlalu kesal pada manusia satu ini.

Pemuda itu kemudian membuka helmnya dan segera berlari ke arahku.

“Uta-riii, haduh saya capek. Kamu menunggu lama ya?” tanyanya dengan wajah agak panik. Aku memasang wajah datar, menghindari kemungkinan luluh dengan tatapan anak kucing di depanku.

“Padahal kamu janji antar aku ke toko buku, tapi malah kamu yang mengingkari.” kataku, bersungut-sungut. Sandi agak panik, dia menggaruk tengkuk belakangnya yang tak gatal.

“Ya sudah, selepas dari toko buku, saya ajak kamu jalan-jalan ya? Kita keliling Jakarta pakai si Udin.” senyumku perlahan terbit, tertular lengkungan indah membentuk senyuman yang tercipta di mata Sandi. Kami berdua lantas berpamitan dengan nenek, tak lupa membawa rantang pemberiannya.

Baru saja aku ingin mengambil helm yang tergantung di spion, Sandi buru-buru merebutnya. “Sini saya pakaikan.” ucapnya bersamaan dengan tangan yang dengan telaten memasangkan helm berwarna biru itu di kepalaku. Pipiku terasa panas, efek kasmaran.

“Ayo naik.” Aku mengangguk, segera kunaiki jok belakang yang memang agak sempit, tapi Masih cukup menampung tubuhku yang terbilang mungil. Si Udin berjalan, meninggalkan pekarangan rumah nenek yang asri. Kami berangkat menuju kota, tepatnya toko buku sebagai tujuan utama.

“Senang?” tanya Sandi ketika kami sampai di Monas. Kami memilih duduk di pinggir, rantang kosong yang isinya sudah raib karena kami makan, ku taruh disebelahku.

“Inflasinya makin parah ya?” kataku sambil memandang hamparan langit biru di atas, terkadang ada satu dua burung yang numpang lewat di sana. Monas sedang sepi, mungkin hanya beberapa orang termasuk kami yang berkeliaran.

“Yaa mau bagaimana lagi? semuanya ada titik baliknya, tergantung siapa yang memimm- Aduh!, Kenapa kamu pukul saya?” sungut Sandi ketika bahunya ku pukul. Aku menatap wajahnya dengan tatapan tajam.

“Jangan bicara itu disini, tempat umum.” peringatku. Pemuda itu hanya mengangguk diiringi ekspresi tengil bin menyebalkan. Aku memijit pelipisku pelan, lelah dengan tingkahnya yang sembrono.

Sandi tersenyum sembari mengusap rambutku pelan. “Beropini itu wajar, Utari. Asalkan landasannya valid dan bisa diterima, ya tidak masalah seharusnya.” Aku menatap manik kelamnya dengan lekat, lalu menghela napas pelan. Aku memang tidak bisa menghentikannya, Sandi punya prinsip yang dia pegang sendiri. Setidaknya jika itu masih dalam batas wajar, aku tidak akan keberatan.

Aku hanya tidak ingin dia menghilang tanpa pamit. 

Penulis : Santika

Penyunting : Amsal

You May Also Like