Oleh: Ida Ayu Suryantini Putri
Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang digunakan sebagai alat komunikasi, bersifat konvensional (kesepakatan) dan arbitrer (mana suka). Dari pengertian itu, bahasa menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya yang merupakan akar bahasa. Bali yang terkenal dengan budayanya, mau tak mau harus mempertahankan bahasa Bali sebagai bahasa ibu, jika tak ingin budaya Bali mengalami kelumpuhan. Sehingga kabar tentang perubahan kurikulum 2013 yang mengintegrasikan bahasa Bali ke dalam mata pelajaran seni budaya, tak urung menuai protes.
Benteng kuat Bali yakni Agama Hindu, tak akan mampu menahan arus persebaran bahasa lain jika orang Bali sendiri tidak menyadarinya. Padahal Agama Hindu dan bahasa Bali adalah kesatuan yang sulit dipisahkan karena saling membutuhkan dalam kehidupan orang Bali umumnya. Agama Hindu adalah agama mayoritas orang Bali dengan upacara sebagai realisasinya dan bahasa Bali menjadi sarana dalam melakukan upacara itu. Sehingga jika orang Bali tidak berupaya mempertahankan bahasa Bali sedini mungkin, nantinya bahasa tersebut hanya bisa ditemui di lontar-lontar atau pada saat upacara keagamaan yang membutuhkan bahasa Bali sebagai perantaranya.
Sebelum menilik ke segala polemik yang terjadi di luaran sana terutama perdebatan tentang kurikulum, mari melihat sejenak ke kenyataan di sekitar kita. Bahasa Bali semakin sulit ditemukan pemakaiannya terutama di kalangan anak muda Bali. Sor singgih basa menjadi alasan utamanya. Padahal tanpa memandang strata sosialpun sebenarnya anak muda Bali tak disalahkan jika memang ingin menggunakan bahasa Bali dalam berkomunikasi sebagai proses belajarnya. Menjadi pertanyaan kemudian, jika orang Bali tidak mencoba menggunakan bahasa Bali, bagaimana caranya orang Bali tahu mana yang salah dan yang benar ditinjau dari tata cara berbahasa Bali?
Sebenarnya jika perubahan kurikulum ini dilakukan puluhan tahun silam, ketika bahasa Bali tak mengalami penyurutan penutur seperti zaman sekarang ini, tentu perubahan kurikulum bukanlah masalah besar. Akan tetapi ketika jumlah penutur bahasa Bali semakin berkurang ditambah dengan pengintegrasian, akan membuat nasib bahasa Bali semakin di ujung tanduk. Globalisasipun menjadi kambing hitam dalam hal ini, walau tak selamanya demikian. Globalisasi boleh dinikmati kemudahannya, namun perlu diwaspadai pula perkembangannya.
Jika saja ‘kita’ sebagai orang Bali mau menggunakan bahasa Bali sebagai salah satu upaya untuk melestarikannya, kita tak perlu takut kehilangan bahasa Bali hanya karena perubahan kurikulum. Bahasa Bali adalah bahasa komunikasi orang Bali, bukan hanya bahasa yang diajarkan di sekolah selama dua jam pelajaran.