Menggugat Mental Birokratis Rektorat

Alih-alih menginisiasi kebijakan yang tanggap pandemi, sebaliknya pihak Rektorat Universitas Udayana menunjukkan watak yang sangat birokratis. Berulang-ulang audiensi antara perwakilan mahasiswa dengan pihak rektorat bertabur pernyataan formalitas berlebih; betapa rektorat menyakralkan aturan atasannya dan seolah tak berdaya menyikapi kondisi kampus. Acap pula dihiasi pernyataan blunder yang memicu kegaduhan tak perlu.

Watak birokratis itu terlihat dalam respon pihak rektorat Univesitas Udayana terhadap aspirasi mahasiswa di tengah pandemi. Dalam beberapa pemberitaan Pers Akademika, bila dirunut secara kronologis, tercapainya audiensi pada Senin (3/6) melewati serangkaian upaya audiensi pada tanggal 15 Mei 2020, 20 Mei 2020, hingga aksi pada 2 Juni 2020 dengan berbagai sengkarut kegaduhannya. Barulah tiba Senin itu, negosiasi Bersama WR 4 Unud membuahkan janji untuk mewujudkan audiensi dengan sang rektor. Sayangnya, berbagai audiensi yang digawangi para Wakil Rektor tersebut terkesan hanya formalitas, tindak lanjutnya mengawang, dan tidak menghasilkan keputusan karena semua keputusan kembali ke wewenang rektor.

Jumat (5/6) audiensi pertama dengan rektor unud dilaksanakan. Pada audiensi inilah kesan formalitas itu menemukan buktinya. Mekanisme pengajuan BLT (Bantuan Langsung Tunai -red) kloter ke-2 yang telah diaudiensikan sebelumnya, nyatanya belum sampai ke telinga rektor unud. Rektor mengaku belum mengetahui mengenai hal tersebut. Namun tanpa perlu adanya rapat pimpinan maupun mekanisme birokrasi lainnya yang begitu rumit, pengajuan BLT kloter 2 pun dapat disetujui pada saat itu juga. Selain birokratis, terbukti pula bahwa ada birokrasi yang tersumbat dan tidak disampaikannya aspirasi mahasiswa kepada Rektor Unud. Berlanjut audiensi pada Rabu (10/6), lahir kebijakan surat edaran tentang pembukaan BLT tahap II dan pembebasan UKT semester ganjil tahun akademik 2020/2021 bagi mahasiswa yang sedang menulis skripsi dan terhambat akibat pandemi. Kebijakan ini patut diaprediasi. Sayangnya, poin utama terkait pembebasan UKT golongan 1 dan 2 serta diskon 50% bagi UKT golongan 3, 4, dan 5 selalu tak menemui titik terang. Hal ini kemudian menjadi topik utama pada audiensi lanjutan pada Senin (15/6). Rektorat turut mengundang para dekan fakultas dengan acara yang disebut bertujuan untuk ‘menyamakan persepsi’ ketimbang membahas tuntas kajian mahasiswa serta mencari jalan alternatif.

 

Formalitas Berlebih dan Kegaduhan yang Tidak Perlu

Bila membahas tuntutan utama, pernyataan rektorat selalu sama; akan melanggar aturan kementrian, takut terhadap audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan – red) bila mengabulkan tuntutan utama, dan kewenangan rektor yang terbatas. Sayangnya, pernyataan ini diwarnai dengan blunder yang memicu kegaduhan tak perlu. Misalnya, pernyataan Wakil Rektor III yang bermakna bahwa Universitas Udayana menerapkan apa yang disebut dengan klausula baku, dengan pernyataan “…kalau tidak bisa mengikuti ya silahkan keluar dari Unud”. Potongan pernyataan ini kemudian viral di media sosial. Sayangnya, cara rektor merespon kejadian tersebut dengan melarang siaran langsung yang dilakukan pihak mahasiswa pada audiensi lanjutan, menyulut kekecewaan.

Selain itu, pihak rektorat selalu berdalih tidak adanya landasan hukum untuk memenuhi poin pertama tuntutan mahasiswa terkait diskon dan pembebasan biaya UKT bila ditelisik dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi maupun Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2017 Tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal Pada Perguruan Tinggi Negeri Di Lingkungan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.

Lebih mengejutkan, pernyataan WR IV yang secara rinci membedah Permenristekdikti No. 39 Tahun 2017 tersebut mengatakan “Untuk masa pandemi, pasal 5 tidak ada yang mengatur prosedur kondisi khusus pandemi..”. Ia bersikukuh bahwa kewenangan rektor hanya untuk melakukan penurunan UKT, tidak untuk pembebasan apalagi diskon seperti skema pembiayaan UKT di tengah pandemi yang ditawarkan mahasiswa. Pernyataan itu menjelma sikap formalitas berlebih rektorat, betapa di dunia ini seolah tidak akan ada situasi yang insidental. Respon itu tidak hanya tergolong tidak bijak, tetapi sekaligus konyol. Sikap formalitas yang berlebih itu akan bermuara terhadap lamban dan statisnya kebijakan universitas Udayana di tengah pandemi.

 

Segera Implementasikan Permendikbud No. 25 tahun 2020

Pada Jumat (19/6), dalam setkab.go.id, Kemendikbud mengatur mekanisme penyesuaian UKT melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 25 tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Peraturan ini bertujuan memberikan keringanan UKT bagi mahasiswa perguruan tinggi negeri yang menghadapi kendala finansial selama pandemi Covid-19.

Terbitnya Permendikbud No. 25 Tahun 2020 harus segera diimplementasikan bila selama ini pihak Rektorat Universitas Udayana merasa wewenangnya terbatas; apalagi lebih takut melanggar birokrasi ketimbang ketakutan pada dosa pembiaran terhadap warga kampus yang terdampak pandemi. Relaksasi Posko UKT dapat menjadi jalan tengah untuk poin tuntutan utama mahasiswa yang masih belum tuntas.

Relaksasi itu tidak hanya untuk persyaratan saja, namun skema penurunan UKT yang perlu disesuaikan dengan kondisi pandemi. Selama ini, penurunan UKT dalam Posko UKT bersifat permanen dan berlaku untuk seluruh semester selama mahasiswa pengaju masih menjadi mahasiswa aktif. Dalam pandemi, pemberlakuan penurunan UKT tersebut dapat diubah menjadi tidak permanen dan dibatasi pada semester tertentu. Tentu, sewaktu-waktu ini dapat berubah menjadi permanan bila kondisi ekonomi mahasiswa mpengaju tak kunjung membaik; untuk itu ia perlu pengajuan kembali.

Di sisi lain, Unud juga bisa membuat Posko UKT khusus tanggap pandemi yang terpisah dengan penurunan UKT permanan dalam posko UKT. Dalam posko UKT khusus ini, syarat-syarat dalam posko UKT perlu dipermudah. Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), misalnya, menjadi dokumen wajib yang menyulitkan di situasi pandemi yang dinamis. SKTM ini dapat diganti dengan perbandingan slip gaji orang tua pra dan saat pandemi untuk menunjukkan bahwa ia terdampak secara ekonomi, selain risiko tertinggi dari dampak tersebut, yakni terdampak PHK. Kekhawatiran terhadap berkurangnya pemasukan sumbangan masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan Unud perlu dihilangkan. Hal ini bisa ditangkal dengan realisasi janji pembentukan tim khusus untuk mengetahui populasi mahasiswa yang terdampak sehingga mendapatkan estimasi biaya pemasukan di masa akan datang. Realisasi ini perlu dilakukan secara cepat dan masif.

Beberapa poin tuntuan yang sudah direalisasikan Unud patut diapresiasi apalagi telah mendengar aspirasi mahasiswanya. Hanya saja, sensitivitas Unud terhadap kondisi warga kampus seolah tumpul, ketika terhimpit didesak, barulah bergerak. Kepekaan jajaran rektorat harus ditingkatkan, agar empati terhadap mahasiswa yang terdampak ekonominya akibat pandemi ini dapat tumbuh, sehingga lebih berani dalam mengambil kebijakan, bukannya bermain-main dengan birokrasi yang rumit. Apalagi bila watak birokratis Unud yang sudah lama dan melembaga ini tak diubah, maka jangan heran jika ke depannya kondisi-kondisi gaduh yang serupa dapat terulang kembali.