Gadis itu mencoba menikmati kemerlap-kemerlip lampu perumahan di bawah sana yang diselimuti angin malam. Sayangnya, angin malam malah mengingatkannya akan sikap dingin seseorang. Gadis itu lantas tersenyum kecut. Dengan gerakan cepat, ia menutup jendela dan menarik gorden kamarnya.
Ia mengambil foto perempuan dengan senyum bersahaja di bawah bantalnya dan langsung meringkuk di dalam selimut. Rasa sesak itu kembali hadir. Ia mencoba menetralisir rasa sesak itu dengan memaksa kedua netranya terpejam, namun tetap tidak bisa. Justru rentetan kejadian itu yang muncul.
Usianya baru delapan tahun saat itu. Berbeda dengan sifat mendiang sang mama yang periang, sifat pendiamnya justru lebih mendominasi—sama seperti sang papa. Dan sifat itu semakin menjadi-jadi ketika menyadari perlakuan sang papa kepada dirinya sangatlah membuatnya kepikiran. Tamara sudah mencoba menyemangati dirinya sendiri agar tidak mengeluh tiap kali ia tidak digubris oleh sang papa. Ia juga tidak menyerah untuk mencoba menarik perhatian sang papa. Seperti dengan berpura-pura demam. Namun, yang datang ke kamarnya untuk membawa obat adalah Bi Lastri, bukan papanya. Padahal, ingin sekali ia ditanyai oleh papanya mengenai keadaannya, sudah membuat tugas sekolah atau belum, bagaimana dia melewati hari tanpa kehadiran sang mama, dan masih banyak lagi. Namun opsi yang terakhir sebaiknya ia buang saja. Karena tiap kali perempuan pencinta warna fuschia itu menyebut kata mama di hadapan pria dewasa itu, kedua netra sang papa akan berubah tajam.
Mengingat semua itu, Tamara selalu bermonolog dengan Tuhan. Kiranya apa penyebab papanya selalu bersikap seperti itu padanya? Dan usahanya perlahan tersendat ketika mengetahui bahwa sang papa tidak menyangkal bahwa apa yang Tamara pikirkan adalah sebuah kesalahpahaman.
“Berhenti merengek pada saya. Kamu tidak pernah ada dalam rencana dan doa saya.“
Gadis itu mengerjap polos karena tidak paham. Walaupun tidak paham, ia tetap menurut dan memilih mencari arti dari ucapan itu kepada Bi Lastri. Bukannya menjawab, Bi Lastri justru menggumamkan kata sabar berulang kali dengan nada sendu dan memeluk tubuh mungil Tamara.
Lewat beberapa tahun hingga sekarang, ia langsung menyadari bahwa ia teramat tidak suka mendengar kata itu pernah keluar dari bibir sang papa. Dan seperti inilah hidup Tamara sekarang, kesepian.
Hufft! Tamara membuka matanya ketika bunyi knalpot di bawah menganggu aktivitasnya. Ia seakan langsung lupa akan kesedihannya semalam dan bergegas membereskan diri agar bisa menemui orang yang menggantikan tugas papanya selama ini.
“Belum sarapan, kan? Ini ada sate, dimakan, ya?” senyum Tamara otomatis terbit. Sembari menunggu sang keponakan yang sebentar lagi naik ke bangku kelas tiga SMA itu selesai makan, ia berjalan menuju dapur dan berbincang dengan Bi Lastri. Walaupun dirinya tidak tinggal seatap dengan sang kakak—Papa Tamara—namun, ia tidak menutup mata akan apa yang Tamara rasakan. Itu mengapa, ia selalu mencoba menghibur dan mengawasi keponakan tersayangnya itu walau terbatas waktu.
“Hachiii!” bersamaan dengan bunyi bersin keluarlah darah yang mengalir dari hidung Tamara. Sang paman yang melihat gerak-gerik Tamara dari dapur langsung mendekati Tamara dan rasa cemasnya kembali memuncak ketika melihat darah itu. Ia langsung membawa Tamara ke rumah sakit terdekat. Seusai mendapat beberapa pengecekan, Tamara didiagnosa terkena gejala typhus yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Penyebab utama Tamara hampir terkena penyakit itu adalah karena Tamara sering mengisap jempol tangannya ketika sedang merasa sangat kesepian.
“Paman, boleh Tamara tahu kesalahan apa yang telah Tamara lakukan sehingga Papa tidak suka dengan Tamara?” melihat pancaran memohon dari gadis itu, ia merasa mungkin ini saatnya ia mengatakan apa yang terjadi.
“Sebenarnya ini bukan hak Paman untuk menjawabnya, namun karena Papamu sangat keras kepala, jadi, Paman mewakili Papamu untuk menjelaskan pada Tamara dengan sebenar-benarnya.”
“Beberapa hari setelah kedua orang tuamu menikah, perusahaan keluarga tiba-tiba mengalami krisis. Karena Papamu ingin fokus menyelesaikan urusan perusahaan, Beliau berkata ingin menunda untuk mempunyai momongan. Tidak diduga, tiga bulan kemudian Mamamu dikabarkan hamil. Papamu terlihat tidak senang dan tidak mengakui…” sang paman mengalihkan wajahnya ke arah jendela karena tidak kuat melanjutkan pembicaraan itu.
“Kenapa, Paman? Apa Papa mengira kalau Mama berselingkuh?” air matanya mengalir semakin deras ketika melihat anggukan paling menyakitkan yang pamannya berikan.
“Mamamu memang wanita hebat Tamara, sama sepertimu. Ia memohon agar diberikan kesempatan untuk membuktikan apa yang menurutnya benar. Dan iya, Mamamu berhasil membuktikan bahwa kamu adalah anak kandung Papamu. Papamu yang mengetahui itu melalui hasil tes dari dokter, tidak menyangkal lagi. Semua kembali normal sampai kamu lahir. Tetapi, kesedihan kembali kami rasakan. Karena Mamamu dinyatakan tiada setelah melahirkanmu. Papamu tidak menerimanya, ia marah besar. Kami semua sudah mencoba untuk memberikannya pengertian, namun Papamu yakin bahwa ini terjadi karena Mamamu mengandungmu.“
Tamara menangis sesenggukan. “Jadi, benar kata Papa kalau Tamara tidak ada dalam doa Papa? Kenapa Tuhan tidak mengambil Tamara saja waktu itu kalau Tamara memang tidak diharapkan dari awal, Paman?”
“Ini bukan salah Tamara. Papa kamu belum siap akan kehadiranmu waktu itu. Lalu, kesiapannya kembali diuji karena Mamamu pergi selamanya. Papamu hanya belum tahu caranya menjaga kepercayaan yang Tuhan amanahkan supaya tidak diambil lagi. Paman sangat yakin, Papamu menyayangimu..”
“Tapi Tamara sudah lelah, Paman.”
“Tamara, kamu adalah pemegang kendali atas dirimu sendiri. Karena itu, kami semua sangat ingin melihat kamu tumbuh menjadi gadis rendah hati yang selalu tahu bagaimana mengendalikan diri untuk mencari bahagiamu sendiri. Jika dengan membuat Papamu menyadari keteledorannya adalah kebahagiaan yang kamu impikan, maka jangan menyerah. Kita berjuang lagi.”
“Tamara,” suara lirih yang berasal dari balik sekat itu membuat jantungnya terpompa lebih cepat. Ia menggenggam erat tangan pamannya seakan menyiratkan ketakutan. Apakah papanya mendengar semua percakapannya dengan sang paman?
“Kakak sudah tahu apa yang seharusnya Kakak lakukan. Terima kasih sudah membantu Tamara menyadarkan Kakak, Ja.” papanya lalu mendekati Tamara yang masih terlihat menunduk. “Ma—maafkan Papa, Nak.” ia langsung memeluk Tamara. Pamannya yang melihat adegan itu tersenyum lega dan menepuk bahu sang kakak sebelum keluar dari ruangan itu.
“Maafkan Papa.” Tamara membalas pelukan itu dan tangis keduanya sama-sama pecah. “Kamu hebat. Mamamu pasti sangat bangga denganmu dan sangat kecewa dengan Papa di sana. Tapi Papa pastikan, kekecewaan Mamamu dan Nenek, akan berganti dengan rasa bangga. Papa sayang Tamara. Terima kasih sudah bertahan, ya? Maafkan Papa karena belum bisa diandalkan.” Tamara mengangguk dengan senyum tulus. Pamannya benar, Tamara punya kendali atas dirinya sendiri. Tamara memilih bertahan dan Tuhan merestui permintaannya itu.
Penulis : Jennifer Aviantara
Penyunting : Nanik Dwiantari