Elektabilitas Mendahului Intelektualitas?

Carut marut politik kampus di universitas pewahyu rakyat bergema kembali. Persiapan panjang KPRM PM (Komisi Pemilihan Raya Mahasiswa Pemerintahan Mahasiswa) resmi meniup peluit kick off babak permulaan pada tanggal 18 Oktober 2022.  Sejarah baru perebutan pucuk pimpinan tertinggi Pemerintahan Mahasiswa Universitas Udayana berada di gerbang pertama.

 

Riuh rendah pelaksanaan Pemira sebenarnya sudah terdengar kala pemilihan ketua KPRM PM Universitas Udayana. Posisi ini dianggap krusial mengingat pada periode sebelumnya posisi ini sempat menjadi perdebatan publik mahasiswa Udayana, lantaran dianggap kontroversial dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang sempat menyala di arena Pemira. Oleh sebab itulah, pemilihan ketua KPRM kali ini sedapat mungkin diduduki oleh orang yang mumpuni.

Sedikit selayang pandang persiapan Pemira, kini linimasa Pemira Universitas Udayana telah masuk pada babak pencalonan. Setelah berbagai upaya sosialisasi dan promosi untuk menggait atensi mahasiswa, pembukaan pendaftaran pemilihan Presiden Mahasiswa Universitas Udayana pun telah dibuka. Sampai sejauh ini sayup-sayup nama yang akan mengisi jabatan bergengsi di Udayana ini masih belum keras terdengar. Bisik-bisik di angkringan yang biasanya dijadikan medan mengamati dinamika politik kampus juga belum lantang mendeklarasikan pasangan calon yang akan maju pada kontestasi Pemira 2022.

Namun, ada satu kebiasaan yang mulai dinormalisasikan di Universitas Udayana terkait siapa calon yang akan maju pada perhelatan akbar pesta demokrasi di kampusnya Sang Prabhu ini. Nama calon yang akan muncul tak jarang mudah ditebak. “Dia” yang pernah menjadi ketua panitia program kerja BEM PM terbesar yaitu Student Day dan Dies Natalis Universitas Udayana atau menteri-menteri strategis seperti Menteri Dalam Negeri yang memiliki relasi eksklusif ke setiap fakultas. Sebagai bumbu pemanis, calon akan muncul dari “Dia” yang ada unsur pengabdian mahasiswanya, seperti pemegang program kerja pengabdian bergengsi yaitu Udayana Mengajar atau agar terlihat sedikit sangar ambil saja dari Kementerian Pergerakan.

Pertimbangan-pertimbangan yang semakin membuat pesta demokrasi kampus ini membosankan lahir dari pemilihan calon yang menelanjangi latar belakang fakultasnya. Formasinya harus mempertimbangkan asal fakultas. Jikalau ingin menang, ambil saja pasangan calon yang berasal dari fakultas yang memiliki massa besar. Mereka bilang jangan sampai lahir dari fakultas yang mahasiswanya sedikit, hal itu akan mengundang rasa pesimistik meskipun gagasan yang dibawa dinilai menarik.

Rumus diatas tak membutuhkan analisis panjang apalagi ditambah metode-metode ilmiah yang katanya ciri khas mahasiswa. Jikalau sering mengamati, polanya tak akan jauh berbeda. Tahun 2019 Presiden mahasiswa lahirnya dari Fakultas Teknik pun ketua Dies Natalis, tahun 2020 lahirnya dari pucuk tertinggi Student Day serta didampingi mahasiswa teknik yang cukup disegani. Tahun 2021 lahirnya dari dalang dibalik Dies Natalis, dan pada tahun ini, agaknya saudara bisa membuat oret-oretnya sendiri dan percayalah saudara akan terkesan dengan prediksi saudara jika tertarik menebak siapa yang akan maju dan memenangkannya.

Kontestasi Pemira di Udayana seakan-akan tak ada tantangannya, jalannya tidak jauh-jauh berbeda sehingga apalah yang bisa diharapkan dari Pemira semacam itu. Mahasiswa Udayana terbiasa memilih pemimpin yang populis, mereka yang muncul di panggung. Tak bisa disalahkan, mereka yang mendapatkan ruang telah berhasil membuktikan kerjanya karena memegang satu acara tertentu memiliki nilai yang lebih tinggi di mata publik dibandingkan dengan yang tak berkesempatan memegang acara berpamor hingga sepertinya jalan teraman hanya bisa mundur perlahan, bagaimana cara pemilih tau bahwa ia mampu. Daripada membeli kucing dalam karung, lebih baik membeli kucing dalam kerangkeng saja, sudah jelas terlihat bentuknya.

Dari sinilah terlihat politik kampus universitas terbesar di Bali ini tidak ada bedanya dengan politik di Indonesia. Elektabilitas menjadi lebih penting ketimbang intelektualitas. Kita sebagai pemilih tak pernah serius mengganyang gagasan kontestan, kita hanya liat dari berapa followers-nya? Apa jabatannya? Dari fakultas apa? Atau bahkan lebih lucunya yang visualnya bagus yang mana? Hal ini pun menjadi dilematis, mahasiswa banyak bertanya juga, untuk apa memilih yang serius? Toh, hal tersebut tidak memberikan hal berarti apa-apa bagi mahasiswa dalam kuliahnya. Jangankan menerima manfaatnya, program kerjanya saja masuk telinga kanan keluar telinga kiri (catatan bagi mahasiswa tua, tapi untuk maba, menggebunya tiada tara).

Fenomena inilah yang melahirkan lingkaran setan dalam kancah perpolitikan kampus di Universitas Udayana. Sudah sering terjadi, menggebu-gebu diatas podium, menelan ludah sendiri saat berdiri di antara kenyataan-kenyataan. Mahasiswa kerap kali tak lagi melirik dan menganggap politik kampus itu penting, tak lagi menggangap kehadiran Pemerintahan Mahasiswa itu punya peran. Sehinga muncul sebuah pertanyaan, Pemira ini untuk siapa?

Terakhir, jangan sampai ada kata pesimis dalam benak seorang mahasiswa. Anak muda yang bergelar mahasiswa harusnya selalu menjadi antithesis dari keadaan. Bukan seorang mahasiswa namanya jika tidak beradu pada medan-medan pertempuran dalam menciptakan perubahan. Karena sejatinya, sejalan dengan perbaikan politik kampus di Udayana, kita secara bersamaan tengah berupaya memperbaiki politik di negeri ini. Bahwasanya kampus adalah laboratorium peradaban, sehingga sudah saatnya gagasan-gagasan yang sifatnya baru perlu dicobakan. Hidup Mahasiswa yang semoga saja masih ada.

 

Penulis: Doni
Penyunting: Turaka

You May Also Like