Setelah wacana klaim kebudayaan beredar luas di kalangan masyarakat Indonesia, pemerintah pun secara reaktif meminta setiap daerah menginventarisasi kebudayaannya. Tapi benarkah kita telah betul-betul paham dan sadar?
“Memang di masyarakat itu masih rancu pemahaman antara istilah hak paten dengan hak cipta,” ungkap Nyoman Mudana, SH. MH, menanggapi kebingungan esensi paten di masyarakat.
“Kalau dilihat dari hukum HKI, hasil curahan ide dan pikiran manusia dapat dibedakan menjadi 2, yaitu hak paten dan hak cipta, dimana yang tergolong hak cipta adalah seni dan sastra serta biasanya tanpa didahului dengan pendaftaran karyanya tersebut, sedangkan yang tergolong hak paten menyangkut teknologi yang biasa diperbanyak dan diumumkan untuk tujuan komersil,” tambahnya.
UU No.12 tentang Hak Cipta sendiri mencantumkan, Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berbeda dengan hak merek dan hak paten yang bersifat konstitutif, hak cipta bersifat deklaratif. Pencipta atau penerima hak mendapatkan perlindungan hukum seketika setelah suatu ciptaan dilahirkan. Dengan kata lain hak cipta tidak perlu didaftarkan ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI). Hal ini yang tampaknya cenderung membuat banyak seniman enggan berurusan dengan Ditjen HKI untuk mendaftarkan karya-karyanya.
Subjek hak cipta tersebut tak hanya meliputi pemilik dan penciptanya. Negara pun bisa menjadi subjek hak cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, benda budaya nasional lainnya, folklore, hasil kebudayaan yang menjadi milik bersama, dan ciptaan yang tidak diketahui penciptanya tapi belum diterbitkan. Dalam hal ini, negara, tanpa jangka waktu atau tak terbatas, memegang hak cipta atas foklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama. (Giri,Angga)