Menjaga Sawah, Merawat Harapan: Kisah Petani Desa Gadungan di Tengah Perubahan

Menjaga Sawah, Merawat Harapan: Kisah Petani Desa Gadungan di Tengah Perubahan

Terletak di Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan, Desa Gadungan merupakan salah satu wilayah yang masih menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Meski dihimpit tantangan zaman, mayoritas petani di desa ini tetap berupaya mempertahankan lahan dan mata pencaharian mereka.

Desa Gadungan dikenal memiliki potensi pertanian yang cukup beragam, mulai dari lahan sawah, kebun palawija, hingga peternakan sapi. Salah satu warga bernama I Nengah Begeh, di usianya yang tidak lagi muda masih aktif mengelola lahan pertanian. Meskipun cuaca terkadang tak menentu, sehingga berpotensi adanya gagal panen, hal itu tak melunturkan semangatnya untuk tetap bertani. Selain menanam padi dan jagung, Nengah juga beternak sapi sebagai penghasilan tambahan. Ia memutuskan untuk mempertahankan lahannya dengan mengelolanya sendiri dibanding menjualnya.

Selain Nengah, I Made Adi Kartikayasa juga menjadi salah satu masyarakat yang tetap memilih melanjutkan hidup menjadi petani. Kendati demikian, Kartikayasa tak hanya mengandalkan hasil taninya, ia juga bekerja sebagai bendahara subak dan pedagang. Kartikayasa telah terjun ke sawah sejak berada di bangku SMA. Awalnya ia juga tidak tertarik berkecimpung dalam pertanian, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, ia menemukan euforia tersendiri yang kemudian membuatnya memutuskan untuk mendalami bidang pertanian. Pekerjaan di sawah yang tak dilakukan setiap hari, mendorong Kartikayasa untuk berdagang di warung sembari mengisi waktu kosong. “Kadang-kadang ke sawah itu ada liburnya. Paling kita ke sawah itu satu bulan ngurai tanam (proses menanam-red). Dua bulan, tiga bulan itu kita libur. Bulan keempat kita panen. Dua bulan nih kita jeda. Nggak ada kegiatan untuk isi kekosongan. Kadang-kadang jenuh juga kalau begini tuh,” jelasnya ketika diwawancarai pada (28/6/2025). 

Petani lain yang tetap bertopang pada sawah sebagai tempatnya bekerja ialah I Nyoman Adi Saputra, Adi memulai karirnya sebagai petani di umur 20. Sejak menjabat sebagai staf desa, ia memutuskan untuk menjadikan pertanian sebagai pekerjaan sampingan. Menurutnya, hasil dari bertani cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya, meskipun belum termasuk biaya pendidikan sang anak. Oleh karena itu, selain bekerja sebagai perangkat desa, ia juga bertani dan beternak. Sama seperti petani pada umumnya, padi dan jagung menjadi komoditas utama yang ditanam oleh Adi. Di sisi lain bertani juga tak mudah bagi dirinya, tantangan terbesar yang dialaminya yaitu pengolahan lahan dan pengendalian hama. Kondisi ini menegaskan bahwa profesi petani menuntut ketekunan, keterampilan dan pemahaman yang tidak sederhana.

Di tengah maraknya penjualan lahan persawahan, petani di Desa Gadungan jarang ada yang menjual lahannya. Biasanya, lahan tersebut hanya disewakan. “Yen ten mresidayang anu keto mengerjakan sawah pedidi nika (jika tidak memungkinkan untuk mengerjakan sawah sendiri-red), kontrakan,” ujar Nengah ketika diwawancarai pada (28/6/2025). Ia juga menyampaikan bahwa dirinya lebih memilih memberikan lahannya kepada keluarga untuk dikelola. “Ada keluarga yang akan mengolah. Ada anak dan anak cucu yang akan mengolah. Kalau bisa, pertahankanlah dulu,” ujarnya. Mayoritas petani mengharapkan lahannya dapat diwariskan kepada anak cucu untuk keberlanjutan sektor pertanian. Dengan dukungan tersebut, regenerasi petani menjadi sangat penting sebagai jaminan akan keberlanjutan produksi pangan di masa depan. Meski begitu, para petani tidak mewajibkan anaknya untuk melanjutkan profesinya. Adi Saputra merupakan salah satunya, ia menyampaikan bahwa dirinya tidak akan memaksa anak-anaknya untuk menjadi petani jika tidak mempunyai minat dalam bidang pertanian. Disisi lain, Kartikayasa berpendapat bahwa faktor penyebab krisis regenerasi petani muda adalah rasa gengsi. “Gengsi biasanya. Orang lihat petani itu, saya sekarang mulai gini mau membalikkan pikiran orang buruk tentang petani itu sebenarnya. Sekarang kita jadi petani, tenaga udah ada, kita tinggal ngontrol-ngontrol begitu aja kan,” jelasnya. Ia ingin membuktikan bahwa bertani bukan lagi pekerjaan yang harus selalu identik dengan kerja kasar. Dengan bantuan alat dan tenaga kerja, petani sekarang bisa berperan sebagai pengatur. Dengan mengelola lahan tanpa harus turun tangan penuh seperti dulu.

Lahan Sempit, Cuaca Tak Tentu, Untung Tak Pasti

Menjadi petani di desa Gadungan, kerap kali hasil yang didapat tidak dapat menutupi kebutuhan hidup. Sedikitnya luas lahan yang dimiliki beberapa petani menjadi salah satu alasan, hal ini selaras dengan yang disampaikan oleh Kartikayasa, “Di bawah 25 (are) itu kita cukup untuk makan aja,” ujarnya. Berbicara terkait luas lahan petani di Desa gadungan, Adi menyampaikan bahwa jarang masyarakat yang memiliki lahan di atas satu hektar, “Kalau di sini, di Desa Gadungan jarang punya lahan diatas satu hektar. Bukannya tidak ada, tapi jarang. Kebanyakan paling 50 are 30 are,” ujarnya saat diwawancarai pada (14/7/2025). Data Badan Pusat Statistik (BPS) Bali pun menunjukan bahwa ada 255.826 petani di Bali yang menggarap lahan gurem (lahan di bawah 0,5 hektar). Angka tersebut menggambarkan realitas banyak petani, termasuk di Gadungan. Hidup dari tanah yang sempit, hasilnya pas-pasan, bahkan sering kali hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan harian. 

I Ketut Suamba, salah satu dosen di Fakultas Pertanian Universitas Udayana, turut menyampaikan pendapatnya menyoal bagaimana luas lahan yang digarap petani akan berdampak pada hasil yang mereka dapatkan “Karena pertanian itu tanda kutip, dengan luas lahan yang dimiliki hanya rata-rata 0,3 hektar, itu kalau diusahakan sangat tidak menjanjikan dari segi hasil. Karena kapasitas produksinya sangat rendah,” ujarnya ketika diwawancarai Tim Pers Akademika pada (28/7/2025). Ia menambahkan, jika luas lahan rata-rata hanya 0,3 hektar, petani hanya akan mendapat rata-rata sebanyak 2 ton per bulan. 

Namun, lahan yang sempit bukan satu-satunya beban. Cuaca yang tak menentu kini menjadi momok. Hujan yang turun terus-menerus di awal musim tanam membuat jagung busuk sebelum sempat tumbuh. Curah hujan tinggi membuat padi lebih mudah terserang hama, bahkan mengundang tikus ke ladang. “Tergantung cuacanya. Kalau cuacanya bagus pasti menutupi malah dapat untung, kalau cuacanya tidak bagus merugi dia,” ucap Adi, menggambarkan bagaimana keseharian petani Gadungan yang sangat bergantung pada cuaca.

Bagi mereka, sawah bukan sekadar tanah yang ditanami. Ia adalah cermin perjalanan panjang yang menyimpan cerita. Para petani yang sudah cukup lama bertani di Gadungan menyaksikan sendiri perubahan zaman dari membajak sawah dengan sapi hingga kini, ketika suara mesin traktor menggantikan derap kaki hewan. Jika menengok ke belakang, perbedaan pertanian dulu dan sekarang terasa jelas. Dulu, meski semua serba manual, biaya hidup lebih ringan dan hasil panen terasa cukup. Sekarang, meskipun pekerjaan fisik lebih ringan berkat traktor dan alat semprot, keuntungan belum tentu datang. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Suamba, bahwa teknologi memang membantu mempercepat pekerjaan dan mengefisienkan tenaga kerja, tetapi tidak otomatis meningkatkan pendapatan petani. “Kalau masih tetap komoditinya di sawah dengan padi, kalau 0,3 (hektar) itu pasti hasilnya masih rendah,” jelasnya. 

Namun, tantangan belum berhenti di sana. Setiap musim tanam, ada biaya yang harus dikeluarkan seperti pembelian bibit, pupuk, membayar upah untuk membajak sawah, hingga ongkos tenaga kerja. Selain itu, menurut Suamba banyak petani terjepit permainan harga. “Sering petani itu dengan sistem tebasan (praktik jual beli hasil panen-red), atau pun tidak dengan tebasan, kadang-kadang dipermainkan beda dengan harga yang lebih rendah. Apalagi kalau musim hujan,” jelasnya. Saat hujan turun tanpa henti, petani kesulitan mengeringkan gabah. Gabah yang lembab mudah rusak, memaksa mereka menjual murah ke penebas. Hal serupa diakui oleh Adi, ia menyebut dengan harga gabah Rp6.500,00 per kilogram, petani hanya menyisakan sekitar Rp3.000,00 untuk biaya operasional. Selisih yang tipis ini menunjukkan jika terjadi sekali saja gagal panen, modal yang sudah keluar bisa hilang begitu saja.

Menurut Suamba, pendapatan yang tidak menentu dari menjadi seorang petani serta citra pekerjaan yang kalah bergengsi, menjadi salah satu penyebab generasi muda enggan untuk turun ke sawah. “Yang pertama, pasti penyebabnya salary. Pasti pendapatan,” ujarnya.  “Nah di samping juga, karena ada pengembangan pariwisata. Itu salah satu. Jadi mereka merasa lebih bergengsi kerja di pariwisata dengan salary dengan gaji yang memang lebih bagus.” Meski begitu, ia menegaskan pertanian tetap bisa menjanjikan jika dikelola dengan cara baru. Ia mencontohkan konsep “petani muda keren” di mana generasi muda masuk ke sektor manajemen, mengurus pemasaran, menghubungkan petani dengan restoran dan hotel, hingga memanfaatkan digitalisasi. “Gen Z inilah yang mampu melakukan itu,” tegasnya. Menurutnya, peran anak muda bukan hanya di sawah, tetapi juga di manajemen dan pemasaran, agar posisi tawar petani lebih kuat dan pertanian bisa benar-benar berkelanjutan.  

Kurangnya Efektivitas Penyuluhan Pertanian

Penyuluhan pada para petani di Desa Gadungan dilakukan sesekali, tetapi bentuk penyuluhan yang langsung diberikan oleh desa dapat dikatakan jarang dilakukan, “Jarang kalau kepada (dari) desa. Langsung biasanya dari (dinas) pertanian. Kepala desa itu nggak ada kayaknya gini ke pertanian dia,” ujar Kartikayasa. Dinas pertanian melalui Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian (BPP) kerap melakukan penyuluhan pertanian kepada petani. Salah satu penyuluhan yang dirasakan langsung oleh Nengah adalah penyuluhan terkait tata cara menanam padi dengan menggunakan metode caplak atau yang dikenal dengan metode jarak tanam tertentu. “Wenten nika (ada-red),” ujar Nengah saat ditanya mengenai penyuluhan. “Nanem padi jarak segini-segini, apa dipakai caplak atau apa,” jelasnya lebih lanjut. Minimnya penyuluhan yang langsung diberikan oleh desa dibenarkan oleh I Wayan Muliartana selaku Perbekel Desa Gadungan. Dalam wawancaranya, beliau menyampaikan bahwa penyuluhan dari desa memang belum berjalan dikarenakan sedang dalam tahap pengkajian, “Kita masih dalam pengkajian. Kalau sudah ada pengkajian kan tinggal (dijalankan), kalau masalah sosialisasi kan belum tentu harus kita bertatap muka,” jelasnya saat diwawancarai Tim Pers Akademika pada (14/7/2025). Muliartana tengah melakukan percobaan pribadi bersama anaknya. Begitu dari percobaan tersebut menorehkan hasil yang bagus, maka konsep yang disusun akan disosialisasikan kepada masyarakat. “Kita sebetulnya mulai mengajak generasi muda untuk mengambil pekerjaan pertanian dengan manajemen yang baru. Kebetulan tiang kan punya anak dan sekarang ini baru selesai menyelesaikan kuliahnya. Tiang memang ajak untuk mengembangkan sistem petani modern. Artinya dalam mengambil pekerjaan ini bukan hanya serta-merta bergelut di bidang persawahan dan lain sebagainya, tetapi dengan konsep manajemen yang istilahnya saling berkaitan,” jelasnya.

Sementara itu, I Made Subagia selaku Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan mengaku telah menjalankan sistem penyuluhan melalui Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) di setiap kecamatan. Dengan jumlah 10 kecamatan dan 133 desa yang terdiri di Kabupaten Tabanan, Dinas Pertanian mengalami kendala karena kurangnya penyuluh. “Sesuai dengan Undang-Undang Penyuluhan Pertanian Nomor 16, harusnya satu penyuluh itu satu desa. Kita memiliki 133 desa tapi penyuluhnya karena pensiun tinggal 40. Bayangkan sekarang 133 desa itu hanya ada 40 penyuluh. Ke sana ke sini itu kan tidak indah, tapi karena ini amanah tugas kami nggak boleh mengeluh,” jelasnya ketika di wawancara pada (25/7/2025). Subagia juga menyampaikan sebagai akibat dari adanya kekurangan tenaga kerja, maka satu penyuluh harus menangani beberapa desa sekaligus. Oleh karena itu, Subagia menyatakan mereka belum bisa memberikan program penyuluhan yang maksimal “Dibayangkan mahasiswanya banyak, dosennya satu. Apakah bisa kita excellent dosen yang memberikan layanan pada mahasiswa? Tentu tidak. Sama dengan kami. Ketika penyuluhnya satu desa, satu penyuluh, empat desa, kan nggak bisa excellent melayani,” tuturnya. Menanggapi permasalahan tersebut, Dinas Pertanian menawarkan solusi berupa pemanfaatan teknologi seperti WhatsApp, Facebook, maupun sistem e-proposal guna penyebaran informasi yang lebih cepat. Selain itu, pelibatan Kelompok Penyuluh Swadaya dan Kontan Tani Nelayan Andalan (KTNA) sebagai penyalur edukasi dari petani yang sudah berpengalaman kepada petani lain juga menjadi anjuran. 

Kurang maksimalnya penyuluhan yang disalurkan dalam bidang pertanian memang telah seharusnya menjadi perhatian serius. Pasalnya, situasi ini akan berdampak besar bagi wawasan dan pengetahuan para petani. Ketut Suamba, Dosen Fakultas Pertanian Unud, menjelaskan bahwa seiring dengan berkembangnya zaman akan diikuti oleh perkembangan jenis penyakit yang kian bertambah. Sebagian petani akan cenderung memilih pupuk anorganik seperti pestisida daripada pupuk organik untuk mengatasi permasalahan tersebut. Hal ini dikarenakan pestisida dianggap praktis dan cepat untuk membasmi segala penyakit tanaman. Namun, faktanya penggunaan pestisida terbukti membahayakan bagi lingkungan dan kesehatan tubuh, sehingga dalam konteks ini diperlukan adanya penyuluh yang memberikan pemahaman kepada petani akan dampak dari penggunaan pestisida. Ketut Suamba menyatakan bahwa minimnya penyuluhan pertanian tentu akan berdampak pada pola pikir para petani. “Jadi dia (petani-red) lama merespon perubahan-perubahan yang berlaku. Memperlambat perubahan mindset mereka. Nah itulah perlu penyadaran,” jelasnya.

Evaluasi Dukungan Pemerintah dan Program Pendampingan 

Selain penyuluhan, beberapa petani di Desa Gadungan mengaku pernah menerima bantuan dari pemerintah, baik berupa benih, pupuk, maupun alat pertanian. Namun, bantuan tersebut tidak datang secara rutin dan cenderung bersifat musiman. Hal ini diungkapkan oleh Adi saat ditanya mengenai bantuan yang ia rasakan “Kalau bantuan bibit subaknya, pernah. Bantuan bibit padi, pupuk bersubsidi, bibit jagung, pernah juga, tapi kalau berkala, palingnya enggak, itu paling musiman.” I Made Subagia, Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan menyatakan bahwa bentuk bantuan yang diberikan ke Desa Gadungan sebenarnya cukup beragam. Mulai dari benih padi dan jagung, pupuk bersubsidi, pompa air, hingga pembangunan Jalan Usaha Tani (JUT) untuk mempercepat akses produksi ataupun akses membawa sarana pertanian. Namun, efektivitas bantuan ini sering kali terhambat oleh berbagai kendala, mulai dari masalah teknis seperti rusaknya saluran irigasi dan keterbatasan infrastruktur, persoalan birokrasi seperti keharusan menggunakan sistem e-proposal dan legalitas kelompok tani, hingga faktor anggaran. Bantuan pun tidak diberikan secara rutin, melainkan tergantung pada stok anggaran dan kapan proposal dibuka oleh kementerian pusat. “Semuanya sekarang proposal berbasis elektronik, kalau nggak ke record di e-proposal, nggak dapat,” jelas Subagia. Bantuan memang tidak diajukan langsung oleh petani individu, melainkan melalui pekaseh subak atau kelompok tani yang mengajukan permohonan ke Balai Penyuluh Pertanian (BPP), untuk kemudian dimasukkan ke dalam sistem CPCL (Calon Peserta Calon Lokasi). Namun, jika kelompok tersebut belum terdaftar secara resmi, belum dikukuhkan oleh dinas, atau belum melalui tahapan pembinaan, maka data mereka tidak bisa dimasukkan, dan permohonan bantuan akan otomatis tertolak. Bukan karena petani tidak mampu, tetapi karena administrasi kelompoknya belum memenuhi syarat. Ia menjelaskan bahwa kelompok harus memiliki pengukuhan resmi dan klasifikasi, mulai dari kelas pemula, madya, hingga utama, yang dinilai oleh penyuluh sebagai dasar kelayakan dalam program bantuan.

Kondisi penyuluhan yang masih terbatas dan bantuan yang belum merata menunjukkan perlunya meninjau kembali pola pendampingan bagi petani Gadungan, sehingga bisa menjawab kebutuhan mereka. Menanggapi hal tersebut, Suamba menilai kurangnya penyuluhan membuat petani lambat merespons inovasi. Ia menegaskan penyuluhan penting untuk menyadarkan petani dan membantu mengubah cara pandang mereka dalam mengelola pertanian. Suamba juga menyarankan bantuan lain selain subsidi, ia menggarisbawahi bahwa bantuan yang hanya mengandalkan subsidi masih belum cukup untuk menjawab tantangan struktural dalam pertanian, “Bentuklah kelembagaan ini ke sektor bisnis juga. Subak itu sebelumnya merupakan masyarakat hukum adat yang bersifat sosio-agraris religius. Sekarang Pak sarankan menjadi sosio-ekonomi agraris religius. Jadi, tidak hanya sosial dan religius saja, tapi harus ada aspek ekonominya yang dikelola,” jelasnya. Menurutnya, pendampingan petani tidak bisa berhenti pada tahap input seperti bibit dan pupuk saja. Yang lebih penting adalah membangun kelembagaan ekonomi di tingkat petani, termasuk akses pasar, penguatan pasca panen, hingga proses sertifikasi terutama untuk produk-produk organik.

Dengan demikian, Subak tidak hanya menjadi entitas yang mengelola irigasi dan upacara, tetapi juga menjadi badan usaha kolektif yang menjamin keberlanjutan ekonomi petani di tengah tekanan pasar dan perubahan iklim. Ini menjadi tantangan sekaligus peluang ke depan, agar program pendampingan tidak hanya bersifat karitatif, tetapi transformatif.

Penulis: Risty dan Reva

Penyunting: Putri Wara

Sumber foto: Kompas.com

kampung bet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

perihoki perihoki perihoki perihoki perihoki duta76 duta76 duta76 duta76 duta76 duta76 duta76 duta76 duta76 duta76 duta76