Penyelamatan Ragam Aksara Nusantara melalui Manuskrip dan Digitalisasi

Digitalisasi aksara nusantara sama dengan menyelamatkan bukti-bukti sejarah. Inilah fokus webinar yang diselenggarakan oleh DREAMSEA, PPIM UIN Jakarta, dan Universitat Hamburg. Webinar bertajuk “Manuskrip & Digitalisasi Aksara Nusantara” seri ke empat itu dihadiri oleh narasumber-narasumber seperti Prof. Dr. Oman Fathurahman, Andi Alfian Mallarangeng, Ph. D., Dr. Munawar Holil, M.Hum., dan Prof. Dr. Yudho Giri Sucahyo (10/3).

Webinar dimulai dengan partisipan masuk ke ruang zoom meeting dan disiarkan secara langsung melalui laman youtube dan facebook. Jalannya acara dipandu oleh moderator, Ilham Nurwansah, M.Pd. yang merupakan asisten data converter sekaligus pegiat aksara nusantara. DREAMSEA, program pelestarian manuskrip beserta isinya di Asia Tenggara dengan tujuan mengungkap dan memperkenalkan lebih luas kekayaan budaya yang sangat besar dan jarang dikenal masyarakat dunia. Pada webinar ini moderator menggambarkan secara singkat alasan pentingnya digitalisasi manuskip di wilayah Asia, terutama Indonesia, yakni karena dasar fakta bahwa kondisi wilayah Asia yang lembab dan rawan bencana alam serta situasi konflik yang sewaktu-waktu dapat bergejolak dikhawatirkan mengancam naskah-naskah penting bagaimana sejarah peradaban dan catatan penting di masa lampau. Manuskrip dan aksara dalam hal ini merupakan bagian sejarah yang mana jangan sekali-sekali kita melupakan sejarah. Komunitas ini bergerak mengangkat program digitalisasi dengan terjun langsung ke lapangan untuk memotret dan mengabadikannya lewat digital secara resolusi tinggi. Terhitung setidaknya 129.478 halaman dari 2.170 manuskrip dari 56 koleksi telah terselamatkan melalui proses digitalisasi ini di tahun 2017.

Prof. Dr. Oman Fathurahman sebagai principal investigator DREAMSEA/pengampu komunitas NGARIKSA sekaligus narasumber pertama mengatakan bahwa naskah nusantara digital sebagai sumber data ragam aksara. Oman pun memaparkan secara rinci program pelestarian manuskrip yang disponsori oleh PMI UIN Jakarta. Hal ini tidak terbatas pada satu kategori manuskrip saja tetapi mereka juga berencana untuk merawat keragaman budaya melalui pemeliharaan aksaranya. Keberagaman budaya yang dimiliki oleh Indonesia setidaknya lebih dari 10 aksara daerah akan diupayakan untuk proses digitalisasi melalui website yang sudah dirancang. Dalam proses digitalisasi ini, beliau ingin mendorong bagaimana pemanfaatan manuskrip digital ini dapat mengkonversi aksara-aksaranya ke unicode sehingga dapat terealisasikan. Salah satunya pada keyboard aksara daerah di Indonesia dan tentunya dapat terbaca oleh sistem ketika digunakan. Andi Alfian Mallarangeng sekalu pembina yayasan Aksara Lontaraq Nusantara, narasumber kedua membahas mengenai sejarah digitalisasi aksara nusantara: perintisan aksara bugis format digital. Andi merupakan salah satu perintis digitalisasi aksara nusantara dan pernah ikut berjuang untuk melestarikan aksara tradisional Suku Bugis di Asia, beriringan dengan perjuangan yang sama di Burma dan Thailand. Namun perjuangan itu sedikit tersendat mengingat kemelut politik yang terjadi tahun 1997-1998.

Narasumber ketiga, Dr. Munawar Holil, M. Hum., sebagai ketua umum MANASSA. membahas peluang pemanfaatan aksara nusantara digital dalam kajian naskah nusantara. Sementara Prof. Dr. Yudho Giri Sucahyo sebagai Ketua Dewan Pengurus PANDI membahas mengenai merajut Indonesia melalui digitalisasi aksara nusantara. Bincang-bincang yang menghangatkan pikiran bagaimana ditengah derasnya arus globalisasi membuat kita harus bergerak cepat untuk menjaga kelestariannya. Dukungan dari pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan sebab meneliti dan menerjemahkan naskah memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit, belum lagi tiga tantangan yang harus dihadapi oleh peneliti yaitu aksara, bahasa dan makna. Meskipun aksara dapat dibaca namun cukup sulit untuk memahami makna-makna yang disampaikan melalui bahasa sehingga membutuhkan penutur aslinya yang benar-benar mengerti supaya tidak terjadi kesalahan atau kekeliruan dalam penerjemahan. Di luar itu masih kurangnya teknologi dan sumber daya manusia yang matang dalam proses ini dan ditambah dengan adanya kendala izin dalam proses digitalisasi dan publikasi, pemilik naskah ada yang ingin naskahnya hanya menjadi karya pribadi (ini biasanya terkait dengan warisan keluarga yang turun-temurun sehingga bagi mereka tidak perlu menjadi konsumsi khalayak umum).

Terlepas dari kendala-kendala tersebut, upaya digitalisasi sebagai bentuk pelestarian budaya ini wajib diapresiasi. Hal ini karena menyangkut aksara, bahasa dan budaya nusantara yang menjadi kebanggaan diri sendiri bukan semakin dilupakan. “Digitalisasi aksara nusantara ini adalah dapat dijadikan sarana edukasi untuk generasi muda dalam membangkitkan kesadaran mereka bahwa belajar sesuatu yang sebagian dari mereka menganggap hal itu kuno dapat melalui platform yang kekinian dan menarik minat mereka untuk ikut melestarikan,” ujar Dr. Munawar dalam sesi tanya jawab. Ia juga menambahkan, “ada peluang untuk mereproduksi kembali naskah-naskah yang rusak melalui aksara digital lewat program digitalisasi naskah tradisional dan manuskrip ini. Selain itu bisnis juga dapat dikembangkan melalui digitalisasi ini dengan menciptakan tren-tren produk kekinian yang melekatkan aksara-aksara nusantara.” Hal ini secara perlahan tentunya akan semakin menarik minat mereka bagi yang gemar berselancar di dunia maya. Dengan komunitas-komunitas pegiat aksara dan pelestarian naskah yang terus berdiri dan bermunculan di nusantara, diharapkan selalu ikut mengupayakan pelestarian warisan nenek moyang. Tidak terkecuali juga mulai mengikuti jejak negara tetangga seperti Thailand, India, dan Jepang. Bahkan di dalam negeri sendiri terdapat Provinsi Bali yang mulai bergerak aktif menggelar kegiatan dan tindakan nyata pelestarian kebudayaan nasional dan daerahnya masing-masing.

 

Penulis: Manick Nessa

Penyunting: Yhosin Leksan Pratama

 

 

 

You May Also Like