Berawal dari insiden yang melalap habis harta benda mereka, rintihan sang penjaja mulai terasa sejak berkobarnya api di Pasar Badung, 29 Februari 2016 silam. Berbagai cerita sendu timbul dan mewarnai hari-hari mereka.
Perdebatan dan protes seolah tak mengobati jika mengingat kenangan dan kerugian yang semakin mengerutkan semangat. Dilema mulai menghantui pikiran mereka dan merekah menjadi beban berkepanjangan. Tapi, kemana sang penjaja harus mengadu? Ketika para penguasa tuli akan suara hati mereka di tengah semakin banyaknya permasalahan pelik yang muncul ke permukaan. Menguras tenaga dan memenuhi ruang pikiran, tatapan kosong terlihat dan angan-angan akan keadilan riil pun menyeruak. Ketika rekonstruksi yang berjalan alot serta dana yang diperlukan tersendat, tindakan sigap dan relevan dari penguasa pun dibutuhkan untuk meredam gejolak yang semakin mengakar.
Sudut pandang yang mencuat dari berbagai kalangan mengungkapkan tanggapan mereka mengenai perubahan yang terjadi di Pasar Badung. Beragam kalimat dilontarkan, mulai dari tanggapan yang berserah diri, pernyataan netral hingga mengaharapkan peran serta tindakan dari pemerintah untuk menemukan jalan tengah yang tepat. Saat pemerintah belum selesai membenahi satu permasalahan, permasalahan lain menyembul kembali di tengah masyarakat. Diferensiasi mulai diberlakukan bagi mereka yang menggantungkan hidupnya di bahu jalan dengan mereka yang beratap kokoh.
Pedagang kaki lima, begitulah panggilan mereka. Kehadirannya menuai pro dan kontra. Pernyataan negatif dominan dilontarkan khusus untuk mereka, terlebih yang mengarah pada aktivitas yang dilakukannya. Sebagian besar pihak gusar akan kehadirannya yang acap kali mengundang keresahan terutama bagi pengguna jalan. Tapi, tak sedikit pihak yang mendukung keberadaannya. Langkah tergesa-gesa dan cucuran keringat menemani saat riuh memecah ketenangan, dikala angkutan hijau meraung dan memberi pertanda buruk bagi mereka.
Alasan utama yang mencuat dari para pedagang kaki lima untuk tetap bertahan adalah kekurangan dari segi finansial yang memaksa mereka untuk tidak menyewa ruko serta kebutuhan keluarga yang terus meningkat setiap tahunnya. Dibalik opini masyarakat yang selalu menuding pedagang kaki lima sebagai penjaja liar, terungkap bahwa sesungguhnya, mereka membayar iuran Rp.2000/hari kepada pecalang serta Rp.30.000/bulan kepada banjar setempat. Bahkan jika dijumlahkan dalam satu bulan, mereka menghabiskan rata-rata sebesar Rp.90.000.
Kelebihan dan kekurangan antara pedagang kaki lima dengan pedagang yang memiliki kios atau ruko ini bergantung dari konteks dan sudut pandangnya masing-masing. Salah seorang pembeli di Pasar Badung, Made Sutedja mengatakan hal terpenting yang ditonjolkan adalah kualitas dari produk yang ditawarkan kepada konsumen. “Kualitas produk pedagang yang memiliki kios atau ruko dengan pedagang kaki lima harus bisa bersaing secara sehat,” katanya.
Masyarakat pun menyuarakan berbagai solusi untuk mengantisipasi permasalahan ini. Mulai dari permintaan untuk pembenahan tempat parkir yang nyaman dan luas serta pengelolaan tata letak penjaja yang sesuai dan teratur. Diharapkan, rekonstruksi Pasar Badung segera rampung dan aktivitas pasar dapat berjalan dengan normal.
(Teja, Amartha, Nino, Erza, Kenaka, Santi, Western)