“Senin, (2/12/2019) Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana mengadakan kuliah umum yang menghadirkan A. Luga Harlianto, SH., M.Hum. selaku Kasi B dari Kejaksaan Tinggi Bali, di Aula Widya Sabha Mandala Prof. Dr. Ida Bagus Mantra. Kuliah umum ini diadakan dengan tujuan, mahasiswa-mahasiswi Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana paham dan mampu menjadi pelopor anti radikalisme di kehidupan kampus”.
Kuliah umum yang diberikan oleh Kejaksaan Tinggi Bali, A. Luga Harlianto, SH., M.Hum. (35) ini bertema “Mencegah Paham Radikalisme di Kalangan Mahasiswa”. Radikalisme merupakan suatu paham yang menginginkan terjadinya perubahan dan pembaruan sosial dan politik dengan cara kekerasan drastis. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terdapat tujuh perguruan tinggi Indonesia yang sudah terpapar radikalisme diantaranya: Universitas Indonesia, Universitas Diponeogoro, Universitas Airlangga, Universitas Brawijaya, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
“Saya melihat tidak hanya tujuh kampus itu saja yang terpapar radikalisme, masih banyak potensi besar di kampus- kampus yang lainnya” ujar Luga. Hal ini menjadi salah satu alasan Ibu Aliffiati, S.S., M.Si., dosen Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana melakukan kerjasama dengan Kejaksaan Tinggi Bali untuk memberikan materi agar mahasiswa mampu mencegah masuknya radikalisme di lingkungan kampus.
Luga Harlianto memaparkan, kriteria seseorang yang dapat dikategorikan menganut paham radikal diantaranya, adanya jiwa fanatik dan adanya pemahaman terhadap ideologi kelompok yang tinggi. Orang yang melakukan tindak radikal melakukan aksi kekerasan karena mereka menganggap ideologinya bertentangan. Ciri dari tindak radikal ialah mengklaim adanya kebenaran yang tunggal. Kebenaran tunggal disini dimaksudkan sebagai sesuatu yang sesuai dengan pemahaman yang selaras dengan pemahaman mereka.
Ia mengungkapkan, orang-orang yang telah terpapar radikalisme cenderung tertutup, semua tindak yang dilakukan bisa dikatakan anti sosial. Faktor faktor penyebab seseorang menjadi radikal yaitu faktor ekonomi, politik, sosial, psikologis, pendidikan dan adanya pemikiran yang keliru terhadap agama. Luga menambahkan pemicu utama orang menjadi radikal yaitu dari kasus percintaan. “Dari cinta orang bisa menjadi radikal,” tegasnya.
Penekanan utama dari faktor pemicu tindak radikal adalah faktor pemikiran yang keliru terhadap agama. Agama merupakan sebuah keimanan, kepercayaan dan keibadatan yang di anut oleh masing masing orang. Ditegaskan pula, tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan, hanya pemahaman yang keliru yang membuat adanya pemahaman baru yang ingin disebarkan kepada orang lain.
Dijabarkan pula oleh Luga, telah ada dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia yaitu Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan”. Contoh organisasi yang telah dilarang di Indonesia karena menganut paham radikal adalah ISIS (Islamic State of Iraq dan Syria) yang dilarang mulai tahun 2014 dan HTI (Hizbut Tahir Indonesia) yang mulai dilarang pada Juli 2017. Media menjadi tempat penyebaran paham radikal yaitu secara personal, diskusi media, publikasi, internet dan melakukan doktrin. Publikasi yang dimaksud contohnya seperti hoax.
Hoax merupakan kepalsuan yang dibuat untuk menyamakan kebenaran. Hoax biasanya dimanfaatkan oleh orang-orang berpaham radikal untuk membuat suatu tulisan atau ucapan yang mereka lakukan provokasi tindakan radikal. “Anak- anak SMA yang tidak tahu ujung tombak permasalahan yang terjadi mengapa aksi demo mahasiswa dilakukan, tetapi karena adanya penyebaran hoax, anak SMA ikut –ikutan melakukan aksi demo,” ujarnya.
Pada kuliah umum ini, dijelaskan cara menangkal masuknya paham radikal yaitu, secara preventif dan kuratif. Secara preventif, seseorang belum terpapar radikalisme, cara yang bisa dilakukan yaitu meningkatkan jiwa nasionalisme, berpikir terbuka, toleran, waspada terhadap provokasi, membuat jaringan yang positif untuk melakukan perdamaian. Secara kuratif, seseorang yang telah terpapar paham radikalisme, cara yang bisa dilakukan ialah memberikan pemahaman terhadap dampak radikal, memberikan pemahaman agama yang kuat dan menguatkan nilai- nilai pancasila dalam diri individu.
Di akhir sesi mata kuliah ini, Luga menyampaikan harapannya terhadap Mahasiswa Antropologi sebagai pelopor dalam gerakan mahasiswa anti radikal “Sepakat Menolak Radikalisme”. Selain itu, Kejaksaan Tinggi Bali juga mengajak seluruh Mahasiswa Antropologi untuk menandatangani spanduk sebagai contoh gerakan berani menolak masuknya paham radikal di kalangan mahasiswa Universitas Udayana. Di Akhir kegiatan, Luga mengajak seluruh peserta kuliah umum untuk menyanyikan lagu Tanah Airku yang dilanjutkan dengan jargon NKRI! Harga Mati, NKRI! Harga Mati, Radikalisme, NO WAY!, Radikalisme, NGAK LAH YAW! DAMN! I Love Indonesia!” yang berarti Sialan, Aku Cinta Indonesia! “Kata sialan tidak selalu bermakna negatif. Karena, setiap orang akan memiliki perspektifnya tersendiri”, ujar Luga. (Dry/Els/Erj)