Urgensi Mitigasi Gempa Pemicu Collateral Hazard di Bali

Secara historis, gempa yang berpusat di Barat Laut Kabupaten Karangasem pada 16 Oktober 2021 lalu, tidak hanya terjadi sekali. Terdapat gempa-gempa besar masa lalu di Bali, seperti tahun 1815, 1917, dan 1976. Jenis gempa yang memicu dampak ikutan berupa longsor dan runtuhan bebatuan itu selalu menelan korban. Mitigasi perlu dilakukan agar tidak terus terulang.

Pasca gempa yang mengguncang pulau Bali berkekuatan Magnitudo 4,8 lalu, memberi aktivitas manajemen risiko kebencanaan menjadi padat di Desa Ban, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Di sudut kiri meja kantor Kepala Desa Ban, Karangasem, sebuah walkie-talkie terus berbunyi, saling berkoordinasi situasi terkini. Tenda biru dengan berbagai bala bantuan yang ditampung, nampak tertata rapi. Beberapa petugas aparat desa saling berlalu-lalang. Di sisi lain, lalu lintas menuju Desa Ban cukup padat. Mobil berat saling menimba tanah longsoran. Begitulah suasana Desa Ban yang masih banyak kerusakan. Selain terdapat beberapa titik longsor, sejumlah rumah dikabarkan rata menjadi tanah. Kawasan ini juga kesulitan air bersih, minim jaringan komunikasi, serta lokasi evakuasi belum terpusat.

Desa Ban menjadi salah satu desa yang terdampak dari gempa yang terjadi di Barat Laut Kabupaten Karangasem dengan kedalaman 10 km. Gempa juga berdampak parah hingga ke Kabupaten Bangli. Bahkan, tiga desa di Bangli terisolasi akibat gempa, yaitu Trunyan, Abangsongan, dan Batudinding. Di Karangasem, kerusakan tersebar di empat kecamatan: Kecamatan Kubu: Desa Ban, Desa Dukuh; Kecamatan Rendang: Desa Rendang, Desa Pempatan; Kecamatan Bebandem: Desa Jungutan; Kecamatan Selat: Desa Amerta Buana. Kepada Pers Akademika, I Gede Tamu Sugiantara, Kepala Desa (Perbekel) Ban, membagikan gambaran situasi respons kebencanaan yang dilakukan bersama jajarannya. “Terus terang awalnya kami masih bingung,” ujarnya membuka pembicaraan.

Meski ia mengaku bingung, Tamu terlihat sigap dalam tindakannya. Ketika pasca gempa, ia langsung terbangun dari tidur dan berkoordinasi dengan seluruh kepala dusun yang berada di wilayah masing-masing. “Saya kemudian melaporkan ke Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Karangasem beserta bapak Sekretaris Daerah Karangasem,” lanjut Tamu. Segera bersama dengan warga, pihak Desa Ban melakukan penyusuran dan evakuasi jika ada korban luka maupun meninggal. “Dengar laporan dari Kadus saat jam 6 pagi sudah masuk semua, ada yang meninggal saya datang jam 6.30 WITA di lokasi untuk didata, dan melakukan komunikasi terkait apa yang harus disampaikan kepada keluarga korban,” ujarnya. Berdasarkan data dari kantor Desa Ban, hingga 21 Oktober 2021, terdapat 377 KK dengan kondisi rumah yang mengalami kerusakan berat. Berdasarkan hasil analisis yang disampaikan BPBD Provinsi Bali, Minggu, 17 Oktober 2021, di Karangasem terdapat satu orang meninggal dunia, 75 luka, 645 bangunan mengalamai kerusakan, dan 3 titik akses jalan tertutup material longsor.

Agar Gempa Pemicu Dampak Ikutan di Bali Tidak Terulang

Gempa ini pun memiliki dampak yang cukup signifikan. Berdasarkan pressrelease yang dilakukan oleh Badan Penanggulangan Bencana (BPBD Indonesia) pada 22 Oktober 2021, gempa ini merupakan gempa tektonik atau gempa dagkal akibat aktivitas sesar aktif di wilayah Rendang, Karangasem. Adapun dalam pemaparan Dr. Daryono, S.Si., M.Si Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), pusat gempa di Karangasem terletak di zona gempa swarm (rentetan aktivitas gempa dalam jumlah banyak dengan magnitudo yang relatif kecil dan bergerombol -red) Kompleks Gunung Agung dan Gunung Batur pada 2017 silam. “Kami menduga ini gempa residual stress, artinya stress yang tersimpan kemudian lepas lagi karena medan maksimal yang terbangun di tahun 2017 dan itu belum lepas semua, ini terlepas lagi,” papar Daryono. Gempa saat 2017 yang dimaksud Daryono itu merujuk pada gempa swarm yang terjadi pada September-Oktober 2017 bermagnitudo 4,2. Kemudian, 8 November 2017 dengan magnitudo 4,9 yang menimbulkan kerusakan ringan.

Sejarah Gempa Bali – Dr. Daryono, S.Si., M.Si memaparkan pentingnya mitigasi gempa pemicu dampak ikutan melihat kilas balik sejarah gempa Bali.

Secara total, gempa ini menimbulkan korban jiwa, yakni 3 orang meninggal di Kabupaten Bangli, dan satu orang dari Kabupaten Karangasem, tepatnya di Dusun Jatinuhu, Desa Ban, Kecamatan Abang. Gempa yang tergolong kecil ini memberi dampak besar diakibatkan oleh kedalaman gempa yang sangat dangkal. Lebih lanjut, menurut Daryono, bangunan disekitar gempa juga tidak standar, efek tanah lunak karena endapan lahar yang mengamplifikasi guncangan gempa, dan efek topografi perbukitan. “Gempa ini memicu collateral hazard, seperti longsoran dan runtuhan batu di beberapa tempat. Kondisi lereng di daerah perbukitan pasca dilanda gempa patut diwaspadai karena dapat terjadi ketidakstabilan lereng, labil yang mudah longsor saat hujan, dan gempa susulan,” tambahnya memperingatkan.

Ada yang genting untuk disoroti dalam pemaparan Daryono itu. Hal ini lantaran collateral hazard gempa Bali yang terus berulang. Dalam catatan BMKG, terjadi gempa besar di Bali pada 22 November 1815. Rekahan tanah bahkan memotong Danau Tamblingan dan menyebabkan banjir besar hingga menelan korban. Selanjutnya pada 21 Januari 1917, sekitar 80% dari jumlah korban gempa disebabkan oleh longsoran (1.500 orang meninggal). Adapun Gempa Seririt terjadi pada 14 Juli 1976 menyebabkan terjadinya likuefaksi, rekahan tanah, dan longsoran yang terjadi di Tabanan dan Buleleng. Gempa ini menyebabkan korban meninggal dan lebih dari 30.000 rumah rusak. “Sebagai upaya mitigasi, masyarakat yang tinggal di pegunungan tengah Bali tidak saja perlu membangun bangunan tahan gempa. Tetapi juga harus memperhatikan geologi tata lingkungan berbasis ririko gempa dalam membangun,” tutur Daryono. Pertimbangan geologi itu merujuk agar tidak membangun rumah di lereng bukit terjal yang rawan terjadi longsoran dan runtuhan batu saat gempa.

Kawat Anyam, Solusi Alternatif Memperkuat Bangunan Rumah

BMKG menghimbau agar rumah-rumah yang mengalami kerusakan di tanah yang miring tidak ditempati terlebih dahulu sampai dilakukan penguatan. Perkuatan rumah ini kemudian dapat menemui satu solusi yang dipaparkan oleh Prof. Dr. Eng. Fauzan, ST., MSc.Eng, guru besar Teknik Sipil Universitas Andalas. “Perbaikan dengan metode kawat anyam adalah metode yang simpel. Tidak perlu tukang profesional untuk memerlukannya. Cepat dikerjakan dan murah,” ungkap Fauzan setelah pemaparan Daryono. Metode kawat anyam ini terbukti efektif dari hasil uji saking table test atau meja getar yang mensimulasikan beban gempa maupun dari perhitungan analisis numerik yang dilakukan Fauzan.

Solusi Kawat Anyam – uji meja getar yang dilakukan Prof. Dr. Eng. Fauzan, ST., MSc.Eng terhadap bangunan rumah yang menggunakan kawat anyam

Lebih lanjut, Fauzan menyarankan agar masyarakat yang terdampak gempa di Bali untuk segera memperbaiki rumah secara mandiri dengan metodi ini, sebab biayanya yang tidak terlalu mahal. Baginya, satu rumah yang diperbaiki keretakkannya menghabiskan kisaran biaya Rp. 5.000.000 – Rp. 10.000.000. Sementara bagi rumah dengan tipe 45-60 menghabiskan biaya dengan kisaran Rp. 10.000.000 – Rp. 15.000.000. “Kalau tidak ada biaya, minimal satu kamar yang diproteksi dengan ferrocement layer,” tambahnya menyarankan.

Cuaca Ekstrem, Ancaman Pasca Gempa bagi Warga Penyintas

Lebih lanjut, setelah melakukan pembenahan manajemen kebencanaan, Tamu kemudian memaparkan bahwa bantuan yang masuk ke posko Pemerintah Desa sudah didistribusikan 1×24 jam, sehingga ia memastikan tidak akan ada penumpukan bantuan di posko. Adapun untuk memenuhi kebutuhan air bersih, terdapat 13 tangki air yang masih terpusat di kantor desa. Kebutuhan warga akan air bersih pun belum baik dikarenakan jarak yang cukup jauh dari warga terdampak. Adapun evakuasi warga masih belum terpusat, hal ini disebabkan lantaran adanya ternak warga yang tidak dapat ditinggalkan. Sehingga tenda pengungsian dibuat dekat dengan rumah yang mengalami kerusakan. Hunian sementara berupa bangunan bambu pun dibangun. Di sisi lain, pembangunan kembali rumah warga yang terdampak kerusakan parah masih dilakukan survei kelayakan oleh ahli geologi. “Sekarang baru dijajaki. Kami mengusulkan ini rumah rusak bisa disambungkan atau tidak? Jangan. Itulah kendala juga, karena temboknya masih ada satu dua, takut roboh,” ungkap Tamu.

Kekhawatiran Tamu itu bukan tanpa sebab. Peringatan dini ridiko bencana hidrometerologi dari dampak La Nina tahun ini sudah diperingati oleh BKMG. Termuat dalam pressrelease BMKG pada 18 Oktober 2021, La Nina tahun ini diprediksikan relatif sama dan akan berdampak pada peningkatan curah hujan bulanan berkisar antara 20 – 70% di atas normalnya. Adapun BKMG memperingati agar bersiap segera untuk melakukan langkah pencegahan dan mitigasi terhadap peningkatan potensi bencana Hidrometeorologi. Dampak ini termasuk pada wilayah pulau Bali dengan puncak musim hujan yang diprediksi dominan terjadi pada bulan Januari dan Februari 2022.

Oleh karenanya, bagi Tamu, solusi yang tepat untuk rumah warganya yang mengalami kerusakan adalah bedah rumah dan membangun pondasi yang lebih layak. “Kalau memang bisa sebaiknya (bedah rumah). Dua bulan ini bahaya bagi kami, warga kami terutama. Hujan apalagi yang terus menerus itu. Labil sekali tanahnya,” tuturnya. Sementara itu, terkait bantuan bedah rumah belum ada kejelasan dari pemerintah pusat. Jika warga kooperatif untuk mengungsi terpusat, pihak pemerintah desa mengaku siap. Adapun Tamu juga memparkan selain kebutuhan logisik, warga membutuhkan alat-alat dapur seperti panci, wajan, piring, gelas, dan sejenisnya. Lebih lanjut, warga Desa Ban juga memerlukan penampung air (tandon air) minimal 250liter untuk memenuhi kebutuhan satu keluarga. “Apapun bentuk apapun kami terima tapi koordinasi dulu ada di sini,” ujarnya.

Bantuan Terus Mengalir dan Disistribusikan

Bantuan pangan – hasil penggalangan dana bagi korban bencana salah satunya disalurkan menjadi bantuan pangan.

Salah satu upaya respons darurat kebencanaan datang dari Yayasan IDEP, Non-Governmental Organization (NGO) yang bergerak di bidang permakultur dan kebencanaan. Yayasan IDEP membuka penggalangan dana yang dilakukan pada laman penggalangan kita bisa: https://kitabisa.com/campaign/bantubalibangkit. Penggalangan dana ini pun dibuka sejak tanggal 18 oktober dengan target penggalangan hingga Rp 100.000.000. Adapun penyaluran bantuan telah dilakukan tahap kedua oleh yayasan IDEP pada Kamis, 21 Oktober 2021. Bantuan yang didistribusikan berupa: telor, bumbu dapur (bawang merah, bawang putih, cabe, dan tomat); sayur-sayuran (kacang panjang, buncis, terong bulat, terong besar, kangkung, sayur hijau); tiga karung timun (yang langsung didonasikan oleh ibu-ibu pedagang sayuran di Pasar Klungkung; media edukasi kebencanaan (Komik dan buku mewarnai) untuk anak-anak. Adapun serah terima bantuan ini berlokasi di kantor East Bali Poverty Project (EBPP). Bantuan mengalir dari segala penjuru. Namun, Tamu mengingatkan agar menyalurkan bantuan terpusat di kantor Desa Ban, kemudian disalurkan kepada warga. “Saya tidak mau satu dusun satu orang mendapatkan bantuan sebanyak 4 kali sementara yang lain belum mendapatkan. Itu saya harapkan.” Tutur Tamu.

Reporter: Galuh

Penulis: Galuh

Penyunting: Fajar

 

You May Also Like