Desa Trunyan, Kintamani, Bangli, Bali

Desa Trunyan berasal dari kata Taru dan Menyan. Taru yang berarti pohon, dan Menyan yang yang berarti harum. Trunyan berarti pohon wangi. Desa Trunyan terletak di Kecamatan Kintamani, dan terdiri dari 3 desa, yakni Desa Trunyan, Desa Kedisan, Desa Abang Dukuh.

Keberadaan ketiga desa tersebut terkait dengan pengembaraan 4 orang, 3orang putra raja dan satu orang putri Raja Surakarta ke Bali untuk mencari bau harum yang menyengat. Mereka melintasi Tanah Jawa, kemudian Selat Sunda untuk mencari asal muasal wangi semerbak itu. Singkat cerita, setibanya mereka di Trunyan, sang kakak sulung jatuh cinta kepada sang dewi penunggu pohon tersebut.

Setelah direstui semua saudaranya, mereka ahirnya menikah. Trunyan kemudian menjadi sebuah kerajaan kecil dan pohon besarnya masih mengeluarkan wangi. Sampai akhirnya, sang raja memerintahkan warga untuk menghapus wangi itu agar terlindung dari serangan. Agar tidak ada lagi yang terhipnotis oleh wanginya.

Desa Trunyan terletak sekitar 65 kilometer dari Denpasar atau kira-kira 2,5 jam perjalanan dengan kendaraan mobil atau motor. Untuk menuju lokasi, kita harus melewati Desa Penelokan dan turun menuju Danau Batur. Sampai di Desa Kedisan, sudah tersedia perahu, para guide atau pemandu wisata bisa membawa anda menyebrangi Danau Batur untuk menuju Desa Trunyan yang membutuhkan waktu sekitar 45 menit menuju lokasi. Desa Trunyan terletak dipinggir Danau Batur dan dikelilingi oleh perbukitan.

Menurut Pemimpin Desa Adat, daerah ini dulunya disebut Trunyan Karangansem, bukan Trunyan Bangli karena pada saat Pemerintahan Belanda, Trunyan masih berada dalam wilayah Karangasem. Namun setelah penjajahan Belanda, Desa Trunyan terhitung masuk di daerah Bangli.

Warga Desa Trunyan, menganut  kepercayaan Agama Wahyu Tuhan, namun karena mirip dengan Agama Hindu, lama-lama masyarakat Desa memeluk Desa Hindu. Dalam pelaksanaan hari raya di Desa Trunyan, acara seperti Galungan dan Kuningan tidak semeriah di Denpasar, sementara ketika Purnama dan Tilem dirayakan secara meriah.

Di Desa Trunyan ketika Hari Raya Nyepi tidak diadakan ogoh-ogoh, melainkan perayaan dikuburan saja sebagai simbolis. Disana juga tidak memiliki sistem kasta seperti di daerah Bali pada umumnya, semua dianggap sama rata. Menurut Pemimpin Desa Adat, sistem kasta di Bali muncul pada saat zaman Belanda. Makanan khas yang dimiliki Desa Trunyan yakni ubi atau ketela pohon. (Pradnya)

You May Also Like