Gejolak Puluhan Tahun Perjuangan “Reforma Agraria” di Kecamatan Gerokgak, Buleleng

Saat ini gejolak konflik agraria masih muncul di kehidupan masyarakat. Beberapa desa di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng masih setia menanti hak lahan yang kerap mendatangkan kabar tidak menentu. Berbagai upaya dan lika-liku menemani perjuangan warga setempat demi mengantongi kepastian lahan.

 

Buleleng merupakan salah satu dari enam belas Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang ditargetkan tuntas penyelesaian konflik dan pelaksanaan redistribusi tanahnya pada tahun 2021 oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Lokasi yang terkonsolidasi dalam LPRA ini dinilai telah terorganisir dengan baik, para petani telah menggarap lahannya secara penuh, dan didukung pula oleh Pemerintah Daerah. Penentuan lokasi prioritas subjek-objek reforma agraria ini diusulkan oleh masyarakat, serikat tani, maupun Organisasi Masyarakat Sipil (CSO) kepada pemerintah (bottom-up approach).

Dilansir dari PPID ATR/BPN, konsep Reforma Agraria seperti yang telah ditekankan oleh Presiden Joko Widodo merupakan penataan aset, yakni penataan kembali atas penguasaan, kepemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut, hal ini juga mencakup penataan akses dan penataan penggunaan tanah, yakni pemberian pendampingan kepada masyarakat agar dapat memanfaatkan tanahnya secara optimal melalui penatagunaan tanah. Adapun objek dari sertifikasi atau redistribusi tanah dalam percepatan Reforma Agraria berupa bekas Hak Guna Usaha (HGU) dan HGU habis, Tanah Telantar yang masuk dalam Tanah Cadangan Umum Negara (TCUN), hasil penyelesaian sengketa dan konflik, pelepasan kawasan hutan, dan tanah negara lainnya.

Penyelesaian sengketa lahan melalui payung hukum reforma agraria dalam bentuk reformasi pertanahan (land reform) di Kabupaten Buleleng diinisiasi dari usulan masyarakat adat, nelayan dan serikat tani bersama Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Adapun usulan titik lokasi reforma agraria di Buleleng sendiri sebagian besar berada di Kecamatan Gerokgak, wilayah paling Barat dan terluas di Kabupaten Buleleng. Tiga desa di Buleleng yang masuk usulan KPA pada tahun 2018 adalah Desa Sumberklampok, Desa Pejarakan dan Desa Pemuteran.

 

Perjuangan Panjang Penyelesaian Konflik Agraria di Desa Sumberklampok

Melalui serangkaian wawancara dengan Perbekel atau Kepala Desa di Desa Sumberkima, Sumberklampok dan Pemuteran pada Senin (20/6), Tim Konvergensi Media Jelajah Jurnalistik Pers Akademika menemukan bahwa Desa Sumberklampok dan Desa Pemuteran secara historis mulanya merupakan bagian dari Desa Sumberkima. “Dulu Sumberkima merupakan desa induk yang meliputi Pemuteran, Pejarakan, dan Sumberklampok yang berstatus banjar atau dusun. Semakin lama, banyak pertumbuhan penduduk sehingga Sumberkima dipecah menjadi empat desa,” jelas I Nengah Wirta selaku Kepala Desa Sumberkima.

Sejarah – I Nengah Wirta selaku Kepala Desa Sumberkima menceritakan menemukan bahwa Desa Sumberklampok dan Desa Pemuteran secara historis mulanya merupakan bagian dari Desa Sumberkima

Wirta juga menjelaskan bahwa sebelum dilakukan redistribusi dan penerbitan sertifikat hak milik, satu-satunya desa yang warganya tidak memiliki legalitas hak milik atas tanah pemukiman dan lahan yang digarapnya adalah Desa Sumberklampok. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat Sumberklampok tetap gigih untuk memperjuangkan hak atas lahan yang telah mereka garap dan tempati sejak puluhan tahun tersebut.

Senada dengan pernyataan Wirta, I Wayan Sawitra Yasa selaku Kepala Desa Sumberklampok menyebut bahwa Desa Sumberklampok dulunya masih hutan belantara di masa penjajahan Belanda. “Warga kami, generasi pertama itu merabas kawasan Teluk Terima ke Barat, sekitar tahun 1922-1924. Banyak yang kena malaria dan meninggal, dari 40 orang tersisa 15 orang. Kemudian, didatangkan lagi orang dari Madura dan Jawa sampai akhirnya berhasil merabas kawasan Teluk Terima untuk dijadikan perkebunan kelapa dan kapuk,” terang Sawitra.

Selepas masa penjajahan berakhir, tanah yang terdapat di desa Sumberklampok tersebut menjadi tanah yang tidak jelas kepemilikannya. Setelah puluhan tahun Indonesia merdeka, pada tahun 1967 Desa Sumberklampok bersama dengan Desa Pemuteran melakukan pemekaran dari Desa Tua Sumberkima. Bersama dengan pemekaran yang dilakukan, Desa Sumberklampok saat itu resmi menjadi desa definitif dan menunjuk Bapak Pawiro Sentono sebagai perbekel pertama mereka.

Berdasarkan sejarah Desa Sumberklampok, tiga perusahaan perkebunan Belanda yang didirikan oleh AW Remmert, J.Powneel, dan Gerrit van Schermbeek diberikan izin perkebunan (Persil Ordernerning) oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1930. Selepas kemerdekaan, Desa Sumberklampok yang mulanya bernama Banjar Gedebug Banyu di bawah administrasi Desa Sumberkima, pada saat itu warganya tetap menggarap kebun atau lahan mereka.

Berselang cukup lama sejak kemerdekaan, pada tanggal 27 Desember 1958 Presiden Soekarno mengesahkan UU No. 86 Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda yang Berada di dalam Wilayah Republik Indonesia. Undang-undang tersebut pada pasal 1 menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di wilayah Republik Indonesia yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dikenakan nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik penuh dan bebas Negara Republik Indonesia.

Berkenaan dengan hal tersebut, Pemerintah Provinsi Bali kemudian menyerahkan Hak Guna Usaha (HGU) No. 2 dan No. 3 kepada Yayasan Kebaktian Pejuang (sekarang Yayasan Kebaktian Proklamasi/YKP) melalui Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 715/A.3/2/31 tertanggal 16 Juni 1961. YKP merupakan perhimpunan veteran atau pejuang kemerdekaan Republik Indonesia Provinsi Bali yang dibentuk berdasarkan Akta Notaris No. 23 tanggal 23 Oktober 1951 dan Akta Perubahan No. 3 tanggal 3 Juli 1968. Pemerintah Provinsi Bali memberikan hak pengelolaan kepada YKP untuk dikelola sebagai upaya pemenuhan kehidupan para pejuang/veteran dan keluarganya. YKP kemudian membentuk badan usaha pertanian dan perkebunan yang bernama NV Margarana (sekarang PT Margarana) yang kemudian mengajukan permohonan Hak Guna Usaha (HGU) kepada Direktur Jenderal Agraria pada tanggal 18 Desember 1957.

HGU No. 1 di Sumberklampok seluas 1.952.300 m² dikelola oleh PT Perkebunan Dharmajati Utama melalui perolehan hak yang didasarkan pada Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri No. 11/HGU/DA/82 tertanggal 29 Juni 1982. Sedangkan, HGU No. 2 seluas 2.678.219 m² dan HGU No. 3 seluas 1.519.815 m² dikelola oleh NV Margarana (berubah menjadi PT Margarana) sejak tahun 1968 melalui perolehan hak berdasarkan Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Agraria No. 1/HGU/68. Adapun HGU No. 1 PT Dharmajati Utama telah berakhir pada tanggal 31 Desember 2007 dan HGU No. 2 dan 3 PT Margarana juga telah berakhir pada tanggal 31 Desember 1993. Oleh karena masa HGU kedua perusahaan tersebut telah berakhir, maka tanah sengketa telah menjadi Tanah Negara Bekas HGU.

Perjuangan- Suwitra Yasa selaku Kepala Desa Sumberklampok menceritakan kegesitan masyarakat dalam memperjuangkan hak lahan

Selepas berakhirnya masa jabatan Perbekel pertama Sumberklampok, pada periode selanjutnya ditunjuk pejabat sementara (Pj) oleh Pemerintah Kabupaten Buleleng dari tahun 1972-2002 secara berurutan sebanyak 6 kali pergantian. Kemudian di tahun 1990, Pemerintah Provinsi Bali sempat memberikan pemberitahuan akan melakukan bedol desa atau pengosongan Desa Sumberklampok. “Pada Pemerintahan Bapak Ida Bagus Oka, ada pemberitahuan bahwa Sumberklampok akan dibedol (dikosongkan), isinya tiang ingat betul pada saat itu, ‘Pada masyarakat Desa Sumberklampok yang tinggal di atas tanah tersebut harus segera pindah dari desa tersebut karena Sumberklampok akan dikosongkan dan dikelola oleh pemerintah. Silahkan warga kembali ke tempat asal atau memilih transmigrasi yang akan diprogramkan oleh pemerintah. Apabila tidak dilakukan, warga akan dipindah secara paksa.’ Tokoh di sini khawatir dan melakukan audiensi ke Jakarta. Dari sanalah mulai perjuangan kami,” tutur Sawitra.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa ketika dilaksanakan audiensi ke Jakarta, tiga partai (PDI, PPP, dan Golkar) memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Provinsi Bali untuk mempertimbangkan kembali SK Bedol Desa Sumberklampok tersebut karena Desa Sumberklampok telah diakui secara de facto dan de jure sebagai desa sejak 1967 sebagai desa nomor 14 di Kecamatan Gerokgak dan dihuni oleh masyarakat sejak bertahun-tahun. Akhirnya, SK tersebut kemudian ditarik dan dua PT tersebut mulai menyurut aktivitasnya menjelang berakhirnya masa HGU.

“Tahun 2000 desa ini kembali menjadi desa definitif dan mulai melakukan pemilihan perbekel pada tahun 2002. Penduduk semakin banyak, begitu juga pembangunan fasilitas dan pemerintahan desa sudah terbentuk. Kami kemudian melakukan upaya penyelesaian, rencananya tanah seluas 10 hektar pemukiman dan lahan garapan 1 hektar untuk masing-masing KK. Namun prosesnya masih tertunda dan belum ada kepastian hukum,” jelas Sawitra.

Pada tanggal 5 Desember 2013, Perbekel Desa Sumberklampok mengajukan surat permohonan audiensi ke Badan Pertanahan Negara (BPN) Pusat. Hal tersebut dipicu oleh klaim Pemerintah Provinsi Bali bahwa lahan Eks HGU PT Dharmajati dan PT Margarana tersebut merupakan aset Pemprov Bali. Pada tanggal 7 November 2013 masyarakat Desa Sumberklampok juga sempat melakukan aksi protes dengan menutup akses jalan di sekitar Gilimanuk-Singaraja selama dua hari sebagai bentuk kekecewaan dan menuntut kejelasan terkait hak milik atas lahan yang telah mereka tempati dan kelola.

Ketika bertandang ke Jakarta pada tanggal 5 Desember 2013 tersebut, Perbekel Sumberklampok justru menemukan bahwa Pemerintah Provinsi Bali baru mengajukan permohonan HPL Tanah Negara Eks HGU di Desa Pemuteran dan Sumberklampok tertanggal 7 September 2009. “Hal itu kemudian kami jadikan bantahan terhadap klaim Pemprov bahwa lahan di sini bukan merupakan aset Pemprov. Tetapi berulang kali melakukan audiensi dengan Pemprov, kami tidak juga mendapat kepastian di masa pemerintahan Bapak Mangku Pastika,” pungkas Sawitra.

Penantian yang berbuah manis, perjuangan dan doa masyarakat Sumberklampok mulai menemui harapan baru di tahun 2018. Pada tanggal 5 Desember 2018, BPN Provinsi Bali dan BPN Kabupaten Buleleng bersama Tim Sembilan melakukan pemetaan dan pengukuran total luas lahan di Desa Sumberklampok. Tim Sembilan terdiri dari sembilan orang tokoh masyarakat Desa Sumberklampok. Dua tahun setelahnya, tepatnya di tanggal 26 November 2020 Tim Sembilan, Perbekel Desa Sumberklampok, Gubernur Provinsi Bali, I Wayan Koster, serta Kakanwil BPN Provinsi Bali resmi menandatangani Surat Kesepakatan Bersama (SKB) perihal penyelesaian sengketa lahan Eks HGU di Sumberklampok.

Adapun poin pertama dalam surat kesepakatan tersebut adalah pembagian lahan antara masyarakat Sumberklampok dan Pemprov adalah sisa lahan setelah dikurangi lahan pekarangan (pemukiman) seluas 65,55 ha, fasilitas umum seluas 9,91 ha, dan jalan/pangkung/sungai seluas 23,37 ha. Adapun total luas lahan eks HGU No. 1, 2 dan 3 adalah 612,94 ha. Sehingga, setelah dikurangi lahan fasilitas, pemukiman, jalan dan sungai tersisa 514,02 ha. Poin kedua adalah dari total luas lahan 514,02 hektar itu, sebanyak 70% (359,80 hektar) menjadi hak milik warga Sumberklampok. Sedangkan sisanya sebanyak 30% (154,20 hektar) menjadi hak milik Pemprov Bali. Adapun poin ketiga, Pemprov Bali akan mendukung hak warga Sumberklampok dalam program Reforma Agraria. Masyarakat Sumberklampok diberikan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah sebagai dasar permohonan penerbitan sertifikat hak milik kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN). Terakhir, apabila pemerintah akan memanfaatkan lahan hak masyarakat Sumberklampok, maka pemerintah harus mengadakan ganti rugi sesuai yang berlaku pada undang-undang.

Perjuangan panjang selama 60 tahun tersebut kemudian menemui titik terangnya pada tanggal 18 Mei 2021. Gubernur Bali, I Wayan Koster bertandang langsung ke Balai Desa Sumberklampok untuk membagikan 800 Sertifikat Hak Milik (SHM) untuk lahan pemukiman kepada masyarakat Sumberklampok. Sementara itu, lahan garapan dibagikan langsung oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo pada tanggal 21 September 2021 sebanyak 813 sertifikat. Sehingga, total telah dibagikan sebanyak 1.613 sertifikat redistribusi tanah kepada masyarakat Desa Sumberklampok.

“Kami sangat berterima kasih kepada Bapak Presiden, Bapak Gubernur, serta lembaga terkait yang sudah membantu proses ini. Luar biasalah pahit manis perjuangan masyarakat Sumberklampok. Puluhan tahun melakukan permohonan akhirnya bisa tuntas,” ujar Sawitra Yasa. Kemudian, dilansir dari situs Pemerintah Kabupaten Buleleng, pada tanggal 21 Juni 2022 Sumberklampok ditetapkan sebagai Kampung Reforma Agraria, yakni desa percontohan dalam penyelesaian konflik agraria. Sumberklampok pun menerima bantuan pemberdayaan sebesar Rp10 miliar sebagai wujud 21 program integrasi lintas kementerian dalam mendukung reforma agraria untuk meningkatkan sektor UMKM, pertanian, perikanan, pendidikan, hingga BUMDes.

“Kami menerima bantuan 100 ekor sapi juga. Kami tentunya sangat berterima kasih kepada pemerintah pusat. Namun, Sumberklampok masih memiliki persoalan kompleks, salah satunya sebanyak 107 KK warga eks Timor-Timur yang dipulangkan ke Bali ditempatkan di tanah kehutanan di Sumberklampok pada tahun 2000 dengan Hak Produksi Terbatas (HPT). Ini kami mohon kemudian nanti, pemerintah juga berkomitmen untuk menyelesaikan konflik ini. Jangan sampai kami sudah menjadi Kampung Reforma Agraria, tetapi masih ada konflik yang belum usai. Sebanyak 694 KK Eks HGU itu bisa selesai, besar harapan kami kedepannya, Pemerintah Pusat dan Pemprov Bali bisa segera menyelesaikan yang 107 KK tersebut juga,” tutup Sawitra Yasa.

 

Konflik Agraria di Dusun Sendang Pasir, Desa Pemuteran Belum Usai

Sama halnya seperti yang dialami oleh Desa Sumberklampok, Desa Pemuteran juga mengalami permasalahan yang serupa. Namun, gejolak konflik agraria di Desa Pemuteran masih belum menemui titik terang hingga saat ini. Permasalahan hak milik tanah di desa ini tepatnya berada di Dusun Sendang Pasir. Sempat menjadi tanah tidak bertuan, akhirnya tanah seluas 246,5 hektar ini sempat dihibahkan hak pengelolaannya oleh Pemerintah Provinsi Bali kepada YKP pada tahun 1951.

Wawancara – Kepala Desa memaparkan beberapa hal terkait permasalahan agraria di Desa Pemuteran

“Dulu tanah itu dikontrakkan pada Yayasan Kebaktian Pejuang (YKP), dia yang mengontrakkan ke PT Margarana. Masa habis kontrak itu di tahun 2005. Mungkin di sana ada proses saling gugat juga, tiang kurang tahu, kemudian ini dimenangkan oleh Pemprov Bali,” jelas Nyoman Arnawa selaku Perbekel Desa Pemuteran.

Tanah seluas 2.465.000 m² di Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng ini merupakan Lahan Perkebunan HGU No.1 yang dikelola oleh PT Margarana berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri No. 78/HGU/DH/1980. HGU tersebut pun juga telah berakhir masa berlakunya pada tanggal 31 Desember 2005. Kendatipun demikian, Tanah Negara Eks HGU yang terletak di Dusun Sendang Pasir, Desa Pemuteran tersebut masih berstatus tanah sengketa antara Pemprov Bali dan warga setempat hingga sekarang.

Sebanyak 638 orang petani Sendang Pasir telah lama mengelola dan menempati lahan yang diperkarakan tersebut. Meskipun tanah tersebut masih bersengketa dan belum memiliki sertifikat, namun Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 menjadi salah satu kunci kejelasan atas status kepemilikan Tanah Negara Eks HGU tersebut. Oleh karena masa berlaku HGU telah habis dan perpanjangannya ditolak, maka tanah tersebut dapat menjadi objek redistribusi tanah dalam program Reforma Agraria seperti yang dimaksud dalam pasal 7. Tidak hanya itu, Gubernur Bali juga menunjukkan respon dalam upaya penyelesaian sengketa di Dusun Sendang Pasir. “Bapak Gubernur ada memberikan opsi bahwa tanah akan diberikan kepada masyarakat yang menempati dan mengelola,” ujar Arnawa.

Masyarakat Sendang Pasir khususnya para petani telah melewati banyak proses perjuangan demi mendapatkan legalitas hak atas kepemilikan lahan yang telah mereka kelola dan tempati. Pengajuan permohonan dan upaya mediasi terkait hak lahan yang berada di Dusun Sendang Pasir sudah dilakukan sejak dulu, bahkan upaya yang dilakukan tak jauh berbeda dengan cara penyelesaian masalah agraria yang terjadi di Desa Sumberklampok. “Kami juga sudah sering berkoordinasi dengan Pemerintah Desa Sumberklampok perihal proses tanah tersebut dari awal. Ada juga berita di koran bahwa tanah di Pemuteran akan diselesaikan sebagaimana sengketa tanah yang ada di Sumberklampok telah selesai. Tetapi belum ada respons juga untuk tanah yang ada di Pemuteran,” ujar Bagus Rai selaku Ketua Tim 13 yang dibentuk oleh Desa Pemuteran untuk mengakomodasi perjuangan Dusun Sendang Pasir.

Desa Pemuteran membentuk Tim 13 yang terdiri dari unsur pemerintahan desa, BPD, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, dan tokoh masyarakat dari Desa Adat. Tujuan dari terbentuknya tim ini adalah sebagai pihak terdepan dalam proses mediasi, menyiapkan data-data yang diperlukan, serta sebagai wadah menyalurkan aspirasi masyarakat kepada Pemerintah Provinsi Bali. Perjuangan bersama Tim 13 ini dimulai sejak tahun 2021 yang sudah melakukan banding terhadap tanah sengketa kepada Pemprov Bali. “6 Juni 2022 kemarin Bapak Gubernur mengundang Tim 13 untuk mencari solusi atas Tanah Negara Eks HGU ini,” ujar Bagus Rai.

Selama proses penyelesaian permasalahan sengketa lahan yang ada di Dusun Sendang Pasir, pihak desa tidak pernah melakukan mediasi yang berlebihan ataupun mediasi yang mengundang kericuhan terhadap pihak lainnya. Kepala Desa Pemuteran berharap tindakan penyelesaian konflik ini dilakukan dengan tidak berlebihan dan dilakukan dengan cara baik-baik sehingga semua proses dapat berjalan dengan lancar. Meskipun menjalani proses yang panjang dan berlika-liku, menurut Perbekel Pemuteran warga Dusun Sendang Pasir belum pernah mengalami kendala atas isu kepemilikan tanah yang dipegang oleh Pemprov. Kegiatan pertanian warga masih dapat berlangsung seperti biasa dan warga masih bisa menggarap dan mengolah lahan tersebut dengan baik.

Kendatipun demikian, warga Dusun Sendang Pasir harap-harap cemas namun masih memiliki harapan kuat terhadap status kepemilikan lahan yang telah mereka kelola dan tempati tersebut. Para warga dan petani di Dusun Sendang Pasir berharap pemerintah dapat segera mengatasi persoalan agraria di sana dan melakukan redistribusi tanah serta legalisasi status kepemilikan lahan warga Dusun Sendang pasir, Desa Pemuteran sesuai amanah undang-undang dan Perpres.

Reporter: Ayu, Ade, Cintya, Dayu, Deklan, Iyan, Kamala, Manogar, Gung Vita, Kanya

Penulis: Juniari, Manogar

Editor: Juniari, Yuko

 

You May Also Like