Rektor Universitas Udayana (Unud) akhirnya memperlihatkan sikap setelah mahasiswa melakukan aksi langsung terkait penolakan Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) di depan Gedung Rektorat Unud, Bukit, Jimbaran (2/7/18). Melalui konferensi pers pada hari yang sama, Rektor Unud mengumumkan bahwa keputusan penetapan SPI sudah bulat atau final.
Keputusan Rektorat Unud menetapkan SPI atau uang pangkal bagi mahasiswa baru yang diterima melalui jalur Mandiri pada tahun ajaran 2018/2019 menuai pro dan kontra di kalangan mahasiswa Unud. Menurut kajian yang diunggah oleh akun (LINE@ BEM PM) Badan Eksekutif Mahasiswa Pemerintahan Mahasiswa (BEM PM) Unud banyak mahasiswa menilai penerapan SPI merupakan suatu kekeliruan dalam dunia pendidikan lantaran nominal minimal SPI Unud terbilang cukup besar.
Gejolak mulai muncul ketika selebaran berisi daftar “harga” SPI jalur mandiri Unud tersebar beberapa waktu lalu di kalangan mahasiswa. Pada selebaran tersebut, tertera variasi nominal SPI untuk setiap program studi (prodi) dengan batas minimal 10 juta Rupiah dan 150 juta Rupiah khusus untuk PSPD (Program Studi Pendidikan Dokter).
Setelah sekian lama bergulir menjadi perbincangan dan menuai sejumlah aksi protes dari mahasiswa, permasalahan SPI di Unud menemukan titik akhir melalui konferensi pers yang diadakan oleh pihak Rektorat Unud. Acara yang berlangsung pada pukul 12.00 WITA di Ruang Bangsa, Lt. 3 Gedung Rektorat Unud menjadi bentuk jawaban Rektorat atas aksi damai bernama “Aksi Cinta Udayana” yang dilakukan oleh mahasiswa pada hari yang sama. Dalam konferensi pers tersebut, jajaran Rektorat Unud memberikan klarifikasi sekaligus menjawab tuntutan mahasiswa serta sejumlah pertanyaan terkait SPI dan UKT (Uang Kuliah Tunggal).
Akan tetapi bahasan yang menjadi poin dalam konferensi pers tersebut adalah pernyataan dari Rektorat Unud mengenai penetapan SPI. Secara tegas jajaran Rektorat Unud menyatakan bahwa SPI diterapkan untuk mahasiswa baru jalur mandiri tahun ajaran 2018/2019 adalah keputusan final. “Sekarang kita berjalan di atas aturan-aturan dan aturan SPI itu sudah jelas undang-undangnya ada. Kajian akademiknya ada. SPI yang ditetapkan ini sudah final,” kata Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S (K). Ia menambahkan bahwa yang perlu untuk dilakukan berikutnya adalah menyamakan persepsi dari semua pihak termasuk dengan mahasiswa Unud yang ingin mengajukan audiensi terkait SPI.
SPI: Hitam atau Putih?
SPI yang selama ini dipandang sebagai perkara boleh jadi pada sesungguhnya bukan sesuatu yang layak untuk diperdebatkan. Dua pertimbangannya adalah adanya landasan hukum sah yang memperbolehkan SPI serta adanya proses kajian akademik oleh pihak Unud sebelum melakukan penetapan.
Raka Sudewi dalam konferensi pers menjelaskan bahwa SPI pada jalur mandiri sudah memiliki landasan hukum, mengacu pada UU No. 12 Tahun 2012 tentang pengelolaan Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Selain itu, ia pula menyebutkan jika Unud sudah memiliki tim kajian akademik dan melakukan studi banding ke beberapa universitas di Indonesia sebelum akhirnya menetapkan SPI di tahun ajaran 2018/2019.
“Di bawahnya adalah Permen (Peraturan Menteri -red) dari Kemenristekdikti Nomor 39 Tahun 2017 yang mengatakan bahwa jalur mandiri boleh memungut di luar UKT,” jelasnya. “Berdasarkan itulah, kami memutuskan bersama para pimpinan untuk melakukan pemungutan SPI, khususnya pada penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri yang maksimal 30% itu. Setiap prodi akan berbeda besaran nominalnya.”
Prof. Dr. I Gusti Bagus Wiksuana, SE.,MS selaku Wakil Rektor (WR) II Unud menjelaskan perbedaan nominal SPI pada setiap program studi (prodi). Hal ini dikarenakan setiap nominal merupakan usulan dari masing-masing prodi. 70 persen dari dana SPI akan dialokasikan untuk meningkatkan sarana dan prasarana Unud. Ia menyebut bahwa SPI-lah modal awal Unud untuk melakukan pelayanan kepada mahasiswa dan masyarakat melalui perbaikan fasilitas-fasilitas yang telah ada.
“Banyak (fakultas -red) yang tidak mempunyai ruangan kuliah. Sekalipun yang sudah memiliki ruangan kuliah, satu ruangan bisa diisi sampai 50 orang, itu tidak efektif untuk perkuliahan. Kami akan meningkatkan labolatorium kami juga, akan meningkatkan fasilitas-fasilitas kuliah agar setara,” paparnya. Meski hingga sampai berita ini diturunkan, pihak Rektorat Unud belum mempublikasikan gambaran wajah dari infrastruktur yang dicanangkan akan dibangun atau diperbaiki.
Melalui kesempatan yang sama pula, pihak rektorat secara gabungan ingin meluruskan jika SPI hanya akan dibayarkan kepada mahasiswa mandiri yang telah resmi dinyatakan lulus. “SPI dibayar setelah lulus. Tapi sebelumnya dia (mahasiswa mandiri –red) sudah membuat pernyataan kesediaan, formnya sudah disediakan dan lain sebagainya. Semua informasi itu ada di web,” terang Raka Sudewi. Pihaknya pula menegaskan bahwa kelulusan mahasiswa di jalur mandiri ditentukan oleh formula yang menggabungkan antara nilai akademik, hasil tes, dan SPI.
“Masyarakat sudah tahu, apabila tidak sesuai dengan apa yang kami tawarkan di awal program ini kan mereka bisa menolak. Kalau mereka mendaftar, berarti mereka sudah setuju dan untuk apa SPI itu sudah ada dasar hukumnya,” tambah Bagus Wiksuana.
Boleh jadi SPI sesungguhnya memiliki maksud dan niat demi kebaikan bersama. Namun ibarat berada di area abu-abu, apabila dilihat dari sudut pandang yang berbeda, SPI akan dinilai berbeda. Meninjau dari kajian aksi milik Pemerintahan Mahasiswa (PM) Unud yang menggunakan sudut pandang mahasiswa, SPI masih dipandang sebagai bentuk komersialisasi pendidikan dan sebuah jalan yang efektif untuk menghapus hak mengeyam pendidikan bagi lapisan masyarakat bawah. Itu terbukti dengan pernyataan dari Ika Pramesti dan Ni Komang Primandani selaku humas pada Aksi Cinta Udayana bahwa mereka masih menolak diterapkannya SPI di Universitas Udayana.
(Kristika/Akademika)
[DISCLAIMER]
Berita ini dipublikasikan pertama kali pada tanggal 3 Juli 2018 di persakademika.com