Kalung Klasik Berdarah
Oleh: Virdha Martha
Editor: Kristika
Kau tetap kumiliki sebagai bintang malam nanti. Kau tetap kumiliki sebagai mimpi yang tak selesai dipenghujung hari dan kau tetap memilikiku sebagai teman terbaikmu.
***
Aku mengeluarkan sebuah kalung yang kusimpan dari dalam tasku. Kalung dengan bandul berbentuk segi enam dihiasi ukir-ukiran klasik yang kutemukan menggantung pada pohon nangka di belakang rumah nenek Jumat lalu. Kupikir kalung ini begitu indah dan akan kuberikan pada gadis yang kupuja.
Aku dan Alin begitu dekat semenjak ia menjadi tetangga baruku 13 tahun lalu. Balkon kamarnya yang berhadapan persis dengan balkon kamarku membuat pertemuan kami terjadi setiap hari. Setiap pagi, aku dan Alin akan saling menunggu di depan balkon kamar masing-masing, saling melempar senyum dan sapaan hangat walau hanya sekedar ucapan selamat pagi.
Setelah perkenalan kami, menemani Alin pergi menjadi hobi baruku, sepertinya. Alin suka menonton film dan amat suka membaca. Ia akan pergi ke bioskop saat waktu libur atau menghabiskan waktu di perpustakaan jika memiliki waktu luang. Jika saat menonton aku akan memilih film komedi, Alin cenderung akan memilih film misteri. Baginya genre horor, thriller dan riddle amat menarik. Menguji andrenalin, katanya. Entah sejak kapan mulanya, saat ini yang kutahu, aku mencintainya.
Dalam lamunan aku berpikir akan memberinya kejutan dengan kalung ini. Setelah memantapkan niat, aku pun meletakkan kalung tersebut di dalam laci meja kamarku.
Perpustakaan kota cukup sepi ketika aku dan Alin mengunjunginya hari ini. Aku berjanji menemuinya di sana setelah pulang dari dokter. Entah mengapa kepalaku terasa sakit sekali pagi ini, kala aku mendengar suara-suara aneh di rumahku. Rasanya seperti ada yang mengawasiku semalaman. Samar-samar aku melihat sesosok wanita berbaju hitam mengitari ruang kamarku yang luas. Dalam kengerian aku sedikit memperhatikan wajah wanita itu yang menyeringai, sebelum akhirnya sosok tersebut menghilang seiring remangnya sudut kamarku.
“Baca apa Lin? Serius amat!” sapaku sembari menarik kursi dan duduk di sampingya.
Buku yang Alin baca sangat usang dan berdebu. Juga tampak terlalu lama disimpan hingga halaman-halamannya menguning. ‘Pertukaran Jiwa’ tertulis pada sampul depan buku tersebut. Dari judul dan tampilannya saja sudah membuatku ngeri. Anehnya pula, gambar pada covernya mengingatkanku pada sesuatu.
“Dapat di mana nih?” tanyaku.
“Sssttt, buku menarik nih! Aku nemuin ditumpukan buku sebelah sana,” ujar Alin sembari menunjuk ke arah sudut ruangan tempat tumpukan buku-buku lama disimpan.
“Emang isinya apa?” tanyaku semakin penasaran.
“Di sini tertulis, ‘kebangkitan bersujud pada kematian’. Maksudnya apa?” tanya Alin kembali.
“Cih, ditanya malah balik nanya. Ya mana ku tahu!” kataku sambil berdiri dari duduk.
“Sini lihat dulu,” Alin menunjukkan sebaris tulisan yang hanya kubaca sekilas.
Setelah apa yang terjadi padaku semalam, ini sama sekali tidak membuatku tertarik pada buku yang Alin tunjukkan. “Sudah ah, yuk pergi cari makan,” kataku sambil menarik tangannya keluar dari ruang perpustakaan.
Saat tengah asik berbaring di kamar, aku teringat sesuatu dan mencoba memeriksanya. Kuambil kalung yang kusimpan dalam laci meja kamarku. Setelah kuperhatikan, kalung klasik yang kutemukan di belakang rumah nenek ini begitu mirip dengan gambar di sampul buku yang Alin baca tadi. Entah apa hubungan antara keduanya.
Denting suara telepon memecah keheningan. Sebuah kabar membuatku terkejut. Nama Alin tertera pada layar depan ponselku, namun saat kuangkat suara orang lain yang kudengar
“Maaf sebelumnya, saya menelpon karena nama anda berada paling atas pada daftar riwayat panggilan telepon. Pemilik ponsel ini mengalami kecelakaan.”
Mendadak memori tentang Alin terus berputar di kepalaku seperti sebuah film kala aku mendengar bahwa Alin gagal diselamatkan. Ingatan tentangnya menjelma belati yang terus menekan menusukku begitu dalam. Bersama bulir air mata yang terus menetes, aku membiarkan roda film itu berputar menayangkan seulas senyum simpul dari seseorang yang aku cintai, dengan terus menyentuh dadaku yang terasa nyeri hingga pandanganku perlahan menjadi kabur dan buram.
Ketika aku sadar, jasad Alin telah dipulangkan ke rumah duka. Dalam perjalanan aku teringat akan buku yang Alin baca di perpustakaan minggu lalu. Tiba-tiba saja aku teringat tulisan yang Alin tumjukan kepadaku, “Setelah kematian yang hidup, roh mereka diwujudkan kembali pada kefanaan dalam kebangkitan yang bersujud pada kematian”. Semua seperti memiliki hubungan. Entah setan apa yang merasuki tubuhku, rasa tidak terima pada kematian Alin menuntunku untuk meminjam buku tersebut dan mengambil kalung yang kusimpan di dalam laci kamarku.
Setelah memahami isi buku yang kupegang, kini aku mengerti bahwa kalung yang kutemukan menggantung pada sebuah pohon nangka di belakang rumah nenek minggu lalu memang bukan kalung biasa. Dalam pemahamanku, kalung dan beberapa mantra dalam buku ini mampu membangkitkan yang telah mati. Sekali lagi rasa tidak terima pada kematian Alin memberikanku ide gila yang akan aku coba.
Di sini aku berdiri memegang sebuah buku tua dan kalung klasik, menatap nanar peti mati tempat terbaringnya seseorang yang aku cintai. Bahkan air mataku berhenti untuk menetes, dan berhentinya air mata adalah bentuk duka yang paling dalam. Tidak ada siapapun di sini. Kami adalah dua yatim piatu yang saling menemani satu sama lain.
“Sebentar lagi Alin, kita akan kembali bersama dalam kehidupan yang fana ini,” kataku sambil melingkarkan kalung itu dileher Alin.
Aku membaca beberapa mantra yang tertera di buku yang kupegang. Perlahan hawa dingin meneyelimuti seluruh ruangan. Aku merasa ada banyak mata yang mengawasiku bersama jasad Alin. Perlahan bandul pada kalung yang berlambang segienam mulai menyala memancarkan cahaya yang menutupi hampir seluruh peti. Aku masih terpaku menatap apa yang sesungguhnya tak bisa kupercaya. Jasad Alin terduduk secara perlahan dengan kalung yang masih melingkar di lehernya. Ia begitu cantik dengan rambut tergerai menutupi bahu.
Ketika pejaman matanya terbuka, aku masih terpaku tak percaya bahwa Alinku benar-benar hidup kembali. Lirikan matanya menatapku, bibir mungilnya menyeringai dengan ekspresi wajah yang tak bisa kujelaskan. Di tengah rasa bahagiaku, aku menyadari ada yang tidak beres di sini. Ada sesuatu yang membuatku bergidik. Ekspresi wajah yang ditunjukkan Alin mengingatkanku pada wanita yang kulihat dikamar ku kala itu. Wanita berbaju hitam yang menghilang seiring remangnya sudut kamarku. Dalam seringainya yang menakutkan, ia berbicara perlahan, “Terima kasih telah membangkitkanku.”
[DISCLAIMER]
Berita ini dipublikasikan pertama kali pada tanggal 11 Juli 2018 di persakademika.com