Tatkala musim paceklik menghampiri, masyarakat Desa Adat Kapal, Mengwi, memiliki respons budaya yang khas. Disebut Aci Tabuh Rah Pengangon, tradiri ini menjunjung simbol pangan sebagai alat pertahanan diri utama yang membuat munculnya rasa bersyukur pada ciptaan-Nya. Aksi perang simbolis menggunakan bahan keketupat bantal dilakukan sebagai rangkaian dalam tradisi ini.
Tradisi Aci Tabuh Rah Pengangon atau “Perang Ketupat Bantal”, merupakan suatu tradisi yang dilaksanakan rutin oleh masyarakat Desa Adat Kapal setiap setahun sekali, yakni pada sasih kapat atau sekitar bulan September – Oktober yang berlokasi di depan pura desa setempat. Tradisi ini memiliki kemiripan dengan tradisi agraris yang di Spanyol, yang mana mereka melakukan perang tomat. Tradisi Aci Tabuh Rah Pengangon dimeriahkan dengan aksi perang ketupat bantal bermakna bahwa pangan yang dimiliki sejatinya adalah senjata utama sebagai pertahanan diri dalam kehidupan. Tradisi ini dilaksanakan atas dasar mensyukuri ketentraman dan kemakmuran yang telah dilimpahkan.
Keyakinan masyarakat akan tradisi ini bermula dari sebuah kisah yang tercatat dari lontar kuno, yakni Lontar Tabuh Rah Pengangon. Termuat dalam lontar tersebut, adanya paceklik (musim kekurangan bahan pangan – red) di Desa Kapal mengakibatkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat. Kerisauan Ki Kebo Iwa, patih andalan Sang Raja menyelidiki keadaan yang menimpa rakyat Desa Adat Kapal. Ki Kebo Iwa memohon jalan keluar kepada Yang Maha Kuasa dengan melakukan yoga semadhi di Khayangan Bhatara Purusada. Ki Kebo Iwa kemudian mendapatkan sabda dari Sang Hyang Siwa Pasupati untuk melaksanakan Aci Tabuh Rah Pengangon dengan menggunakan ketupat bantal sebagai sarana yang dihaturkan untuk merepresentasikan Purusha dan Predhana (sumber kehidupan). Di samping itu, sabda ini juga memberikan perintah agar masyarakat Desa Kapal tidak menjual ketupat dikarenakan ketupat adalah simbolisasi dari Predana atau energi feminisme (Ibu Pertiwi). Aci Tabuh Rah Pengangon pun dilaksanakan, sehingga desa ini makmur dan tentram kembali. Kini, Aci Tabuh Rah Pengangon dilaksanakan oleh masyarakat Desa Adat Kapal yang juga bisa ditonton masyarakat umum karena acara tersebut dilaksanakan di Madya Mandala Pura Desa-Puseh dilanjutkan dengan di jaba pura Jalan Raya Kapal.
Dilihat dari segi zaman, ritual ini dipastikan akan terus eksis lantaran mengingat manfaat pelestarian tradisi ini berimbas pada terbentuknya kesadaran dan perilaku masyarakat untuk senantiasa menjaga keberlangsungan irigasi pengairan terawat dengan baik, tidak mengotori atau membuang sampah di sungai dan pada aliran irigasi. Pengairan menuju persawahan tetap lestari, memberi berkah pada pertanian. Diharapkan pula dengan adanya tradisi ini dapat mencegah alih fungsi lahan sawah menjadi perumahan atau bangunan fisik lain sehingga berdampak pada berkurangnya produksi pertaian yang semakin merosot.
Penulis : Putri Audia
Penyunting : Gangga Samala