Air dikatakan sebagai kebutuhan mendasar umat manusia. Sayangnya permasalahan air masih menjadi dilema berkepanjangan yang tidak pernah terselesaikan. Desa Pedawa, Cempaga dan Sidetapa adalah sebagian kecil dari banyak wilayah yang bergulat dengan masalah ketersediaan air bersih. Bala bantuan dari luar berbalut kegigihan masyarakat setempat mengantarkan ketiga desa ini untuk keluar dari jurang krisis air bersih.
Tata Kelola Distribusi Air di desa Pedawa
Desa Pedawa merupakan desa yang menjadi bagian dari kompleks desa Bali Aga. Perjalanan menuju desa ini akan melalui lintasan yang menanjak dan didampingi oleh hamparan perkebunan cengkeh di setiap sisinya.
Berdasarkan penuturan Kepala Desa Pedawa, Putu Mardika, Desa Pedawa memiliki sumber mata air yang disebut berasal dari Glunggang, Slundingan, dan Kayuan desa. Ketiga sumber mata air itu mengandalkan air resapan sehingga keberadaan pohon untuk membantu menjaga ketersediaan air menjadi krusial.

Sumber mata air yang ada di Pedawa tersebut menurut Mardika masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan air seluruh masyarakat, namun tidak sampai menyebabkan Pedawa pada kondisi terpuruk. “Sumber airnya berasal dari air resapan. Ada juga bongkahan batu paras itu di sana keluar air karena di glunggang itu masih ada tanah milik adat ada kayu-kayu besar mungkin resapannya dari sana dan kita beberapa kali menanam kayu di sana dan mati. Cuma kita belum pernah mengalami yang sampai namanya kekeringan,” ucapnya.
Nyatanya permasalahan air yang krusial terletak pada tata kelola distribusi air. Kelian Dinas Desa Pedawa, Ketut Arya Wirawan menuturkan sekitar tahun 80an, Desa Pedawa pernah mendapatkan bantuan pipa besi untuk distribusi air dari Unicef. Namun setelah sekian tahun pipa besi tersebut mengalami kerusakan. Tidak bisa ditampik memang ketahanan pipa besi begitu rendah sehingga rentan mengalami permasalahan berkarat ataupun korosi yang menyebabkan terganggunya distribusi air. “Kalau krisis air sebenarnya ini tergantung dari sumbernya karena musiman sebenarnya, karena kalau musim kemarau kan debit air kecil. Tapi yang menjadi persoalan adalah pelayanan atau pendistribusian air ke masing-masing rumah tangga penduduk,” tutur Mardika.
Tersandung masalah biaya
Tidak hanya permasalahan pipa, tetapi alokasi dari anggaran desa yang tipis turut memperumit keadaan. Ketut Arya Wirawan selaku Kelian Banjar Dinas Desa Pedawa menambahkan bahwa distribusi air di Desa Pedawa cukup terkendala dari segi keuangan. “Di Buleleng itu APBD itu kan kecil. Dana dari pemerintah pusat 1 M lah, kalau dari masyarakat kan kita taunya sih dapat uang 1 M dari kabupaten tapi kadang-kadang masyarakat belum mengerti keuangan desa bagaimana, kalau sudah masuk ke desa bagaimana keuangan itu di post-postkan juga, kadang-kadang kita di desa minus,” pungkas Wirawan. Kesulitan dalam manajemen keuangan yang minim tersebut juga dikarenakan adanya perbaikan fasilitas umum yang menunjang mata pencarian di desa. “Walaupun kita mengarah ke pemberdayaan kecil nilainya, orientasi di desa itu masih perbaikan jalan untuk memperlancar perkebunan kita jadi masih rabat beton. Kembali lagi ke pipa belum bisa mengalokasikan dana ke sana. Tapi bantuan pemerintah kadang-kadang tidak cukup bahkan minus. Permasalahan distribusi air itu sebenarnya lebih banyak di bagian atas,” tambahnya.

Peralihan Komoditas Tani
Permasalahan krisis air bersih yang terjadi di Pedawa ternyata bukan hanya perkara pendistribusiannya. Permasalahan lainnya juga berkaitan dengan peralihan komoditas tani masyarakat yang mulanya menanam pohon aren dan beralih menjadi cengkeh. Wirawan mengungkapkan adanya peralihan ini berdampak pada lahan warga, yang mana sering terjadi longsor akibat kurangnya resapan air. Hal ini juga didukung dari area desa yang tergolong lintasan miring dan berada di atas, sehingga faktor terjadinya longsor lebih besar terjadi. “Sebenarnya pohon aren sangat bagus untuk melindungi lahan. Jadi beberapa lahan warga itu masih tetap ada pohon arennya, tapi lahan yang sudah berganti ke tanaman lain maka rawan terjadi longsor. Karena kan pohon cengkeh nyerap sedikit kalau sudah penuh hari itu langsung dibuang. Makanya air itu otomatis menyebabkan longsor. Kalau aren seberapapun hujannya pasti diserap,” ungkap Wirawan
Peralihan komoditas tani dari aren menjadi cengkeh tiada beralasan. Menurut Wirawan hal ini berkaitan dengan ekonomi. Pohon aren memerlukan waktu lebih lama untuk perawatan, selain itu pengolahan aren yang sudah dipanen memerlukan tenggat waktu yang lama. “Peralihan dari aren ke cengkeh itu sekitar tahun 90an. Kalau cengkeh sekali panen langsung bisa beli motor tinggal nunggu 5-6 tahun. Kalau aren itu 30 tahun lama nunggunya , belum lagi pengolahannya lama,” jelas Wirawan.

Bukan hanya masalah waktu, peralihan komoditas tumbuhan yang berkualitas dalam menyangga air juga berkaitan dengan status kepemilikan lahan di desa tersebut. Desa Pedawa tidak memiliki lahan desa, baik atas nama dinas maupun adat, dan mayoritas merupakan lahan pribadi. “Intinya begini kita di desa itu tidak punya tanah desa, jadi tanah adat juga tidak punya. Kalau di daerah lain adat, dinas sekian hektar, itu yang kita tidak bisa karena ini kan lahan-lahan pribadi jadi kita kan tidak intervensi,” pungkas Wirawan.
Wirawan mengungkapkan, Peraturan Desa kini diupayakan untuk menjadi ‘tameng’ dalam mengatasi keterbatasan kewenangan yang dimiliki oleh Desa, terkhusus pada perilaku masyarakat yang berpotensi membahayakan sumber mata air. “Makanya dengan adanya Perdes dari Pak Mekel itu yang akan membentengi kita, sekian meter tidak boleh ditanami walaupun milik pribadi,” ungkapnya.
Bantuan Tata Kelola Distribusi Air
Pedawa dapat menghela nafas lega ketika bantuan dari pihak Jepang datang untuk membantu mengatasi permasalahan distribusi air. Adanya kedatangan mahasiswa Jepang yang melakukan penelitian ke Pedawa di tahun 2018 mengenai arsitektur bangunan rumah tua yang ada di desa tersebut, mendatangkan 13 orang mahasiswa Jepang lain yang salah satunya memiliki fokus dengan permasalahan air. Kembali ke Jepang, mahasiswa tersebut mengkonfirmasi permasalahan air Pedawa ke yayasan di Jepang. Adanya titik terang dengan datangnya bantuan setidaknya memberikan angin segar bagi Pedawa. “Ada bantuan dari yayasan Jepang, juga turut membantu melalui program YES project, yang bantuannya cukup besar dan sampai tahun ini bantuannya sudah mencapai 500juta,” ungkap Wirawan. Bantuan yang diberikan oleh Yayasan Jepang dilakukan secara bertahap yang dipantau melalui Zoom Meeting. “Bantuan dari jepang ini dilakukan bertahap dan selama kami masih bisa memenuhi data secara detail maka diusahakan bantuannya belum distop,” lanjutnya.
Bantuan yang diberikan akan dibagi 2 tahap, yaitu tahap pertama untuk memperbaiki sumber air yang akan dibendung, upaya menyatukan titik-titik air kemudian tahap kedua merupakan perbaikan pipa. Saat ini, bantuan sudah mencapai tahap kedua. “Bantuan dari Yayasan Jepang tersebut akan digunakan untuk mengganti pipa yang sebelumnya merupakan pipa besi menjadi pipa HDPE,” ungkap Wirawan. Tidak mengalir terus-menerus, apabila memang sudah memenuhi standar perbaikan, maka bantuan project dari Jepang ini akan dihentikan. “Jadi hitungan dari mahasiswa Jepang ini sudah menggunakan hitungan seperti berapa liter per jam untuk memenuhi kebutuhan. Dan project ini akan berhenti jika desa kami sudah mendapatkan manfaatnya,” tutup Wirawan.
Manajemen Pengelolaan dan Efektivitas Bantuan
Terkait manajemen pengelolaan air menurut penuturan Wirawan sejauh ini akan dilaksanakan oleh pengurus di masing-masing dusun yang sudah ada. Namun Wirawan memandang hal ini akan menjadi kendala karena sistem upah yang belum memadai untuk pengurus. Ia menyebutnya dengan istilah ‘ngayah’, yang mana manajemen pengelolaan ini lebih ditekankan pada keikhlasan masing-masing orang. “Kendala perawatan itu di pengurusan sih pada intinya, karena sistemnya itu perbulan untuk pengurus air dibayar 100 ribu ya ngayah aja sih istilahnya,” tuturnya. Rencananya kepengurusan air akan diserahkan kepada Bumdes. “Mungkin akhir tahun atau pertengahan Agustus ini akan dibawah naungan Bumdes. Artinya di dusun-dusun ini gak akan ada pengurus mungkin hanya akan diperlukan tenaga teknik gitu, cukup di desa aja induknya dan di bawah naungan bumdes,” jelas Wirawan.
Hingga saat ini, Wirawan menjelaskan masih ada masyarakat yang mengeluh terkait distribusi air. Hal ini disebabkan oleh kurangnya debit air akibat kebocoran pipa. Ia berharap setelah adanya pergantian pipa masalah perairan ini setidaknya berkurang dan debit air akan kembali normal.
Krisis Air di Desa Cempaga dan Sidetapa
Perbedaan topografi tiap daerah turut menjadi pemicu sulitnya masyarakat mengakses air bersih. Hal ini juga dirasakan oleh Desa Cempaga dan Sidetapa yang merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian berkisar 450-700 meter diatas permukaan air laut. Dengan topografi desa yang tinggi, menyebabkan akses air bersih menuju desa ini menjadi sulit. Hal ini juga diungkapkan oleh Kelian Dinas Banjar Dajan Pura, Desa Sidatapa, Komang Kanot. “Karena lokasi, ketinggian tempat sumber air dengan disini itu ketinggian, itu butuh biaya, untuk pengangkatan itu butuh biaya,” tuturnya.
Pernyataan serupa juga dilontarkan oleh Ketut Sandi, sekretaris desa Cempaga, mengenai zona wilayah yang berpengaruh pada akses air. “Kalau terjadinya kekeringan itu kan sudah jelas karena zona wilayah. Karena zona seperti contoh, di daerah saya kebetulan pusat airnya itu jauh – jauh, Bu, ada tempat air tapi tempatnya terlalu susah untuk kita ambil. Yang kedua, karena zona wilayah kita dekat pantai, setelah dekat pantai daerah kita pegunungan. Karena kalau sistem kekeringan itukan tergantung zona wilayah,” pungkasnya.
Komang Kanot menuturkan, Desa Sidetapa memiliki tiga sumber mata air yang berasal dari Pejanan (red – nama sumber mata air), yang merupakan sumber air milik desa Cempaga, serta Mampah dan Air Anget (red – sama seperti Pejanan). Kanot menjelaskan air Mampah merupakan sumber air yang memiliki debit cukup besar yang dimiliki oleh desa Sidetapa, tetapi dengan letak sumber air yang berada di bawah serta lintasannya yang terjal menyebabkan akses terhadap air menjadi sulit.
Terkait dampak kekeringan, Kepala Desa Sidetapa, Ketut Budiasa, berkisah Sidetapa pernah mengalami kekeringan panjang diantara tahun 90an sampai 2001. Kekeringan terparah menurut Ketut Budiasa adalah di tahun 2001. “Sidetapa pernah terjadi kekeringan panjang kalau ga salah di tahun 90 dan 2001 bahkan kekeringannya menyentuh 8 bulan, bahkan kami sebelum menjadi perbekel, di tahun 2001 banyak sekali cengkeh yang mati, uang masyarakat banyak digunakan untuk investasi air. 2001 paling parah,” pungkasnya. Akibat akses air yang sulit, mata pencarian masyarakat yang bergerak di bidang pertanian dan peternakan juga menjadi terpengaruh.

Serupa dengan Sidetapa, Cempaga juga mengalami kondisi demikian yang berdampak bagi sumber penghidupan masyarakat. “Untuk pertanian sendiri berdampak pada sumber air pada pengairan untuk pertanian. Jadi dampaknya itu yang pertama yaitu susah mendapatkan air, selain itu pemenuhan kebutuhan rumah tangga akan air juga sulit. Jika mengambil air di sumber air yang jauh tentunya jikalau berjalan akan lelah dan jika menggunakan kendaraan akan memunculkan biaya tambahan. Selain itu akan berdampak juga di pertanian. Pohon-pohon yang kami tanam itu jika kekurangan air tentu akan mati semua,” tutur Ketut Sandi.
Masyarakat desa Sidetapa dan Cempaga juga mesti membeli air bersih dengan harga yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ketut Budiasa menjelaskan di tahun 2018 masyarakat Sidetapa membeli air bersih seharga 125.000 per meter kubik. “Pada saat itu saya baru diangkat awal 2018, saya mempunyai program juga, karena disini sudah lama sekali airnya tidak ada, itu bahkan harga airnya menembus harga 125 ribu per meter kubik,” pungkasnya. Kondisi pelik ini juga dialami oleh desa tetangganya, Cempaga. Ketut Sandi menjelaskan bahwa harga air bersih yang digunakan jauh dari kata ekonomis. “Kalau kita beli harganya lumayan karena disini per tower yang 1300 itu dijual 120. Bayangkan kalau kami satu minggu memakai itu, satu tower kan sudah satu bulanan kami bayar 500an air,“ tambah Ketut Sandi.

Program Dwidesa Cempaga dan Sidetapa, Titik Tengah Krisis Air
Ketut Budiasa menuturkan latar belakang program Dwidesa antara Cempaga dan Sidetapa tidak terlepas dari sejarah panjang dan karakteristik desa yang sama yaitu termasuk ke dalam Desa Bali Aga. Berdasarkan penuturan Ketut Budiasa, program dwidesa tersebut berawal dari penggabungan bantuan yang diterima. “Oh kalau pencetus itu kan kebetulan karena kami dapat dana pertama dari masing-masing desa dulu yang jelas desanya punya air masing-masing perbekel itu udah ngotot untuk mendatangkan air di desanya masing-masing,” pungkas Ketut Budiasa. Dana desa yang dikerahkan dalam penanganan masalah air ini, nyatanya tidak memenuhi standar. “Kebetulan dana kami tidak cukup, dibantu oleh kabupaten bahwa bisa mengambil air tapi dana ini harus digabungkan. Secara otomatis mau tidak mau kami harus menggabungkan diri berdua untuk mendapatkan air agar sampai di desa kami. dua desa sudah sepakat karena kami berangan-angan sehingga kami gabung untuk pengambilan air di desa kami,” tambahnya.

Saat itu dana yang diberikan hanya cukup untuk pembuatan cubang (red- tempat penampungan air) sejumlah 3 buah dan pipanisasi mesin. “Sekarang kami bekerja di tahun 2018 itu dengan membuat jaring-jaringan ke rumah, itu airnya belum mengalir dulu tahun 2018, jaringan ke rumah berupa pipanisasi, dan dilanjutkan lagi di tahun 2019, untuk pengamprahan listriknya, karena pada saat itu medan yang sangat berat, disamping itu luas wilayah itu tidak ada jaringan, nah dan pada saat itu juga kami sudah sangat berusaha sekali, akhirnya di kabupaten juga dikasi bantuan, bantuan berupa pemasangan pipa ke rumah-rumah. Nah pada saat itu di akhir bulan Desember, kami baru bisa memasukkan air ke desa,” ungkap Budiasa. Proses pendistribusian air dalam program Dwidesa dilakukan dengan mendistribusikannya melalui 3 bak penampungan. “Dari pejanan itu pertama dari pusat air, kami lempar ke bak pertama kemudian diteruskan ke bak kedua dan kemudian ke bak ketiga. Bak 1 dan Bak 2 menggunakan mesin. Dari bak 3 kita pecah ke masing masing desa. Ada pipa yang ke sidetapa dan ada yang ke cempaga. Dan untuk pengolahan nya tentu kilometer yang besar. Untuk nyinkron dananya diketahui dari per kilometer kita. Kalo bahasa bagusnya kerjasama antar desa,” ungkapnya Budiasa.
Sepak Terjang Program Dwidesa
Program yang telah berjalan selama 6 tahun ini tentunya masih memiliki kekurangan maupun kendala di dalamnya, hal tersebut diakui oleh Ketut Sandi pada wawancaranya bersama tim konvergensi media “Oh banyak sekali kendala. Terutama kendalanya medannya yang gitu tinggi. Kedua, kami mengumpulkan dana mati-matian membutuhkan dana yang besar. Yang ketiga, proses – proses pemasangannya juga lumayan ribet karena medannya yang terlalu terjal sehingga pemasangannya membutuhkan waktu yang lama. Kami memasang pipa induk itu melibatkan masyarakat untuk gotong royong dan tentunya masyarakat kami letih, itu kendalanya. Yang keempat, terakhir mungkin kendalanya kelistrikan kami waktu itu mengalami kendala, di dalam di kelistrikan karena kalau mesin yang kami pasang 2 itu, mesinnya kalau ngambil listrik dari kilometer yang udah ada disana gabisa nyala karena kebutuhan listriknya cukup besar secara otomatis kami memasang gardu sendiri tiang kesana sendiri untuk mendapatkan listrik satu gardu itu untuk mesin kami,” imbuh Ketut Sandi.
Sejalan dengan Ketut Sandi, Ketut Budiasa juga menyampaikan kendala yang sama. “Nah itu kami sudah membuat jaringan itu baru kami back up 85%, lagi 15%nya belum karena masih kekurangan dana, apalagi di masa Pandemi covid ini, kami tidak bisa ngomong apa-apa lagi karena dana yang ada di desa itu tercurahkan ke BLT dan penanganan covidnya itu. Kami hanya bergerak sedikit sekali,” pungkasnya.
Manajemen Pengelolaan Air Dwidesa
Beberapa tahun mengalami krisis air dan kurangnya tata kelola, kini manajemen pengelolaan air di desa Cempaga dan Sidetapa sendiri dikelola oleh Bumdes. “Kebetulan pengelolaannya, dana kebetulan dari desa yang menggunakan dana APBD dan dibantu oleh kabupaten berupa BKK. Itu kami Kelola di desa dan sekarang yang melaksanakan, yang mengelola, kalau pelaksanaan pembangunan itu desa yang membangun. Kalau sekarang untuk pelaksanaan yang sudah jadi, itu dikelola oleh Bumdes diluar PDAM,” jelas Ketut Sandi. Saat ini masyarakat mendatangi Bumdes tanpa memakai ‘diesel’ yang menyebabkan air yang diambil kotor. Hal ini juga menurut Ketut Budiasa lebih simple dibandingkan dengan sebelumnya. “Kalau sekarang masyarakatnya tinggal datang ke Bumdes , datang ke desa bawa uang 1 juta berapa dia menghabiskan air bayar segitu, kan lebih simple . Sekarang dengan datang ke bumdes kita tidak kotor lagi, kalau dulu make diesel kan airnya kotor sekali, tidak bersih. Kalau skrg kan airnya bersih. dengan bawa uang satu juta, berapa dia menghabiskan air bayar segitu , mana lebih simple?” tutur Ketut Budiasa sembari tersenyum.
Program dwidesa nyatanya kini telah mendulang hasil. Masyarakat di desa Sidetapa sudah bisa membeli air seharga 15.000 per meter kubik. “Mungkin masyarakatnya masih merasakan bahwa air itu mahal sekali karena 15 ribu per meter kubik. Itu mudah-mudahan kedepannya dengan, apa namanya, lagi 1 atau 2 tahun lagi bisa 10 ribu per meter kubik, bertahap,” harap Ketut Budiasa.
Efektivitas Bantuan
Bantuan yang datang ke desa dengan tingkat krisis air yang tinggi ini tentunya mendapatkan titik terang dalam menghadapi permasalahannya. Hal ini disampaikan langsung oleh Budiasa yang turut merasakan bagaimana susahnya akses air dari dahulu hingga mendapatkan bantuan saat ini. “Masyarakat sangat berterimakasih sebenarnya, dari dia dulu mencari air, mengidam-idamkan air dari kakek termasuk neneknya mengambil air ke sungai dengan jarak 2 km mengambil waktu besar, nah sekarang dipermudah dengan mengambil keran saja, dia banyak berterima kasih pada pemerintah desa. Terus terang saja dulu masyarakat mau bertani seperti menanam cabe itu sulit sekali, bahkan MCK (red – tempat mandi seadanya), karena kami hitung baru beberapa yang punya mck, kalau sekarang sudah ratusan yang punya mck. kalau kami dulu waktu kecil mandi paling ke sungai itu jauh 2 km, kalau sekolah dulu kami itu paling cuci muka 2 jari. kalau sekarang wajib pagi mandi, sore mandi itu dampak yang dirasakan masyarakat selain pertanian, juga menunjang kebersihannya,” imbuh Budiasa dengan penuh syukur.
Selain rasa syukur, Budiasa juga mengungkapkan bahwa persentase perbaikan krisis air di desa juga diharapkan meningkat. “Terakhir sekali dah di bulan desember, sehingga di tahun 2020, sudah baru kami realisasikan airnya itu baru 35%. Itu targetnya. Bahkan kami juga bekerja di tahun 2021, ada yang namanya penambahan pipa dan cubangnya sampai di tahun 2022, itu baru kami udah realisasikan airnya itu baru 85%.” tutup Budiasa.
Sedangkan Ketut Sandi menuturkan kebutuhan air masyarakat di Desa Cempaga sejak program Dwidesa sudah berjalan mencapai persentase 70%, sedangkan 30% masih diperlukan biaya untuk pembelian pipa ke masing-masing rumah warga.
Permasalahan air bersih bukan hanya masalah bagi mereka yang merasakan dampaknya, tapi juga seluruh pihak turut memegang andil dalam mengatasi permasalahan air bersih. Sebab ini adalah masalah yang berpangkal dari multifaktor alam dan manusia sehingga membutuhkan kerjasama seluruh stakeholder. Begitupula masyarakat seyogyanya mendapatkan akses atas air secara layak sebagai kebutuhan mendasarnya. Bukankah begitu?
Penulis : Ayu, Dayu
Penyunting : Gangga