Sampah seolah menjadi permasalahan klasik di Bali. Hadirnya begitu lekat dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Memang, eksistensinya hanya sebatas barang buangan, tetapi dampaknya yang kian berlanjut dapat bertumbuh menjadi suatu bumerang baru. Pemandangan “gundukan sampah” disertai dengan bau busuk yang mengudara menjadi cikal bakal dibentuknya Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Reduce-Reuse-Recycle (TPS3R) yang menjadi muara berakhirnya keterpurukan akibat krisis sampah yang kronis.
Bhaktiseraga, Buleleng, menjadi salah satu desa yang mendapat penghargaan Bhakti Pertiwi Bali Nugraha dari Gubernur Bali Wayan Koster karena dinilai sukses melaksanakan pengelolaan sampah berbasis sumber, sehingga pengelolaan sampah dilakukan di desa itu sendiri dan tidak perlu lagi mengirimkannya ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Dengan penghargaan itu, Desa Bhaktiseraga layak dianggap sebagai “contoh” oleh desa-desa lain.
Mulanya, gelar desa percontohan tak serta merta disematkan pada desa Bhaktiseraga. Permasalahan sampah telah menjadi kemelut akut di desa tersebut selama bertahun-tahun. Dahulu, Bhaktiseraga masih mengirim sampah ke TPA dengan bantuan Dinas Lingkungan Hidup yang memfasilitasi truk pengangkut. Tempat transisinya terletak di pinggir jalan, tepat di depan SDN 1 Bhaktiseraga
Lingkungan yang semestinya bersih dan nyaman karena sekitaran area tersebut merupakan laboratorium peradaban demi terwujudnya cita-cita nasional, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi harus terganggu dengan bau sampah yang tidak enak dicium. Mengingat tempat itu adalah jalan umum maka lumrah jika yang membuang sampah bukan hanya warga lokal, melainkan juga mereka yang tinggal di luar teritorial Bhaktiseraga. Beberapa diantaranya bahkan tidak meluangkan waktu untuk sekadar turun dan membuang dengan baik melainkan langsung melemparnya dari kendaraan masing-masing. Tentunya hal itu menyebabkan sampah berhamburan ke segala arah. Banyak protes berdatangan akibat kondisi yang semakin parah tiap harinya. Bukan hanya merusak pemandangan tapi bau busuk yang menyengat sepanjang hari sungguh mengganggu konsentrasi belajar. Atas dasar itu, akhirnya tempat transisi dialihkan ke lahan kosong di pertigaan jalan.
Meskipun telah dipindahkan nyatanya perkara sampah ini tak jua teratasi. Problematikanya masih sama. Ibarat kata, ini hanya mengangkut masalah ke tempat yang berbeda tanpa resolusi. Sampah tetap menggunung dan berserakan. Entah karena tertiup angin, dihamburkan anjing liar yang sedang mencari makan, atau memang jumlahnya yang melebihi kapasitas. Tiada kata indah yang dapat mencerminkan keadaan saat itu. Hanya jorok, bau, pun kotor yang terlintas dalam benak, dan menjadi sebuah realitas bahwa kini bumi tak lagi asri. Semua bermula dari ulah manusia yang memperkosa ibu pertiwi. Parahnya, timbunan limbah itu juga menjadi salah satu faktor terjadinya banjir yang kerap melanda.
Rasa jijik tumbuh dalam sanubari masyarakat melihat betapa kumuhnya lingkungan mereka, tetapi hanya segelintir orang yang bergerak untuk menanggulangi persoalan tersebut. Pada akhirnya, sejak Gusti Putu Armada menjabat sebagai Kepala Desa Bhaktiseraga masalah ini perlahan tertangani. Mulailah revolusi baru bagi Desa Bhaktiseraga yang telah dilanda penyakit sampah tahunan. Demi terwujudnya sebuah reformasi dalam sistematika pengelolaan sampah, dilakukanlah koordinasi dengan pemerintah pusat dengan mengajukan proposal pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Republik Indonesia tahun 2018.
Perjuangannya tidaklah semudah itu, sempat tertahan selama setahun nyatanya bukan alasan bagi mereka untuk goyah, sekali lagi pihak desa mencoba peruntungan pada 2019 dengan mengirimkan proposal lainnya. Alhasil 2020 menjadi tahun manis bagi Bhaktiseraga, Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu dengan sistem reduce, reuse, dan recycle (TPS3R) dibangun bak simbolisasi atas kerja keras mereka selama ini dengan dukungan Kementerian PUPR RI melalui Balai Prasarana Permukiman Wilayah (BPPW) Provinsi Bali dan diresmikan oleh Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana pada 19 Oktober di tahun yang sama.
Pembangunan ini mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat mengingat sejak awal mereka adalah pihak yang paling terganggu dengan terbengkalainya sampah di pembuangan terdahulu. Dalam pengelolaannya tidak hanya mengandalkan petugas TPST3R, tetapi juga menggandeng masyarakat desa untuk turut andil didalamnya. Hal itu sejalan dengan basis pengelolaan sampah yang dimulai dari hulu seperti yang tertuang dengan Peraturan Gubernur No. 47 tahun 2019 sesuai visi misi Pemerintah Provinsi Nangun Sat Kerthi Loka Bali, terutama merawat kesucian lingkungan Bali.
Di balik eloknya keberhasilan selalu ada setitik gelap yang membingkai, misalnya tantangan. Tantangan selalu menjadi bagian yang tak lepas dari perjalanan. Begitu halnya dengan proses pengembangan TPS3R ini. Mengedukasi sekaligus menyosialisasikan kepada masyarakat untuk ikut mengambil tanggung jawab dalam memilah sampah mereka secara mandiri merupakan salah satu tantangan eksternal yang cukup sulit dilalui. Waktu pun dapat berwujud sebagai kendala. Belum lagi rasa acuh yang masih melekat dalam diri sebagian orang yang menganggap remeh penyortiran sampah. Bagi mereka, sampah hanyalah hal yang akan terbuang pada akhirnya jadi sia-sia jika memberi perhatian lebih pada kotoran. Meskipun begitu, gelora kepedulian pengelola dan masyarakat lainnya mengalahkan segala hambatan tersebut. Bermodalkan tekad kuat mereka bahu membahu tetap menggerakkan inovasi pembangkit desa yang menjelma solusi atas kemelut sampah selama ini.
Berkontemplasi dengan sistematika pengelolaan sampah di desa Bhaktiseraga, semenjak kepemimpinan Bapak Gusti Putu Armada terbentuk unit pengelolaan sampah di dalam Badan Usaha Milik Desa. Unit pengelolaan sampah yang ada di desa Bhaktiseraga mencakup bank sampah dan TPS3R. Bank sampah merupakan tempat masyarakat Bhaktiseraga untuk mengumpulkan sampah plastik. Bank sampah sendiri memiliki sebuah esensi yang cukup dalam yaitu untuk mengedukasi masyarakat Bhaktiseraga bahwa sampah yang mereka hasilkan menjadi keuntungan tersendiri bagi mereka. Saat ini ada sekitar 140 orang yang sudah berlangganan bank sampah. Selain itu unit pengelolaan sampah memiliki 13 anggota pemungut sampah yang mana 13 anggota pemungut sampah tersebut memiliki matriks pemungutan sampah masing-masing. Setiap dua hari sekali mereka secara bergilir memungut sampah sesuai dengan matriks pemungutan sampah yang mereka miliki. Terdapat dua sistematika pemungutan sampah, ada yang dijemput oleh 13 anggota pemungut sampah dan ada masyarakat sendiri yang memilah dan membawa sampah mereka ke bank sampah. Ketika ada masyarakat yang membawa sampah mereka ke bank sampah, petugas bank sampah langsung menimbang dan mencatat. Setelah sampah plastik terkumpul di bank sampah selanjutnya dijual ke pengepul plastik (rumah plastik). Di rumah plastik sampah-sampah plastik dilakukan proses pencacahan. Sedangkan TPS3R memiliki titik fokus kepada pengolahan sampah organik yang mana di TPS3R sampah organik akan diolah dijadikan produk pupuk organik. Selinier dengan Perpres 104 tahun 2021 perangkat desa diimbau membuat ketahanan pangan dan peternakan, produksi pupuk dari sampah organik juga didukung oleh kohe dari peternakan kambing komunal yang dimiliki desa Bhaktiseraga.
Keseluruhan sistematika pengelolaan sampah di Bhaktiseraga dengan unit pengelolaan sampah TPS3R dan bank sampah secara tidak langsung telah menghantarkan Bhaktiseraga memasuki rantai keberlanjutan Ekonomi Sirkular (konsep yang menjaga agar sumber daya dapat digunakan dan dimanfaatkan selama mungkin, menggali nilai maksimum dari penggunaannya, kemudian memulihkan dan meregenerasi produk dan bahan pada setiap akhir umur produk -red). Memang bukan suatu konsep yang mudah untuk dicapai, tetapi bukan berarti itu tidak mungkin.
“Ekonomi sirkular, ya bisa dikatakan seperti itu ya, artinya berputarnya disini saja. Memang kami di BUMDES sedang mengembangkan yang seperti itu, artinya apa, kami pengen masyarakat itu uangnya ngga kemana-mana. Jadi kami mengembangkan potensi yang ada di desa sembari mengingatkan juga kepada masyarakat bahwa kita bangun desa dari masyarakat. Ndak usah dengan yang lain, jadi perekonomian yang bergulirnya disini aja gitu, jadi yang beli-beli juga masyarakat disini aja ya sama-sama jalan lah, berkembangnya desa kan dari kita juga sendiri, kalau bukan kita siapa lagi,” tutur Yudha Pratama selaku Ketua Bank Sampah Bhaktiseraga.
Walaupun telah merasakan sinyal positif dari pengelolaan sampah yang dilakukan selama ini, Bhaktiseraga tak henti-hentinya bergelut dan berpacu untuk memaksimalkan pengelolaan sampah yang dilakukan, menggencarkan sosialisasi yang dilakukan sehingga dapat meningkatkan persentase pemilahan sampah di Bhaktiseraga. “Pengembangan kami mungkin ke depan TPS3R dengan teman-teman akan meningkatkan sosialisasi lagi karena kami kan tadi baru 70-80%, kami astungkara bisa sampai 100% untuk pemilahan sampah di sumber, karena itu yang menjadi titik poinnya untuk TPS3R,” ungkap Putu Ariawan selaku Ketua TPS3R Bhaktiseraga.
Terlebih lagi untuk mendukung hal tersebut, sempat disebutkan bahwa Baktiseraga tengah menyiapkan program zero waste di tahun 2023 mendatang. Namun, di balik program tersebut, memang tidak menampik kemungkinan bahwa ada saja halang rintangnya, sempat diakui bahwa zero waste ini sesungguhnya merupakan rencana program tahun 2022, namun tiba-tiba seperti petir di siang bolong, terdapat Perpres No 104 Tahun 2021 terkait dengan penggunaan anggaran yang dibatasi. “Kita ngga bisa gerak, sekian persen untuk ketahanan pangan, sekian persen untuk covid, sekian persen untuk BLT, kita ngga bisa punya dana apa-apa, karena yang diurus desa kan banyak, pengembangan program itu hanya beberapa persennya saja, mudah-mudahan dengan Covid ini sudah melandai, semuanya kembali normal, ya bisa berkembang lagi,” harap Ariawan.
“Astungkara mohon doanya, semoga Bhakti Seraga bisa memberikan yang terbaik, bisa menularkan apa yang dilakukan pada masyarakat desa-desa yang lain. seperti apa yang kita lakukan, nanti membias lah semua ke desa-desa lain,” tutup Ariawan dengan lugas.
Penulis: Ade, Kanya
Penyunting: Gung Vita