Judul Buku : Garis Waktu
Penulis : Fiersa Besari
Penerbit : mediakita
Tahun Terbit : 2016
ISBN : 978-979-794-525-1
Pada sebuah garis waktu yang merangkak maju, akan ada saatnya kau bertemu dengan satu orang yang mengubah hidupmu untuk selamanya.
Pada sebuah garis waktu yang merangkak maju, akan ada saatnya kau terluka dan kehilangan pegangan.
Pada sebuah garis waktu yang merangkak maju, akan ada saatnya kau ingin melompat mundur pada titik-titik kenangan tertentu.
Maka, ikhlaskan saja kalau begitu. Karena sesungguhnya, yang lebih menyakitkan dari melepaskan sesuatu adalah berpegangan pada sesuatu yang menyakitimu secara perlahan.
Begitulah kutipan singkat yang tertulis dalam buku Karangan Fiersa Besari. Bukunya merupakan rangkuman tulisan dalam kurun waktu 2012-2016, baik yang dibuat sepulang penjelajahan, maupun selama masa pengasingannya di berbagai tempat eksotis di negeri ini. Yep! Setelah merilis album musik bertajuk “Tempat Aku Pulang” pada tahun 2013, Bung (red-sapaan akrab Fiersa Besari) akhirnya memutuskan untuk berkelana keliling Indonesia selama tujuh bulan untuk mencari jati diri.
Sekembalinya Bung di penghujung tahun 2013, ia terbesit untuk mengumpulkan tulisannya di media sosial menjadi rangkaian cerita yang dapat dinikmati sebagai satu-kesatuan. Hingga, kata “Garis Waktu” terpilih sebagai judul karena mampu merepresentasikan titik-titik peristiwa penting sang ‘Aku’ dengan ‘Kau’.
Bercerita tentang masa perkenalan, kasmaran, patah hati, hingga kenangan. Bung mengemas Garis Waktu dengan apik secara kronologis berdasarkan bulan dan tahun. Ada sekitar 46 surat yang memuat curahan kegelisahan, pertanyaan, perasaan, dan kemarahan ‘Aku’ pada seseorang yang telah membuatnya jatuh hati sekaligus patah hati. Dimulai dari April tahun pertama di saat kota sedang dilanda gerimis tokoh ‘Aku’ bertemu dengan ‘Kau’. Kemudian ‘Aku’ menyadari bahwa hatinya sudah ada pada genggaman ‘Kau’, menjadi hak milik untuk dirawat atau mungkin dihancurnya.
“Sekarang yang terpenting adalah mengatur siasat agar posisi kita berimbang. Aku pun harus menggenggam hatimu. Karena entah kau sejauh langit, atau sedekat langit-langit, bagiku kau bintang yang aku puja setengah mati.” (Hlm. 17)
“Di antara reruntuhan kenangan yang membatu, wangimu adalah sebuah mesin waktu.” (Hlm. 39)
Saat pertama kali membaca buku ini akan tergambarkan bagaimana Bung mengisahkan pertemuan pertama mereka, lalu fase kehilangan pegangan, dan berujung pada keinginan untuk kembali pada titik tertentu. Seperti halnya tokoh ‘Kau’ yang memorak-porandakan jagat raya ‘Aku’, maka seperti itulah Bung memporak-porandakan hati pembaca. Setiap rentetan aksara yang ditulisnya, setiap kalimat yang diuntainya, seolah begitu mengerti dan mewakili pembaca yang sedang jatuh cinta, tersakiti, ataupun mereka yang telah mampu bangkit dari hal-hal pahit di hidupnya. Apa yang dialami ‘Aku’ memang sering dialami orang lain. Namun, bagaimana ia menghadapi makhluk kecil bernama hati atau cara ia menyembuhkan luka, tidaklah sama.
Sayangnya, alur maju dalam cerita membuat pembaca mungkin akan merasa bosan. Bagi beberapa orang yang sudah pernah membaca kutipan-kutipan Bung dalam laman sosial medianya juga mungkin akan merasa ceritanya kurang greget karena terkesan repetisi yang membosankan. Terlepas dari semua itu, Garis Waktu benar-benar membawa pembaca menyelami proses sekaligus menjadi saksi penantian ‘Aku’, patah hati ‘Kau’, saat hati keduanya melebur berlanjut pada dimensi setelah kedatangan. Atau ketika genap yang semakin ganjil, bilur yang membias hingga tiba pada akhirnya yang kalau diceritakan akan menjadi spoiler.
Ditambah dengan potret-potret monokrom pada setiap babnya, sukses mempercantik buku dan meninggalkan kesan sederhana tetapi sarat akan makna. Ada satu potret yang paling indah dengan penggalan yang membekas di ingatan, katanya kadang seseorang yang tepat tak selalu datang tepat waktu. Mungkin ia datang setelah kau lelah disakiti oleh seseorang yang tidak tahu cara menghargai.
Penulis: Lia Ratna
Penyunting: Minati