Konflik antara Rusia dan Ukraina belakangan ini telah memaksa banyak orang untuk ikut terlibat, setidaknya mengenai sebab mengapa kedua negara yang bertetangga dapat memicu konflik berkepanjangan. Rusia selaku aktor utama dari konflik ini, mendapat kecaman dari sebagian besar tokoh dan masyarakat dunia karena dianggap telah mengganggu stabilitas dunia dari berbagai sisi, tidak terkecuali sepak bola. Imbasnya, Rusia harus menerima berbagai sanksi dari otoritas tertinggi sepak bola dunia beserta Eropa, FIFA dan UEFA.
Sejak pertama kali Rusia menginvasi Ukraina, berbagai macam sanksi telah dijatuhkan kepada Rusia, tidak terkecuali sepakbola. Lewat federasi sepak bolanya, Rusia mendapat sanksi dari FIFA dan UEFA. Sanksi tersebut berupa larangan bermain bagi seluruh elemen sepak bola Rusia di level internasional baik tim nasional maupun klub.
“FIFA dan UEFA hari ini telah memutuskan bersama bahwa semua tim Rusia, baik tim nasional maupun klub, akan ditangguhkan dari partisipasi dalam kompetisi FIFA dan UEFA hingga pemberitahuan lebih lanjut,” tulis keterangan resmi kedua federasi melalui situs resmi UEFA pada Selasa, 1 Maret 2022.
Tak hanya itu, orang-orang yang dianggap memiliki hubungan khusus dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin juga turut kena dampaknya. Meski tak menyatakan secara langsung, otoritas sepak bola Inggris berupaya mendesak orang Rusia yang memiliki pengaruh besar di sepak bola Inggris untuk pergi sebagai bentuk pemutusan hubungan dengan Rusia. Roman Abramovich, pemilik klub Chelsea F.C, terpaksa harus menjual kepemilikannya terhadap klub Liga Premier Inggris yang telah ia kendalikan selama hampir 19 tahun.
Bagaimanapun, perang akan selalu mendapat kecaman dari warga dunia karena akan menciptakan ketidakstabilan dalam berbagai sisi. Akibat dari sikap politik Rusia, begitu banyak konsekuensi yang harus ditanggung, seperti halnya mereka yang tidak punya sikap kesamaan politik dengan negaranya. Disisi yang berseberangan, berbagai dukungan dan simpati terus mengalir kepada Ukraina karena dianggap sebagai korban dalam konfliknya dengan Rusia. Semua elemen sepak bola dari mulai media, panitia pertandingan, pemain, hingga pandit saling mengerahkan solidaritasnya untuk menyeru Rusia agar memberhentikan agresi militernya di Ukraina.
Sikap FIFA terhadap federasi sepak bola Rusia ini jelas mengindikasikan bahwa mereka yang justru telah membawa unsur politik dalam sepakbola. Artinya, FIFA seakan “menjilat ludahnya sendiri”.
Pada 2017, serangan Israel kepada Palestina tidak membuat FIFA beserta organisasi olahraga internasional lain meminta pertanggungjawaban Israel atas kejahatannya kepada Palestina. Padahal, dalam aneksasinya Israel menargetkan stadion di Palestina, membatasi perjalanan atlet, membatalkan acara olahraga, hingga melakukan penangkapan bahkan pembunuhan pesepakbola Palestina. Sikap FIFA kala itu menyatakan bahwa konflik Israel-Palestina tidak berkaitan dengan sepak bola.
“Dewan FIFA mengakui bahwa situasi saat ini, untuk alasan yang tidak ada hubungannya dengan sepak bola, ditandai dengan kompleksitas dan kepekaan yang luar biasa oleh keadaan de facto tertentu yang tidak dapat diabaikan atau diubah secara sepihak oleh organisasi non-pemerintah seperti FIFA,” tulis pernyataan resmi FIFA yang dikeluarkan pada 27 Oktober 2017.
Perang sejatinya adalah buah daripada sikap politik negara yang saling bertumbukan, sedangkan sepak bola hanyalah sebuah olahraga yang seharusnya dapat dinikmati semua orang tanpa perlu menjelaskan pandangan politiknya. Jika sejak awal FIFA bersikap tidak memasukkan politik, itu artinya elemen sepak bola Rusia tidak bisa menerima sanksi. Karena sebagai pencinta sekaligus penikmat sepak bola, FIFA belum bersikap adil dan mengayomi sebagaimana mestinya. FIFA yang sejak awal meramaikan slogan “Jangan Bawa Politik ke Sepak Bola” justru seolah membalikkan kalimatnya sendiri. Jika ditelaah, jauh sebelum konflik Rusia-Ukraina, ada konflik antara Israel-Palestina yang telah terjadi menahun. Lantas, jika FIFA membawa politik ke sepak bola demi alasan kemanusiaan, apakah konflik Israel-Palestina tidak begitu menarik minat FIFA untuk mengkampanyekan kedamaian?
Penulis : Wahyu Prio Budi
Editor : May Danawati