Judul: And Then There Were None
Pengarang: Agatha Christie
Diterbitkan pertama kali : Maret 1984
Ketebalan Buku: 291 halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
“Ada sesuatu yang gaib pada sebuah pulau?bahkan kata “pulau” itu sendiri memberikan arti yang fantastis. Engkau terpisah dari dunia?sebuah pulau adalah suatu dunia tersendiri. Mungkin suatu dunia tempat engkau tak akan pernah kembali.”
Buku ini mengisahkan tentang 10 orang dengan latar belakang yang berbeda diundang ke sebuah rumah mewah yang ada di Pulau Negro untuk berlibur. Tiap orang menerima undangannya dengan cara yang berbeda. Tak satupun mengenal siapa yang mengundang, yang mereka tahu hanya undangan itu ditujukan untuk berlibur di sebuah pulau dengan bangunan yang megah. Sesampainya di sana mereka disuguhkan dengan keindahan pemandangan pulau lengkap dengan rumah modern dan segala fasilitasnya. Anehnya, di setiap kamar terselip sajak tentang sepuluh anak Negro.
“Sepuluh anak negro makan malam;
Seorang tersedak, tinggal sembilan.
Sembilan anak Negro bergadang jauh malam;
Seorang ketiduran, tinggal delapan.
Delapan anak Negro berkeliling Devon;
Seorang anak tak mau pulang, tinggal tujuh.
Tujuh anak Negro mengapak kayu;
Seorang terkapak, tinggal enam.
Enam anak Negro bermain sarang lebah;
Seorang tersengat, tinggal lima.
Lima anak Negro ke pengadilan;
Seorang ke kedutaan, tinggal empat.
Empat anak Negro pergi ke laut;
Seorang dimakan ikan herring merah, tinggal tiga.
Tiga anak Negro pergi ke kebun binatang;
Seorang diterkam beruang, tinggal dua.
Dua anak Negro duduk berjemur;
Seorang hangus, tinggal satu.
Seorang anak Negro yang sendirian;
Menggantung diri, habislah sudah.”
Mereka tak mengambil pusing hal tersebut dan tetap menikmati liburannya. Acara semula berjalan sesuai dengan ekspetasi. Sampai saat makan malam dimulai, tiba-tiba terdengar suara piringan hitam yang mengancam setiap orang atas tuduhan pembunuhan. Lantas seisi ruangan membisu. Mencoba untuk tenang, mereka berunding atas apa maksud dari kepingan hitam tersebut. Tak lama, mereka dikagetkan atas salah satu pemuda yang terjatuh usai tersedak minuman setelah makan malam. Pemeriksaan dilakukan, namun hasilnya membuat bulu kuduk berdiri. Pasalnya, pemuda yang gagah berani itu dinyatakan tewas. Anehnya, hal itu terjadi seakan berbarengan dengan peristiwa hilangnya salah satu boneka Negro yang mulanya berjumlah 10 di ruangan.
Menganggap hanya kebetulan, mereka memutuskan untuk membincangkannya esok hari sambil menunggu kedatangan kapal yang akan menjemput mereka. Keesokannya, korban lain ditemukan tewas dan sekali lagi boneka negro itu menghilang tak berjejak. Sontak suasana diliputi ketakutan dan teror. Kapal juga tak kunjung datang untuk membawa mereka pulang.
Mereka sadar bahwa semua ini adalah jebakan dan mereka mungkin saja menjadi korban berikutnya. Mereka mulai berseteru. Berbagai macam pendapat diutarakan. Awalnya mereka percaya bahwa ada orang lain yang bersemayam di pulau tersebut menunggu akan saat yang tepat untuk membunuh. Namun setelah berbagai investigasi, mereka tahu bahwa hanya mereka bersepuluh yang ada di pulau tersebut.
Sadar bahwa pembunuhnya adalah salah satu di antara mereka, kecurigaan pun tumbuh. Saling mengawasi menjadi satu-satunya cara mereka dapat bertahan hidup. Kendati demikian, tetap saja satu persatu korban berjatuhan dengan motif kematian yang berbeda satu sama lain. Sepanjang waktu berjalan, akhirnya mereka sadar akan satu hal, yaitu setiap pembunuhan itu dilakukan secara berpola dengan setiap pembunuhan selalu berjalan tepat sesuai sajak 10 anak negro yang menghilang satu demi satu. Mereka tahu ada seorang pembunuh cerdas di rumah itu, menanti para korbannya lemah sementara mereka tidak bisa keluar atau melarikan diri dari pulau itu. Sang pembunuh tidak membunuh secara acak, namun mengikuti pola yang ada dalam sajak sepuluh anak Negro. Satu per satu korban kembali berjatuhan.
Melalui novel ini, Agatha Christie seakan mengajak pembacanya untuk lebih peka terhadap segala macam peristiwa yang terjadi, mulai dari sajak anak Negro yang tertera di setiap kamar dari pengunjung pulau sampai peristiwa hilangnya boneka anak Negro satu persatu yang seakan-akan menjadi penanda dari hidup setiap pengunjung pulau. Dengan motif pembunuhan yang seakan setiap peristiwanya selalu bertepatan dengan baris sajak anak negro, sukses membuat setiap pembacanya melongo akan bagaimana mungkin setiap peristiwanya dapat berkaitan antara satu dengan lainnya. Hal ini dapat dibentuk berkat racikan tangan dingin seorang queen of mystery yang dapat mengemas setiap alur cerita yang sedemikian rupa dengan setiap teknis penggambaran suasana dan gerak-gerik karakter yang terkesan nyata. Sepertinya sang penulis memang sengaja mengajak pembaca untuk ikut masuk kedalam cerita, mengikuti dan mendengar setiap peristiwa yang terjadi di dalamnya.
Tetapi dengan semua hal itu, tentu tak dapat dipungkiri dalam cerita ini masih ada kekurangan yang ditunjukkan secara tersurat. Seperti pelafalan nama depan dan nama belakang karakter yang cenderung sering dibolak-balik, akibatnya hal ini sering membuat pembaca kebingungan dengan karakter yang dimaksud. Penggabungan alur campuran turut membingungkan pembaca di awal. Selain itu, banyaknya tokoh dan sedikit informasi tentang peran dari tiap-tiap tokoh juga seolah menyumbang kebingungan untuk pembaca. Penjelasan waktu yang singkat pun terkadang mengeruhkan pikiran.
Namun dari isinya secara keseluruhan memang layak membuat novel ini menjadi bacaan yang tak dapat dilewatkan, apalagi dilihat dari akhir cerita, novel ini akan memberikan kesan semua yang membacanya terheran akan bagaimana mungkin alur itu dapat terjadi, tapi tetap hal itulah yang akhirnya membuatnya dikenal sebagai misteri. (Mahendra/Akademika)
Editor: Kristika, Juniantari
[DISCLAIMER]
Berita ini dipublikasikan pertama kali pada tanggal 12 Mei 2018 di persakademika.com