“Jika saja pagi kemarin tidak ditemani gerimis yang membasahi aspal-aspal jalanan hingga berkilauan, mungkin saja aku tidak memandang kamu dengan begitu, tuan.” Pernah sekali…tepatnya
Sastra
Seana dan Pasir Waktu
“Kau menerimanya?” Pertanyaan oleh sosok pria berjubah hitam itu dibalas oleh tatapan datar tanpa minat. Hanya ada kehampaan tak berujung dalam kedua manik indah
Utari dan Semestanya
Aku terpaku sambil menatap hamparan ilalang yang membentang sepanjang mata. Anak rambutku ikut terangkat karena angin nakal yang sedang ingin bermain dengannya. Ditemani sepiring
Si Nomor Satu
Jauh melangkah tanpa alas menuju samudera luas. Namun kini aku berbalik arah menuju pintu kecil itu untuk menemuimu, Si Nomor Satu. Pagi yang
Surat Kepada Yang Terhormat
Kepada yang terhormat Bapak yang masih mendiami keraton putih megah nan mewah, hentikan sandiwara itu hadapi kenyataan bahwa tanganmu sudah terlalu kotor untuk
Sandikala
Keturunan Brahmana tak pernah kembali setelah sandikala itu datang lagi, Dayu Tantri harapan keluarga telah hilang, pernah menjadi sosok perempuan berharga Larangan bermain di
Bersama Tuan Kutub Selatan dan Nona Kutub Utara
Tuan dan Nona perbedaan diantara keduanya telah melahirkan gagasan yang saling bertolak belakang satu sama lain. Jarak yang amat jauh bahkan hampir tak bisa
Satu Hari Lagi
Siang itu matahari tidak bersinar terang seperti biasanya. Anya duduk di kelas sembari mengobrol dengan teman sebangkunya yang bernama Santi. Mereka begitu asyik mengobrol