Siang ini cuaca cukup terik, padahal menurut prakiraan cuaca, hari ini langit akan sedikit berawan. Menyadari hal itu, aku langsung menyesali keputusanku untuk memakai pakaian berwarna gelap. Tidak berhenti sampai di situ, karena kondisi jalan yang cukup berbatu, motor kesayanganku tiba-tiba mogok. Aku pun terpaksa berjalan kaki untuk sampai ke tempat tujuan. Ketika menyusuri jalan, aku bertemu dengan beberapa warga sekitar dan tanpa ragu aku mengeluarkan senyum hangat ketika tatapan kami tidak sengaja bertemu.
Di sisi lain, Karina si Pemalas itu sekarang pasti sedang menikmati sekaleng soda dan sedang duduk nyaman di kursi gaming barunya. Tidak lupa sambil memainkan League of Legends favoritnya itu.
“Huhh! Taruhan terkutuk!” ucapku agak keras.
Karena hal itu, akulah yang harus pergi ke desa seberang untuk memesan tanaman porang sebagai bahan utama penelitian kami. Harus dan wajib pesan langsung karena penjual tanamannya sama sekali tidak memiliki nomor yang bisa dihubungi.
Ketika tiba di desa yang penuh dengan tanaman dan pepohonan segar itu, aku pun mengedarkan pandanganku ke sekeliling dan mencoba menikmati kesunyian yang ada. Sejujurnya, jika berbicara mengenai kesunyian, kamarku juga sama sunyinya. Namun, ada ketenangan yang absen karena aku harus berbagi kamar dengan Karina. Setelah puas menatap sekitar, aku membuat kesimpulan bahwa warga di desa ini juga terlihat sangat lepas. Dalam artian, mereka berhubungan baik dengan warga desa lainnya. Tidak seperti diriku dengan Karina yang lebih banyak berdebatnya.
“Pak, saya pesan es degan satu, ya!” aku memutuskan untuk mengistirahatkan kedua tungkaiku dengan berteduh di sebuah pos ronda yang sepi. Hanya ada bapak penjual es kelapa muda di sana yang sedang duduk menonton salah satu penampilan artis koplo Jawa melalui gawainya.
Mendengar suaraku, bapak itu pun langsung meletakkan gawainya dan berdiri. Sebelum membuatkan pesananku, ia mengelap kedua tangannya dengan kain yang ia gantung di gerobak. “Bungkus, Mbak?”
“Ndak, Pak. Mau saya minum di sini,” ujarku dengan sedikit cengiran. Pandanganku terpaku pada gerak cekatan si bapak ketika meracik segelas es kelapa muda untukku.
Sebenarnya, tidak banyak yang bisa kulakukan selain menunggu pesananku selesai dibuat. Apalagi jaringan internet di desa ini tidak mendukung provider yang kupakai. Padahal, aku ingin sekali mengirim pesan berisi makian pada Karina.
“Monggo, Mbak.” Tanganku terulur untuk menerima segelas es kelapa yang sudah jadi itu. Tidak jauh berbeda dengan gelas es kebanyakan, gelas ini juga agak basah di pinggirannya karena embun dari es.
Bapak penjual es itu kemudian kembali mengambil gawainya dan melanjutkan aktivitas yang sebelumnya sempat kuinterupsi. Bedanya, kali ini ia berjongkok dan bersandar pada tiang pos. Karena sangat haus, kufokuskan kembali pandanganku pada gelas di tangan dan kusendok jeruk nipis untuk kemudian aku peras isinya hingga air jeruk nipis tersebut habis. Agak jorok karena aku tidak mencuci tangan, tapi, ya sudahlah.
Satu tegukan, dua tegukan, rasanya nyawaku seperti terkumpul menjadi satu dan aku terlahir kembali.
“Fresh!” seruku.
Sedang asyik menikmati segarnya air kelapa dan mengunyah daging buahnya, tiba-tiba seorang lelaki dewasa dengan penampilan yang sedikit mencurigakan–-bajunya lusuh dan di wajahnya terdapat beberapa bekas luka–-datang dan duduk di sebelahku, berjarak kira-kira satu meter. Entah sejak kapan aku mulai mengakifkan mode proteksi dalam diriku dan berhenti mengunyah daging kelapa.
“Saya gak pernah liat mbaknya di sini. Dari kota, ya?” gawat! Lelaki itu mulai bersuara. Ia juga ikut memesan segelas es kelapa muda, artinya ia akan berteduh di sini. Yang benar saja!
“Mbak?”
“Eh, iya, Pak.” Aku menjawab terlalu cepat, terkejut dengan panggilan tiba-tiba dari lelaki itu.
“Ke sini mau ngapain mbaknya?”
“Oh itu… Mau pesen porang, Pak.”
Lelaki itu manggut-manggut, menerima segelas es kelapa mudanya, mengaduknya sedikit, lalu kembali buka suara. “Mbak namanya siapa?”
Gawat! Dia mulai tanya-tanya nama. Menurut sebuah utas di Twitter, mengenalkan diri pada orang asing di tempat asing cukup berbahaya dan berisiko. Jadi aku memutuskan mengenalkan diri dengan nama lain selain nama asliku. Bagaimanapun juga, aku harus tetap bersikap ramah karena lelaki tersebut belum melakukan sesuatu yang sangat mencurigakan.
“Nama saya Ayu, Pak.”
“Oh, Ayu. Saya Alexander.”
Aku hampir menghamburkan tawaku saat mendengar ia memperkenalkan diri dengan nama Alexander. Dilihat dari mana pun, visualnya sangat tidak cocok jika disandingkan dengan nama itu. Apalagi dengan logat Jawa yang sangat kental meskipun sudah ia tekan sedemikian rupa.
“Duluuu sekali,” oh, sepertinya ia akan menceritakan sesuatu. Mungkin aku akan mendengarkannya dulu dengan tenang karena selera humornya dari nama ‘Alexander’ lumayan menghibur dan ketegangan di bahuku sudah mulai mengendur, “saya pernah masuk penjara.”
Rasanya seperti disambar petir di siang hari. Aku menelan ludahku susah payah. Ketakutan yang tadi sempat memudar kini datang lagi. Kulirik si bapak penjual es kelapa muda tadi. Ternyata, si bapak itu tertidur. Pantas saja sudah tidak terdengar lagi suara dangdut koplonya yang lumayan mengisi kesunyian siang ini.
“Dulu saya terlilit hutang banyak sekali, di berbagai negara.”
Aku masih mencoba tenang. Meskipun sepi, mungkin jika nanti aku berteriak, akan ada beberapa orang yang datang.
“Kok bisa, Pak?” lanjutku sambil menenangkan diri lagi.
“Yah… Saya awalnya sempat beberapa kali membeli rumah di sini dan di Malaysia. Ternyata, lumayan juga buat bekal atau simpen-simpenan kalau butuh. Tapi yo jenenge ae menungso, Mbak, gak bakal puas ambek sing dipingini. Jadi saya mau coba buat beli rumah ke yang lebih jauhan gitu lah, kaya Brazil atau Dubai.” Bapak itu berhenti bercerita, meneguk kembali es kelapa mudanya.
“Terus, Pak?” aku masih mencoba menjadi pendengar yang aktif meskipun tetap takut.
“Waktu saya nyoba ke Dubai, ternyata ketemu temen. Ditawarin lah saya buat beli rumahnya, disuruh mampir buat liat-liat dulu. Pas udah setuju, lha kok jadinya saya malah kelilit utang. Waktu itu ditagihin langsung sama orang banknya. Uang saya ndak nyukup buat bayar utang, jadi lah saya di penjara.”
Dalam hati agaknya aku sedikit iba. Mungkin si bapak ini memang korban penipuan temannya. Siapa yang tahu kalau di lain sisi, ada beberapa tanggungan lain yang harus ia pikul saat itu?
“Ndak coba buat jual rumah yang di sini sama di Malaysia, tah, Pak?”
“Sudah, Mbak. Tapi masih belum bisa memenuhi kekurangannya.”
“Sekarang utang-utangnya sudah lunas, Pak?”
“Alhamdulillah sudah, Mbak. Saya cuma perlu nunggu tiga putaran aja soalnya,” ujarnya diikuti sebuah tawa kecil. Aku mengernyit bingung.
“Putaran gimana, to, Pak?”
“Ya… Kan emang begitu aturannya, Mbak, kalau di monopoli.”
Penulis : Sakilla Kurnia
Penyunting : Nanik Dwiantari