Tak terasa kurang lebih hampir satu tahun lamanya sejak virus Covid-19 pertama kali menyerang Indonesia. Sejak saat itu pula, Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM) diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia dengan tujuan untuk mengurangi penyebaran kasus virus Covid-19. Terjangkitnya virus ini di tanah air menyebabkan munculnya permasalahan ke permukaan satu demi satu. Mulai dari bidang pendidikan, yaitu proses pembelajaran yang dilakukan jarak jauh atau secara daring, sosial budaya ditunjukkan dengan adanya perubahan perilaku masyarakat dalam beraktivitas maupun beribadah, hingga terjadinya krisis ekonomi di Indonesia. Bahkan dilansir dari Antarabali.com, Bank Indonesia (BI) menyatakan Bali menjadi daerah dengan penurunan pertumbuhan ekonomi tahunan paling rendah di Indonesia dengan rata-rata di angka 9,5% pada tahun 2020. Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang sangat merasakan krisis ekonomi tersebut akibat matinya sektor pariwisata yang menjadi sumber penghasilan utama bagi masyarakat Bali. Hal ini membuat masyarakat Bali, khususnya yang bekerja di sektor pariwisata mengalami kesulitan dan kebingungan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya di tengah pandemi. Para pekerja sektor pariwisata pun berbondong-bondong beralih ke pekerjaan lainnya, seperti berjualan daring, membuka warung makan kecil-kecilan, dan mulai marak penjualan arak lokal Bali.
Gubernur Bali menemukan momentumnya dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) seperti dilansir dari BALIPOST dalam artikel yang berjudul “Pergub 1/2020 tentang Minuman Khas Bali, Payung Hukum bagi Perajin Arak”. Gubernur Bali yaitu Wayan koster kembali mewujudkan janjinya untuk melindungi kearifan lokal Bali dengan menerbitkan Pergub No. 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali. Namun, Pergub tersebut belum memenuhi rasa aman berjualan arak di Bali. Terbukti aparat kepolisian masih terus melakukan razia dan menyita arak di warung maupun yang sedang diedarkan ke pelosok Bali. Seperti yang terjadi di wilayah polres Bangli awal Desember tahun lalu, pihak kepolisisan menyita hampir 850 liter arak. Ini menunjukkan masih lemahnya sosialisasi Pergub No 1 Tahun 2020 ke masyarakat, terutama ke industri kecil menengah produsen arak dan pelaku usaha peredaran arak. Masyarakat beranggapan, dengan terbitnya Pergub tersebut secara otomatis memayungi atau melegalkan arak, baik memproduksi dan mengedarkan arak tanpa melalui ketentuan yang berlaku.
Keluhan masyarakat pelaku UMKM industri arak tersebut ditindaklanjuti Gubernur Bali dengan bersurat ke pemerintah pusat agar Pergub no 1 Tahun 2020 mendapatkan penguatan ke peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yang akhirnya telah disetujui oleh Kementerian Dalam Negeri dan diundangkan 29 Januari lalu. Kemudian pemerintah menetapkan industri minuman keras sebagai daftar positif investasi (DPI) terhitung sejak tahun ini. Sebelumnya, industri tersebut masuk dalam kategori bidang usaha tertutup. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Beleid yang merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo dan mulai berlaku per tanggal 2 Februari 2021.
Mengutip perkataan Gubernur provinsi Bali (22/2/21), dalam sebuah artikel Pancar Pos yang berjudul “Gubernur Koster Umumkan Minuman Arak Bali, Brem Bali, dan Tuak Bali jadi Usaha Sah Diproduksi dan Dikembangkan”. Koster menjabarkan “Sehingga dengan adanya Perpres Nomor 10 Tahun 2021 menjadikan minuman Arak Bali, Brem Bali, dan Tuak Bali jadi usaha sah diproduksi dan dikembangkan”. Gubernur Koster mengatakan Perpres Nomor 10 Tahun 2021 ini merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Menyatakan produk hukum ini memungkinkan industri minuman beralkohol yang menetapkan bidang usaha industri minuman keras mengandung alkohol, alkohol anggur, dan malt terbuka untuk penanaman modal baru di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua dengan memperhatikan budaya serta kearifan setempat.
Pernyataan tersebut tidak serta merta menenangkan hati masyarakat Bali. masih muncul pro dan kontra di antara kalangan masyarakat. Keluarnya kebijakan ini sesungguhnya memiliki sisi positif dan negatif bagi beberapa pihak. Di satu sisi dengan diberlakukannya kebijakan ini diharapkan dapat melestarikan kearifan lokal Bali khususnya minuman alkohol khas daerah, dan meningkatkan sumber daya ekonomi dalam menyejahterakan krama Bali. Hal ini juga dapat menjadi salah satu pintu gerbang untuk keluar dari kondisi krisis ekonomi akibat adanya pandemi Covid-19. Namun disisi lain, kemunculan kebijakan ini memiliki celah yang bisa berakibat buruk bagi para pedagang arak Bali yang bergelut di IKM dan UMKM ataupun pedagang kecil yang belum memiliki izin edar minuman beralkohol atau BPOM. Pembukaan keran investasi terhadap industri minuman beralkohol dapat saja menggerus kehadiran IKM dan UMKM ataupun pedagang kecil di Bali bila tidak mendapat perlindungan yang baik.
Maka, salah satu konklusinya yaitu dengan semakin diketatkannya sistem pengawasan kebijakan ini dari hulu ke hilir. Hal ini dilakukan agar nantinya kebijakan ini tidak hanya memberikan keuntungan kepada salah satu lapisan masyarakat saja, tetapi sekaligus melindungi usaha baik IKM maupun UMKM yang telah berkembang dari generasi ke generasi. Maka dari itu, Negara harus hadir sejak awal. Masyarakat IKM dan UMKM minuman beralkohol dengan kearifan lokal ini masih minim pengetahuan bagaimana hasil produk mereka dapat diterima secara legal. Harus dibangun sinergi pemerintah baik dari pusat hingga daerah untuk mendalami persoalan legalitas produk-produk minuman beralkohol dengan kearifan lokal ini. Sosialisasi, pelatihan, dan workshop mengenai proses pengolahan dan membangun industri yang baik, desain kemasan produk dan tata cara pengurusan izin edar bagi usaha masyarakat kecil ini sampai ke pelosok desa. Untuk itu pemerintah dan pelaku IKM serta UMKM dapat menggunakan Perpres ini untuk penguatan ekonomi dan lepas dari pandemi. Pemerintah diharapkan dapat memberikan pemahaman secara berkala dan merata pada masyarakat melalui sosialisasi dan pelatihan yang dilakukan secara gratis.
Penulis : Ayu Eka
Penyunting : Ratna Purnama