Menyoroti Imbas Pengoperasian PLTU Celukan Bawang

Aktif secara komersial sejak tahun 2015, tak menghentikan karut-marut persoalan impak pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Celukan Bawang di lingkaran masyarakat. Hasil tangkap ikan yang menurun, terumbu karang sekitar yang mulai punah, hingga kumpulan pepohonan kelapa yang kompak meringkai seakan menjadi pertanda kemurkaan alam akibat ulah manusia.

 

Sorot Balik Pembangunan PLTU Celukan Bawang

Kala itu, matahari bersinar dengan terik. Pohon kelapa pun menunduk seakan berteriak meminta pertolongan. Jalanan yang bising mengantarkan Tim Konvergensi Media Jelajah Jurnalistik sampai pada salah satu warga di sekitar wilayah PLTU Celukan Bawang. Ketut Mangku Wijana yang karib disapa Mangku dengan padu menuturkan ketidaktahuan akan pembangunan dan pengoperasian PLTU yang berkapasitas total 426 Megawatt (MW) di Desa Celukan Bawang beberapa tahun lalu. 

“Pertama kan, PLTU yang sekarang ini sebenarnya kecolongan karena kita tidak ada pendamping  yang lebih tau tentang PLTU, kita kan masyarakat awam gak tau dampak apa saja yang ditimbulkan,” pungkasnya. 

Seraya sesekali memandangi pohon kelapa yang mulai mengering, Mangku mengungkapkan bahwa sebelum pembangunan PLTU tahap I, dirinya tidak pernah mendapatkan sosialisasi terkait impak yang bisa saja terjadi setelah dibangunnya pembangkit listrik berbahan batubara tersebut. “Padahal saya kan lebih dekat dengan PLTU. Nah itu yang menyebabkan saya akhirnya geram, diundangnya masalah tanah aja,” tambah Mangku. 

Dirinya mengingat betul setiap jejak perlawanan yang ia coba tempuh. Sembari tertawa kecil ia menuturkan bahwa dirinya sempat tidak diperbolehkan menginjakan kaki di wilayah PLTU ketika peletakan batu pertama. “Semua menjaga saya, khusus saya dijaga, malah saya dikelilingi banyak intel takutnya bawa demo, padahal tujuan kita bukan demo, melainkan mau menyampaikan aspirasi. Apa sih misalkan dampaknya?” terangnya. 

Beberapa jalan telah ditempuh warga sekitar untuk menampik pengoperasian pembangkit listrik berbahan batubara tersebut. Tepat pada tahun 2018, masyarakat Desa Celukan Bawang bersama Greenpeace Indonesia mengambil upaya hukum hingga permohonan kasasi Mahkamah Agung (MA) terkait Keputusan Gubernur Bali tentang izin lingkungan hidup pembangunan PLTU Celukan Bawang. Namun, yang ditemui bukanlah jalan terang, melainkan sebuah penolakan. 

“Sudah tahap kasasi. Dia disana ngomong udah diajukan di website. Mana masyarakat disana juga tulalit gitu. Di samping itu, kita tidak tahu website-nya dia. Masalah ini memang masalah virus ini, virus duit,” ujar Mangku dengan nada tanpa getar.

Cerita- Mangku Wijana dengan antusias menceritakan histori pembangunan PLTU hingga dampak yang ia rasakan sebagai warga yang bermukim tidak jauh dari PLTU Celukan Bawang

Ketidaktahuan akan pembangunan PLTU beberapa tahun silam juga dirasakan oleh Supriyadi, salah seorang nelayan di Celukan Bawang. “Yang pertama itu saya dengernya pembangunan pabrik kecap, yang kedua saya taunya setelah izin keluar. Baru kami tau gaada sosialisasi tiba-tiba sudah ada izin, nah itu yang kita gugat, izin membangun. Ya memang sih di pengadilan manapun kami kalah, bahkan di Mahkamah Agung juga kita beberapa kali banding kalah tetep,” ucap Supriyadi.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Mangku, “Pertama kan alasannya mau membangun pabrik kecap, sehingga pada saat dia peletakan batu pertama ada warga disana yang difoto-foto seolah setuju. Padahal  itu bukan warga kami, itu warga sewaan dari daerah barat untuk datang ke tempat itu dan difoto,” tambah Mangku Wijana tatkala cuaca panas yang seolah menusuk badan jasmani.

Bermacam Impak Turut Muncul

Dihimpun dari penelitian mendalam yang dilaksanakan oleh Greenpeace bertajuk “PLTU Celukan Bawang Meracuni Pulau Dewata”, beroperasinya pembangkit listrik milik PT General Energy Bali (GEB) tersebut telah menimbulkan beragam dampak sosial-ekonomi, lingkungan, dan kesehatan. Hal tersebut berupa permainan ganti rugi lahan, pemiskinan masyarakat, kerusakan lingkungan, serta tak terlepas dari persoalan kesehatan warga sekitar pembangkit listrik tersebut. 

Tatkala menapaki bentala Bali Utara, Surayah yang akrab disapa Karimun sebagai salah satu warga yang masih menetap beberapa meter dari cerobong asap PLTU turut menceritakan kisah getirnya. Pelan-pelan Surayah melangkahkan kakinya sembari memperlihatkan suasana bermukim di tengah deru suara pengoperasian PLTU.

Bersandar – Salah satu kapal terlihat tengah bersandar di kawasan PLTU Celukan Bawang

Hingga saat ini, dirinya masih tetap berpendirian untuk tidak menjual lahan pribadinya.  “Kan kadang saya ditanya kenapa ga mau dijual, kenapa dikembalikan? Bukannya ga mau, yang penting cocok harga aja kasih, yang penting harga yang saya mau ya silahkan. Kalau belum cocok harga yang saya mau naikin lagi dulu,” pungkasnya sembari tersenyum kecil. Mangku Wijana yang juga memiliki lahan di sekitar wilayah PLTU mengaku enggan untuk menjual lahan miliknya lantaran permainan harga yang amat ganas dan penggunaan lahan yang masih simpang siur kala itu. 

Di sisi lain, Supriyadi sebagai seorang nelayan mengungkapkan menurunnya hasil tangkap selama beberapa tahun terakhir. “Masalah hasil saat ini yang kami rasakan semakin kurang, tidak seperti dulu. Operasional juga semakin besar kita butuhkan, apalagi sarana lebih naik dari kemarin-kemarin. Itu yang semakin boros jadinya terus jarak tangkap kita semakin jauh. Beberapa ikan macam tertentu juga hampir hilang dan tidak ditemukan di wilayah yang berdekatan dengan PLTU,” pungkas Supriyadi. Hal senada juga diungkapkan oleh Eko selaku salah seorang yang pernah menggeluti profesi sebagai nelayan. “Temen-temen nelayan disini bilang kalau terumbu karang dipinggir sudah tidak ada, sudah pada hancur, nah ikan kecil itu kan kebanyakan mencari terumbu karang,” jelas Eko. 

Mulanya, Supriyadi menerangkan bahwa tidak perlu waktu lama dan jarak yang jauh untuk mendapatkan ikan, berbeda dengan kondisi saat ini.  “Kalau dulu kita hanya menggunakan dayung saja tanpa menggunakan mesin sudah mendapatkan hasil yang maksimal, tidak seperti sekarang harus berjuang sejauh-jauhnya juga durasinya lama baru kita mendapatkan hasil, itupun tidak seberapa, tidak seperti dulu lagi, kalau masalah penyebab kami tidak berani bilang,” tambahnya. 

Perubahan penghasilan yang amat signifikan dirasakan oleh Supriyadi dan para nelayan lainnya. “Dari Greenpeace sempat bilang nanti akan ada dampak dari PLTU, misalkan air akan mengandung sulfur dan merkuri yang mempengaruhi juga habitat ikan itu sendiri, dan setelah saya pikir-pikir iya juga, tahun ini pasti ada perubahan, dari banyak, sedikit, sedikit, sampai menghilang,” pungkasnya pada wawancara melalui kanal digital.

Lebih lanjut,  hal tersebut juga berimbas pada keberadaan lumba-lumba di pesisir Desa Celukan Bawang. “Kalau dulu dari pinggir saja kita sudah bisa menonton lumba-lumba, kalau sekarang kita harus jauh ke tengah baru bisa melihat, sepertinya ada yang ditakutkan atau yang tidak disenangi dari ikan-ikan sehingga dia menjauh, mungkin seperti itu,” ucap Supriyadi. 

Tidak hanya menyoal tentang dampak di lautan, Mangku Wijana serta Surayah yang juga memiliki lahan berisikan banyak pohon kelapa turut merasakan adanya perubahan yang signifikan selama beberapa tahun terakhir. “Dulu kan bagus, pohon kelapa bagus, banyakan mati semenjak ada PLTU, penghasilan juga mengurang, ” pungkas Surayah. 

Kalo kita di sini udah satu, kelapa kita semakin kecil, sudah itu kualitas kelapanya kurang bagus, kelapanya sudah kecil lagi, sudah gitu buahnya sedikit. Dulu kelapa saya besar besar, banyak buahnya lagi sekarang gak bisa setelah ada ini, setelah ada operasi ini,” ujar Mangku dengan yakin.

Semangat – Surayah dengan penuh semangat bercerita seraya mengingat keberaniannya kala itu

Selain itu, persoalan jaminan kesehatan bagi warga sekitar pembangkit listrik tersebut juga menjadi hal yang amat krusial. Surayah yang tinggal amat dekat dengan PLTU sempat geram lantaran beberapa kali limbah batubara dibuang dekat pekarangannya. Dengan elok ia menunjuk bekas kawasan yang sebelumnya pernah dituangi limbah oleh pekerja, kini telah tertutup rapi dengan tanah. “Balikin ya ini yang satu mobil balikin, yang satu mobil udah dibuang disini, yang satu mobil balikin. Balikin. Kalau saya bilang balikin, balikin!” begitu kalimat yang Surayah ucapkan kepada pekerja yang dengan asal membuang limbah di dekat pekarangannya. Beberapa saat setelah lontaran itu keluar dari mulut Surayah, terlihat jejeran tentara dan polisi yang bertandang di sana kala itu. 

“Bahkan ada lubang tu nyampe di sana dia. Masak di depan rumah saya bikin lubang. Dia gertak-gertak saya biar pergi dari sini. Ini pohon-pohon ini mau ditebas, mau ditebas. Ini saya tanam ini. Enak saja kamu mau nebas,” cerita Surayah tak gentar. Meskipun telah berusia 64 tahun, semangatnya melawan ketidakbenaran semakin membuncah. “Ya kalau nenek benar, kalau nenek salah nggak berani juga nenek. Ngapain kita salah mau marah-marah. Kalau nenek benar disalahin nanti dulu,” tambahnya.  

Secara tidak langsung, hal ini berdampak pada kelangsungan hidup anak dan cucu-cucunya, “Ini cucu saya ini loh sering sakit gitu. PLTU tu soalnya kan cuacanya beda, kayak dulu kan sepi dulu tapi ga ada gangguan apa-apa. Sejak ada PLTU bising, banyak debu, kan mobilnya disini aja lewat-lewat, dulu,” jelasnya. 

Lebih lanjut, hal yang tidak biasa pernah dilakukan oleh Surayah untuk membungkam suara bising yang sempat mengganggu. “Naik saya, naik ke atas, demi Tuhan naik saya. Kalau orang lain kan ga berani. Kamu ga mau matiin, sini kuncinya entar saya matikan. Padahal saya gabisa apa-apa. Langsung dimatiin,” cerita Surayah sambil sesekali tertawa mengingat hal tersebut.

Di sisi lain, muncul rencana pembangunan PLTU tahap kedua di tengah persoalan lahan yang belum usai ditambah dengan gonjang-ganjing impak PLTU bagi lingkungan dan masyarakat sekitar. “Untuk tahap keduanya, masih belum ada keputusan antara PLTU batubara atau gas. Sekarang kan lagi ada pencemaran laut, laut-laut ini dikeruk berapa tuh kapal ada 3 atau 4 sampe terumbu karangnya diangkat ke darat,” ungkap Mangku Wijana. 

Hal serupa diungkapkan pula oleh Supriyadi, “Meskipun yang katanya dapat izin dari pemerintah, tapi kami tetap berjuang untuk menolak kalau masih menggunakan batubara. Sebisa mungkin dengan cara apapun kami akan menolak,” jelasnya dengan tegas. Dirinya mengaku tidak mau lagi kecolongan seperti pembangunan PLTU tahap I beberapa tahun lalu. “Kalau sudah tidak bisa ya kami pasrah,” tutupnya. Meskipun berbagai upaya penolakan yang telah ditempuh belum berbuah manis, kini mereka memilih tetap berjuang untuk keberlangsungan kehidupan anak dan cucu mereka. 

 

 

Reporter: Ade, Ayu, Cintya, Manogar, Dayu, Iyan, Kanya, Kamala, Zaka

Penulis: Kamala

Penyunting: Michelle

You May Also Like