POLITIK DINASTI DI PEMILU 2024: PUTUSAN MK TINGKATKAN KRISIS KEPERCAYAAN MASYARAKAT

        Sejak pertama kali dilaksanakan pada tahun 1955 hingga terakhir kali pada tahun 2019, proses penyelenggaraan Pemilu semakin berkembang. Namun, pelaksanaannya juga tidak lepas dari berbagai konflik dan perspektif masyarakat mengenai tokoh calon legislatif hingga kebijakan yang ditetapkan pemerintah selama masa-masa sebelum pemilihan. Menjelang Pemilu 2024, pemerintah dan anggota partai politik kian mendapatkan kritik dari berbagai lapisan masyarakat. Kritikan tersebut berawal dari datangnya sebuah gugatan perkara usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dari seorang mahasiswa Universitas Surakarta, Almas Tsaqibbiru Re A. Polemik tersebut semakin diperparah saat Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman membacakan hasil putusan yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima sebagian gugatan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam kasus tersebut memungkinkan seseorang yang sebelumnya menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lainnya, yang terpilih melalui Pemilu, untuk maju sebagai calon presiden atau wakil presiden walaupun usianya di bawah 40 tahun.

         Setelah putusan tersebut dikeluarkan, tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa putusan yang problematik itu semestinya tidak diberlakukan. Banyak pengamat politik yang menyangka putusan tersebut memihak salah satu figur politikus, yaitu Gibran yang merupakan putra sulung Presiden Jokowi. Putra sulung dari bapak presiden ketujuh tersebut belakangan memang selalu mendominasi pemberitaan karena dianggap layak disandingkan sebagai bakal calon wakil presiden (Bacawapres). Namun, sebelum putusan MK dikeluarkan, peluang Gibran untuk turut mengambil bagian dalam bursa Pilpres 2024 mendatang masih tertutup karena usianya yang belum memenuhi persyaratan. Setelah putusan MK dikeluarkan, tentunya jalan Gibran untuk nyaleg sebagai calon wakil presiden sangat terbuka lebar. Hal tersebutlah yang mendasari munculnya berbagai respon masyarakat, sebagian menyambutnya sebagai peluang untuk generasi muda, sedangkan yang lain memandangnya sebagai risiko membuka pintu bagi dinasti politik dan hanya menguntungkan salah satu pihak, hingga timbul istilah “Mahkamah Keluarga” sebagai ungkapan kekecewaan rakyat terhadap hasil putusan MK.

         Politik dinasti telah lama menjadi topik kontroversial dalam arena politik Indonesia. Topik tersebut kian memanas setelah Prabowo Subianto mengumumkan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden yang akan mendampinginya dalam Pilpres 2024 mendatang. Bak kobaran api yang disiram bensin, langkah Gibran ini seakan memperkuat narasi politik dinasti. Hal ini memicu pertanyaan serius tentang kesinambungan demokrasi dan representasi politik yang adil di Indonesia. Status Gibran sebagai anak dari Presiden Jokowi seolah menghitamkan prestasi dan pujian yang sebelumnya diperoleh dari kinerjanya sebagai pemimpin. Padahal, saat menjabat sebagai Wali Kota Solo, Gibran selalu menuai pujian karena keuletan dan kemampuannya dalam mengatasi masalah kemiskinan di Kota Solo. Namun sayangnya, kini masyarakat hanya berfokus pada statusnya yang datang dari keluarga yang telah mempunyai kuasa. Artikel-artikel yang diterbitkan oleh media menunjukkan bahwa saat ini masyarakat Indonesia sedang waspada dan menunjukkan rasa kekhawatiran mereka tentang dominasi keluarga politik yang berkuasa.

       Pemilu 2024 memang menjadi ajang penting bagi demokrasi Indonesia, di mana keberlanjutan demokrasi dan representasi yang adil menjadi pertanyaan krusial yang perlu dijawab oleh seluruh elemen masyarakat. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden telah memicu beragam reaksi dan perdebatan di tengah masyarakat. Sementara terpilihnya Gibran sebagai calon wakil presiden Prabowo juga menjadi perhatian utama sehingga mengakibatkan diskusi tentang dinasti politik telah mencuat di tengah perguliran Pemilu 2024. Peran masyarakat dalam memahami dampak politik dinasti dan menuntut perubahan adalah kunci dalam memastikan perwakilan yang adil dan transparansi dalam proses politik. Dengan demikian, diperlukan upaya bersama untuk memastikan bahwa proses demokrasi tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan transparansi, dengan fokus pada kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Kehadiran Pemilu 2024 yang akan datang menawarkan kesempatan bagi negara untuk merefleksikan dan memperbaiki sistem politik demi masa depan yang lebih demokratis.

 

 

Penulis: Tegar

You May Also Like