Prof. Dr. Drh. I Gusti Ngurah Kade Mahardika : Menemukan ‘Taksu’ dalam Virologi

 

Bila ingin mencari peneliti yang berhasil menyelaraskan sains dan agama, Prof. Dr. Drh. I Gusti Ngurah Kade Mahardika jawabannya. Sebagai peneliti virus, ia selalu bertumpu pada ketekunan dan kekuatan doa. Seringkali keyakinannya menjelma menjadi petunjuk dikala buntu menentukan keputusan-keputusan proses penelitiannya. Begitulah, ia menemukan ‘taksu’: kekuatan dukungan semesta.

Tegurat jelas dalam ingatan Prof. Dr. Drh. I Gusti Ngurah Kade Mahardika, tatkala dirinya duduk di bangku SMA, seorang pendeta bertanya, “kamu ingin menjadi apa?” ucap Ngurah meniru sang pendeta. Ngurah menjawab enteng. “Saya bilang, jadi peneliti,” tuturnya mengungkap kisah dirinya saat ditemui di laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) pada Selasa (29/12). Pria berkacamata yang kini menjadi peneliti virologi sekaligus Profesor Virologi dan Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Udayana itu memulai karirnya dibidang virologi ketika duduk di bangku kuliah. Saat ditanya mengapa begitu tertarik meneliti virus? Ngurah menggeleng kepala dengan cepat, ia juga tidak mengerti mengapa ketertarikannya tumbuh pada bidang virologi. “Bahkan saya diminta oleh pembimbing untuk ilmu lain, tapi saya tidak, hanya mau ini. Itu lah insting ya,” ucapnya. Meski demikian, ia mencoba mengingat mengapa ia memantapkan hati untuk tekun di bidang virologi. “Kalau virus itu tidak ada obatnya tapi yg ada vaksin, perlu lagi pemahaman tentang seputar virus sehingga bisa dikembangkan, nah jadi akhirnya virus juga yang diperlukan, ini yg membuat menarik sehingga saya menekuni bidang virologi ini terutama dalam genetika virus,” tutur pria yang lahir pada 27 Oktober 1963 itu. Ia pun akhirnya menekuni virologi hingga pendidikan doktor di Universitas Justus Liebig Giessen Jerman.

Lebih lanjut, Ngurah berprinsip bahwa ketekunan dan kerja keras akan membawa keberhasilan baginya. “Tau indikator dari kerja keras?” celetuk Ngurah bertanya. “Mual! Belajar sampai mual. Itu ketika mual, istirahat, pusing, ilmunya itu biasanya kita dapat,” tambahnya dengan nada tegas. Ketekunan Ngurah bahkan mendapat respon takjub dari seorang calon profesor Jerman. “Kok kamu tahu sekali tentang ini (biologi molekuler -red)? Iya saya belajar sendiri,” ucap pria berkacamata menceritakan percakapannya dengan sosok calon profesor. Ngurah pun telah banyak berkiprah untuk menangani berbagai serangan virus yang telah melanda Bali, seperti virus rabies hingga flu burung. Suatu kali terenyuh, di awal tahun 2020, Ngurah mengamati banyak peternak yang merugi lantaran virus ASF (African Swine Fever), merebak. Salah satu ceritanya, terdapat 100 ekor babi mati milik salah satu peternak. “Saya fokus di penyakit babi, dimana kerugiannya besar sekali bagi peternak jadi saya fokuskan karena tidak ada yang bekerja,” jelasnya. Ngurah bersama dengan mahasiswa didikannya kemudian mengembangkan penelitian prototype vaksin dengan menggunakan metode Adenovirus. Metode ini merupakan pengembangan vaksin dengan memodifikasi secara genetik virus yang biasanya menginfeksi simpanse.

Hingga kemudian ketika virus Covid-19 sedang dalam masa pencarian vaksin, Ngurah ingin turut memberikan kontribusinya. “Saya ingin teknologi ini ada di Universitas Udayana kemudian anak-anak muda bisa saya latih dan melanjutkan, itu sebenernya tujuan utama saya, who knows, kita juga bisa membuat vaksin bahkan lebih hebat dari itu,” kata Ngurah dengan bersemangat. Bermodalkan pengetahuan dan teknologi rekombinan DNA yang sudah dipelajari saat menempuh S3 di Jerman, ia kemudian mantap memulai penelitian prototype vaksin Covid-19 pada bulan Juli. Bersama timnya, Ngurah mengembangkan prototype vaksin Covid-19 dengan metode mRNA. Metode ini merupakan teknik genetika khusus yang dibuat dengan memberikan suatu potongan protein spike yang biasa terletak di permukaan luar virus corona. “Bulan Juli saya berbicara dengan ibu rektor dan akhirnya mengajukan ide ini dan kemudian diterima,” jelasnya seraya menunjukkan peralatan yang ia gunakan untuk meneliti. Segalanya mengalir saja baginya. Bahkan, ia mengatakan wartawan lah yang membentuknya agar turut berkecimpung menangani pandemi Covid-19. “Mungkin awalnya karena saya suka bicara, kemudian wartawan suka mendengarkan informasi dari saya, mereka juga memberi tahu terkait informasi mutasi virus, mungkin wartawan ya yang membantu saya,” ungkapnya sambil tertawa.

Tujuan mulia Ngurah tak selalu mendapatkan persepsi yang sama dari masyarakat. Ketika dulu dirinya mengungkapkan bahwa virus flu burung telah menginfeksi pabrik, ia justru menerima serangan buzzer yang mengatakan rumahnya akan didemo. “Loh saya itu menyelamatkan kalian. Ya kalau misal saya salah, doakan saya salah, ya tapi kalau saya benar kemudian ada banyak yg mati, tidak ada yang salah dengan saya,” tutur Ngurah, nada suaranya begitu tegas, tiada keraguan. Meski sempat membuat pasar menjadi anjlok, Ngurah tak ragu lantaran yang diungkapkannya ialah kebenaran ilmiah. “Kita berargumentasi dengan pemahamannya yang pada dasarnya baik. Kadang-kadang kan perlu diluruskan, kasihan masyarakat,” tambahnya.

Apapun yang ditekuninya, bagi Ngurah, ia lakukan dengan semaksimal mungkin. Tak pernah terbesit jenuh dalam melakoni pekerjaan peneliti baginya. Sebab, Ngurah memiliki prinsip untuk membuat visi yang kuat. “Kamu harus punya visi kuat. Karena kalau visi mu kuat, pada saat kamu jatuh, saat kamu lemah, maka visi mu lah yang menarik mu,” ujarnya dengan tatapan tajam. Visi Ngurah ialah; menjadi peneliti. Persis tatkala pertama kali ia ditanya oleh sang pendeta. Sejujurnya saat lelah menggerogotinya, Ngurah selalu meyakinkan diri, “katanya mau menjadi peneliti dunia kok sudah menyerah,” celetuknya. Visinya lah yang menguatkan Ngurah untuk terus bergiat dan tekun dibidangnya. Namun, Ngurah tidak pernah melepas diri dari nilai-nilai Hindu dan ke-Bali-annya. “Kalau di Hindu ada namanya Jnana Marga, jalan bhakti melalui ilmu pengetahuan. Itu saya jalan. Yang saya lakoni ini adalah agama,” ujarnya.

Prinsip-prinsip yang dilakoni Ngurah menjelma menjadi dukungan semesta dalam setiap langkahnya. “Ketika saya ada peluang di penelitian dengan pendekatan ini dan saya ngotot, namun sebenarnya lebih baik menggunakan pendekatan lain, selalu ada kejadian yang menuntut saya untuk menggunakan pendekatan yang lebih baik,” lanjutnya. Ngurah terkenang cerita keajaiban dukungan semesta lainnya yang pernah ditemukannya saat ia sedang mengisi materi pelatihan. “Waktu itu saya batuk berat. Tapi saya ubah mindset, Rah pastikan bikin training yang menarik. Ajaibnya, seharian saya bikin training tidak batuk-batuk. Selesai training batuknya kambuh, itu namanya taksu,” tuturnya sambil tersenyum.

Di sisi lain, obat manjur untuk tekun bagi Ngurah ialah membayangkan penerima manfaat penelitiannya bahagia. Misalnya, ketika dalam penelitian prototype vaksin virus ASF, yang terbayang ialah kebahagiaan para peternak. “Jujurnya selama satu mnggu ini saya tidak ada libur, kerja di lab terus, saya pernah lelah. Lho segitu doang capek. Katanya lu mau bikin peternak bahagia?” tanya Ngurah. Hal ini yang membuatnya terus bekerja keras. Dengan begitulah, Ngurah menyimpulkan, “if you have a strong vision, saya tidak perlu memotivasi saya sendiri, visi saya yang menarik saya.” Ucap Ngurah dengan yakin. Visi, ketekunan, dan kekuatan doa menjadikan Ngurah bertemu sang taksu; dukungan semesta. Meramu antara sains dan agama, memunculkan sebuah tagline yang melatari tembok laboratoriumnya, “Here, Science and Religion Meet”. Sebuah saksi perjalanan sang profesor – peneliti virus yang paling dikenal di Bali itu.

Reporter: Galuh Sriwedari, Tryadhi Putra

Penulis: Galuh Sriwedari

Penyunting : Gangga dan Yoshin

You May Also Like