“Kau menerimanya?”
Pertanyaan oleh sosok pria berjubah hitam itu dibalas oleh tatapan datar tanpa minat. Hanya ada kehampaan tak berujung dalam kedua manik indah gadis yang kini berdiri dengan tegak menatap lepas pantai. Tak ada ketertarikan sedikit pun, seolah segala perasaan yang semula ia rasakan kini telah menghilang, membuatnya kini nampak bagai cangkang kosong tanpa nyawa
Beberapa menit lalu, sebelum sebuah ombak menariknya masuk dan siap menggulung tubuhnya, Seana ditarik oleh pria misterius. Membuat keinginannya mengakhiri segalanya tertunda karena sebuah tawaran konyol yang tidak masuk akal.
Apakah dirinya mau kembali ke masa lalu dan memperbaiki segalanya?
Tawaran itu membuatnya kembali ke ambang kewarasan, menarik setengah dari atensinya yang ikut terseret ombak. Namun, semua itu tidak cukup kuat untuk meneguhkan keinginannya kembali melanjutkan hidupnya.
Semua telah hancur. Keluarganya, cintanya, karirnya, hingga kesempatannya, apa yang bisa diperbaiki? Bukankah semua hanya berakhir-meski kembali ke masa lalu sekalipun? Apakah takdir bisa dirubah kembali?
Tidak bukan?
Pria yang melihat kebimbangan Seana itu menarik sudut bibirnya, membentuk senyum tipis. Ia lantas mengeluarkan sebuah jam pasir dari dalam saku mantel kulitnya yang tebal. Ia mengulurkan jam itu, bermaksud agar Seana meraihnya.
Meski awalnya ragu, Seana meraih jam itu. Memperhatikan setiap sudut dari bentuk hingga setiap detail yang ia temukan. Nampak bagai jam pasir pada umumnya, namun pasir yang berada dalam jam itu berwarna perak. Cukup unik untuk dilihat, hanya saja menimbulkan kecurigaan yang mendalam dari apa sebenarnya terjadi.
Apakah jam pasir ini benar-benar bisa membawanya ke masa lalu?
“Apa konsekuensi yang aku dapatkan jika kembali ke masa lalu?” Seana bertanya, sembari terus memandangi jam pasir yang berada di tangannya. Wajah datarnya tak berubah sedikitpun, menandakan bahwa gadis itu masih menimbang-nimbang segala yang mungkin terjadi.
Sang pria tertawa pelan, sebelum berbisik. “Tidak ada konsekuensi. Kau bisa melakukan apapun, semaumu. Bahkan untuk memilih menetap di masa lalu, kau diperbolehkan.” Suaranya terdengar begitu memikat, bagai iblis yang mencoba membujuk manusia berbuat hina. Nyaris saja membuat Seana terperosok dengan mudah.
Hanya saja, sebuah kalimat dari sang ayah kembali berputar dalam kepalanya. Memaksa kewarasannya untuk kembali bertindak.
“Masa lalu tidak bisa kau rubah, Nak. Waktu tidak bisa diulang, yang bisa kau ulang hanya kenangannya.”
Kalimat itu terasa masih cukup basah, membuat Seana terbayang-bayang raut wajah teduh sang ayah yang saat itu menasihatinya. Siapa sangka nasehat itu justru membuatnya bimbang kali ini.
Perlahan, binar kembali tampak pada sepasang mata gadis itu. Sorot matanya yang semula datar kian menajam, disusul dengan sebuah senyum tipis yang menghiasi bibir tipisnya. Gadis itu maju dengan berani, sepenuhnya melawan keraguan yang ia rasakan sekarang.
“Kau bilang tidak ada konsekuensi bukan?” Gadis itu kembali bertanya. Sang Pria hanya membalas dengan sebuah anggukan santai nan tenang. Seolah yakin bahwa Seana akan menerima tawarannya.
Memangnya siapa yang tidak tergiur jika diberi kesempatan kembali ke masa lalu?
Belum sempat pria itu kembali berbicara, kepalan tangan Seana sudah berhasil mendarat tepat pada wajah Pria itu, membuat si korban melotot kaget sembari memegang hidungnya yang sudah mengeluarkan darah segar. Pria itu mengerutkan dahinya begitu melihat reaksi Seana yang terlihat berbeda dari bayangannya.
Bukankah gadis itu nyaris setuju?
Sementara itu, Seana berbalik kembali menghadap laut lepas. Gadis itu menggenggam jam pasir yang ia bawa, lalu melemparnya sekuat tenaga ke lautan. Jam pasir itu akhirnya hilang tanpa jejak, ikut terbawa ombak yang entah membawanya entah kemana.
Ia kembali berbalik, menatap pria yang kini sudah bangkit itu. Senyum miring terlukis kembali di wajah Seana, “Kau tau mengapa aku melakukan itu?” Seana mengajukan pertanyaan yang kali ini tidak dibalas apapun oleh si pria.
Gadis itu terkekeh pelan, “Mudah saja. Kembali ke masa lalu tentu memiliki konsekuensi yang tidak sedikit. Meski aku hanya memperbaiki takdirku, menyelamatkan orang-orang yang aku ingin selamatkan, bukankah itu juga akan merubah garis takdir orang lain?”
“Aku tidak sekejam itu untuk melakukannya.” Seana menghela napas. Ia sadar bahwa semua yang terjadi padanya memang sudah menjadi jalan yang harus ia lalui. Serusak apapun, se-berbatu apapun hingga se-mematikan apapun, ini semua adalah jalannya. Ia tidak bisa hanya berpaku pada masa lalu dan menyesali masa kini.
Harus ada yang ia lakukan di masa depan, meski pada akhirnya ia hanya memiliki dirinya sendiri.
Seana tersenyum tipis, “Aku memang ingin mencegah apa yang bisa dicegah jika kembali ke masa lalu. Namun jika itu artinya mengorbankan orang lain, aku tidak sampai hati melakukannya.” Suara itu terdengar lebih tenang dibanding sebelumnya. Tidak ada rasa hampa yang mengiringi ataupun keputus-asaan yang sebelumnya tersirat dalam setiap gerak-geriknya.
Gadis itu seolah mendapat semangat hidup baru, membuatnya kembali menemukan tujuannya untuk tetap hidup setelah hampir mengakhiri dirinya sendiri.
“Aku–harus tetap maju ke depan ‘kan?”
Itu yang diinginkan semua orang darinya. Harapan kecil dari semua orang yang seharusnya ia tetap jaga, bukan ia-siakan begitu saja. Meski bukan sepenuhnya keinginannya, setidaknya ia masih memiliki alasan untuk tetap membuka mata dan menghirup udara sekarang.
Pria yang sejak tadi memasang wajah gelap itu seketika luluh, diiringi dengan raut wajahnya yang kembali melembut. Senyum menenangkan miliknya kembali, kali ini terlihat begitu tulus.
“Kau cukup cepat mengerti. Sekarang, bangunlah dan hidup dengan baik. Jangan menyia-nyiakan segala kesempatan yang sudah diberikan padamu.” Pria itu kini bergerak maju, menghampiri Seana yang masih diam di tempatnya.
Tangannya bergerak, menepuk lembut pucuk kepala gadis itu, “Kau harus hidup dengan baik, Oseana.”
———-
Seolah baru saja terdorong, Seana tersentak kaget dan membuka matanya dengan begitu cepat. Dahinya berkerut dalam, apalagi begitu ia menyadari bahwa dirinya berada di sebuah ruangan putih tanpa noda dengan bau familiar yang paling ia hindari.
Ia menoleh ke tangan kanannya yang terinfus, membuatnya makin mengerutkan dahinya. Apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya? Bukankah ia seharusnya sudah mati terseret ombak? Mengapa dia berada di rumah sakit?
Belum sempat berfikir lebih lama, suara pintu yang terbuka membuatnya secara refleks menoleh. Matanya langsung menangkap sosok bibinya yang menatap shock ke arahnya, nyaris seperti menatap hantu.
“Astaga, Oseana!” Pekiknya.
Wanita tua itu berlari, kemudian secara spontan memeluk erat tubuh Seana, membuat gadis itu tertegun selama beberapa waktu. Ia mulai bertanya-tanya, bagaimana perasaan bibinya setelah tahu apa yang ia lakukan? apakah bibinya akan bersedih jika dirinya tidak selamat? Apakah ada orang yang akan menangisinya?
Akan tetapi, Seana telah tahu jawabannya. Ia masih memiliki itu semua. Seana masih memiliki alasan untuk membuka mata, alasan untuk berjuang dan alasan untuk tetap percaya pada dirinya sendiri.
Meski bisa mengulang masa lalu, Seana tidak akan pernah mengambil kesempatan itu. Ia tidak bisa mengorbankan takdir orang lain yang harus tanpa sengaja ia rubah. Mimpi yang baru saja ia alami seolah menjadi teguran baginya yang begitu mudahnya menyerah pada takdir. Membuatnya menyadari bahwa masih ada kesempatan yang ia miliki di masa depan.
Ia hanya harus bersabar, menunggu benang kehidupannya yang kusut itu untuk bisa lurus kembali.
Penulis : Ayu Santika
Editor : Meutia