Pagi hari seharusnya menjadi momen awal untuk memulai hidup, tapi kenyataannya pagi hari selalu menjadi akhir dari kepingan harapan hidup bagi Benaya. Ia menerima segala berita duka di pagi hari. Ayahnya meninggal tahun lalu juga di pagi hari dan kali ini… “Mama diPHK, Ben.” Ujar mama sambil mendorong koper kerjanya ke lantai.
Seketika Benaya menghentikan aktivitas mengetiknya. Sebelumnya ia sedang membalas tweet dari akun komedi @willythesadkid. Benaya memang peselancar aktif di media sosial. Menjalani hidup sehari tanpa media sosial merupakan hal yang mustahil bagi Benaya. Kali ini ia berusaha menarik diri ke realita hidupnya. “Mom, are you okay?” ia segera menghampiri mamanya yang duduk dengan tatapan kosong.
“Maafin mama Ben. Mama nggak terima dipecat, padahal mama pegawai tetap di maskapai ini. Kenapa mama yang kena pecat akibat pandemi ini?” Tetes demi tetes air mata tertumpah seraya tumpahnya isi hati mama. “Mama khawatir sama hidup kita berdua. Mama masih harus melunasi utang papa kamu. Kenapa sih papa kamu nggak bisa ninggalin kita dengan tenang?!!!” Keluhan mama terhenti beberapa detik sembari menyeka ingus yang turun dari hidung.
“Mama udah jadi flight attendant bertahun-tahun dan tabungan mama harus ludes gara-gara bayarin utang judi papa kamu, sekarang mama dipecat karena pandemi Covid-19. Gimana dengan masa depan kamu Ben? Kamu masih kuliah Ben! Kenapa semua ini harus terjadi ke ki…” Sebelum mama mengakhiri kalimatnya, Benaya sudah mendekapnya erat. Hari ini kepahitan mengalir deras ke hidupnya lagi, bertubi-tubi, tanpa ampun.
Untuk pertama kalinya semenjak ia beranjak dewasa, Benaya meneteskan air mata. Ini tangisan perdana untuk kepahitan hidup yang berkali-kali mengitari hari-harinya. Benaya berucap dengan suara serak “Mom, it isn’t your fault. We’ll survive. I promise you, i won’t disappoint you. Take care yourself, Mom. I’m okay with all of these.” Meskipun ia tak yakin dengan ucapannya sendiri, Benaya berusaha menguatkan mamanya.
Keesokan paginya perasaan sedih Benaya sudah luntur. Ide-ide mencari pekerjaan berkerumun di kepala kecil Benaya. Ia percaya di era digital ini pasti sangat mudah mendapatkan sesuatu dengan cepat. Ia menyebarkan pesan di grup whatssapp yang berisi teman-teman dekatnya di kampus. Isi pesannya yakni pertanyaan mengenai lowongan pekerjaan paruh waktu di kotanya. Sembari menunggu balasan dari teman-temannya, ia membuka akun instagram–nya. Setelah scrolling akun penghimpun lowongan kerja, ia tak menemukan satu pun lowongan pekerjaan yang masih tersedia. Benaya menghembuskan napas berat. Ia mengarahkan kamera depan gawai pintarnya tepat di wajahnya. Ia mengambil gambar dirinya dan mengetik sebuah keterangan pada gambar tersebut. YANG PUNYA INFO LOKER APAPUN DM AKU YA GUYSSS! THANKS. Kemudian Benaya memilih opsi post to story. Posted!
Creengg. Gawai Benaya bergetar. Ia tersenyum penuh harapan karena ia menerima notifikasi direct message sesuai dengan harapannya, cepat. Ketika membuka satu per satu balasan pesan dari teman-teman online–nya, mata Benaya terbelalak.
“Sekarang lowongan kerja emang susah dicari Bro. Gimana ya namanya juga Covid. Lu coba open BO aja Ben. Ini gua ga maksa, tapi kalo kepepet coba dulu aja. Nih gua kasi link–nya kalo lu mau join.” –Si Pencari Cuan yang Penting Cepat. Biasanya manusia tipe ini tidak tahan berada di bawah tekanan. Pikirannya praktis, baginya semua kesulitan dapat ditepis dengan uang. Dengan cara berpikir praktis itu, cara mencari uangnya pun turut dipaksakan praktis, ia rela menjual kehormatan serta nama baiknya. Ya sudahlah ya, semua orang kan punya pilihannya masing-masing.
“Yahh, lu mending Ben. Nyokap lo baru diPHK dan lu masih punya tempat tinggal. Lah gue miskin dari lahir, keluarga gue harus numpang tinggal di keluarga lain, bayangin aja deh jadi gue. Ga ngerti lagi mental health gue terguncangnya kayak apa.” –Si Tukang Adu Nasib. Biasanya manusia tipe ini suka memutar balikkan fungsi dua telinga dan satu mulut, yang seharusnya banyak mendengar namun sedikit berbicara tapi ia malah sibuk berbicara sampai lupa mendengarkan orang lain. Bagi dirinya masalahnya yang terbesar, terberat, terpenting, dan ter- ter- lainnya.
“Mending lu ikut judi online aja Ben, gue pernah nyoba dan pernah menang sekali, tapi pernah juga kalah berkali-kali.” –Si Tukang Judi Online. Biasanya manusia tipikal ini memiliki kegigihan yang tinggi. Ia gigih berharap kaya didukung dengan sifat malasnya yang kental. Satu-satunya yang dianggap seru adalah judi online. Kenyataannya, judi lebih banyak menguras daripada menambah pundi-pundi rupiahnya.
“Sending virtual hugs and prayers for you!” –Si Tukang Simpati di Dunia Maya Doang. Biasanya manusia seperti ini tidak benar-benar merealisasikan doanya untuk orang yang sedang menderita dan pelukannya hanya sebatas gif atau stiker internet. Menghibur sih tapi rasanya kurang dalam. Ya, namanya juga temen online.
Tak jauh berbeda dengan isi pesan manusia-manusia instagram, balasan pesan di whatsapp pun turut membuat mata Benaya semakin terbelalak.
“Ih mending lu terima cintanya si Shenen seleb Tit Tot itu, nah ntar lu pansos deh, setelah lu pansos, lu pasti dapet banyak endorsement! Yakin gua, tampang lu juga ga jelek-jelek banget, Ben. Mayan lah.” –Si Penonton dan Pengikut Seleb Tit Tot Garis Keras.
“Lu bikin thread sedih aja di twitter atau Tit Tot, dramatisasi kalo perlu. Ntar kalo cerita lu bagus, banyak yang retweet ato ngelike baru deh lu manfaatin tuh celah buat promosiin barang dagangan lu. Jual apa kek. Jual diri sih kalo mau cepet xixixixi. Canda jual diri.” –Si Tukang Bercanda Nggak Tahu Waktu dan Tempat.
Rasanya otot mata Benaya hampir meletus membaca pesan teman-temannya. Benaya menutup layar gawainya. Ia terdiam sejenak, mecoba mencerna segala kecepatan informasi yang ia harapkan. Kecepatan informasi yang ia dapatkan sungguh berbanding terbalik dengan ketepatan tujuan yang ia harapkan. Apakah ini sebuah tanda bahwa ia harus pindah ke Mars? Akhir-akhir ini dunia beserta isinya sedang tidak sehat fisik dan jiwanya.
Penulis : Vilia Rhisky Indirasari
Penyunting : Yhosin Leksan Pratama