Hamparan Beton di Undak Jatiluwih

Sebagai salah satu warisan budaya dunia yang diresmikan oleh UNESCO pada 2012 silam, Subak Jatiluwih tersohor dengan hamparan sawah berundaknya. Mirisnya kini, kawasan hijau berundak Jatiluwih mulai tersentuh hamparan ‘beton’. Sebagai pengempon sawah, para petani Jatiluwih bersatu dalam usaha senada mempertahankan wajah asli tanah hijau mereka.

 

Isu maraknya pembangunan di kawasan hijau area Jatiluwih ternyata bukan hanya sekadar isu. Apabila berkunjung langsung ke Jatiluwih, tak hanya hamparan hijau persawahan saja yang akan menyambut tatapan mata. Deretan bangunan pendukung sektor pariwisata seperti rumah makan yang berdiri dan dikelola di atas sepanjang jalur hijau Jatiluwih turut tertata di kawasan hijau itu.

Adanya proses pengalihan fungsi lahan ini turut dibenarkan oleh Nyoman Sutama, Pekaseh (ketua pengelola subak -red) Subak Jatiluwih saat ini. “Dilihat dari sisi perubahan alih fungsi, memang ada perubahan sedikit. Itu karena kita semua belum paham apa itu heritage atau warisan dunia,” akunya saat ditemui di Jatiluwih, Tabanan (29/4). Ia menambahkan, proses alih fungsi lahan ini masih terhitung belum banyak. Namun, ia menghawatirkan akan membawa dampak signifikan apabila tetap berlangsung hingga waktu-waktu ke depan.

Salah satu dampak yang sudah terasa saat ini dari pengalihfungsian lahan adalah macetnya laju air ke sejumlah kawasan. Proses pembangunan yang mengharuskan adanya pengerukan air membawa efek samping berupa penutupan akses air ke tempat lain di sekitar kawasan pembangunan. Nyoman Sutama yang sudah menjadi Pekaseh Subak Jatiluwih sedari tahun 2012 ini menjelaskan, contohnya di satu titik pengeboran bisa terdapat jalur ‘urat nadi’ yang riskan terkena proses pengeboran.

Sebagai akibatnya, air yang seharusnya mengalir ke titik selanjutnya bisa menjadi macet lantaran adanya gangguan tersebut. “Di Beji Pura Puseh sudah tertutup airnya karena pengeboran itu,” lanjutnya. Sebagai tambahan, perlu diketahui bahwa masalah pengairan sudah terjadi sejak tahun 1985 di Jatiluwih. “Dari tahun 1985 sampai 1990 debit air di jatiluwih mengecil. Tapi untuk kondisi subak yang sampai kering belum pernah terjadi,” ucap Nyoman Sutama.

Kejadian ini lantas mendatangkan tanda tanya, terutama terkait perizinan yang diberlakukan sehingga kegiatan alih fungsi lahan seolah “berjalan di jalan yang mulus” dari awal. Namun orang tertinggi di struktur kepengurusan Subak Jatiluwih pun ternyata tidak begitu mengetahui terkait sistem perizinan bangunan-bangunan yang terdapat di kawasan hijau Jatiluwih.

“Untuk masalah perizinan saya tidak persis tahu apakah ada izinnya atau bagaimana. Tapi dari regulasinya sudah jelas, dari perda jalur hijau juga sudah dituangkan, kemudian dari awig-awig subak sudah dituangkan, tidak boleh ada alih fungsi. Terkait peraturan gubernur pun juga sama, poinnya sudah diuraikan dengan jelas,” paparnya panjang.

Ada pendapat pula darinya bahwa menjamurnya pembangunan di kawasan hijau Jatiluwih disebabkan oleh status tanah Jatiluwih masih atas nama perorangan atau milik warga desa setempat. Diduganya, adanya rasa kepemilikan menjadi salah satu faktor pendorong munculnya keinginan untuk menggunakan lahan sebagai tempat mencari nafkah.

“80 persen pemilik usaha di sini adalah warga Jatiluwih sendiri sementara sisanya pendatang, ada dari Bandung dan Sumatra. Semuanya murni untuk mencari nafkah. Belum ada yang memberikan ‘sesuatu’ kepada subak, termasuk (dari usaha milik -red) warga Jatiluwih sendiri,” jelas Nyoman Sutama. Hingga saat ini, Nyoman Sutama mengatakan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sedang memproses Jatiluwih untuk bisa menyandang status Tanah Strategis Nasional sehingga bisa dikelola atas nama pemerintah.

Nyoman Sutama menuturkan bahwa hanya organisasi yang ia pimpin itulah yang masih merawat subak hingga saat ini. Selain itu, ia merasa kelompok Subak Jatiluwih sedang terjebak dalam suatu dilema. “Subak ini sangat dilematis, terutama jika masyarakat masih tidak sadar apa itu ekologi dan pentingnya. Kita perlu kerja sama semua pihak untuk melestarikan subak ini, sesuai dengan perjanjian yang dibuat bersama-sama antara UNESCO, Pemerintah Bali dan Pemerintah Indonesia.”

Ia menambahkan dengan menggambarkan betapa malunya Bali serta Indonesia apabila status warisan budaya dunia Jatiluwih dicabut oleh UNESCO. “Untuk mengembalikan statusnya bisa saja, akan tetapi prosesnya lama. Pihak luar juga akan beranggapan kalau kita menyianyiakan pemberian mereka. Sudah dikasih kesempataan dulu kenapa diabaikan?” tuturnya.

 

Jatiluwih dalam Lampu Kuning

Sesungguhnya, problematik yang dihadapi oleh Jatiluwih bisa jadi lebih rumit dari yang diperkirakan. Sawah berundak yang ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya dunia pada tahun 2012 silam ini pernah mendapat sebuah peringatan dari UNESCO.

“Pernah diberi peringatan pada Januari 2015. Salah satu peringatannya terkait pengelolaan yang belum ada dan masih ada compang-camping di sana-sini,” kata Nyoman Sutama. Namun ia tidak berani menjelaskan lebih jauh sebab dirinya sendiri belum melihat langsung naskah yang memuat peringatan tersebut, dan terkait informasi tersebut, ia mendapatkannya dari pihak Universitas Udayana serta dinas kebudayaan.

Meski sadar sepenuhnya bahwa pengalihfungsian lahan di Jatiluwih sedang terjadi, mirisnya pihak Subak ternyata masih kesulitan untuk memberikan sanksi yang tegas atas pelanggaran tersebut. Hal tersebut pun diakui sendiri oleh Pekaseh Subak Jatiluwih periode saat ini. “Subak sulit memberikan sanksi. Awig-awig Subak hanya bisa memberikan sanksi sosial seperti penutupan air. Untuk sanksi yang lebih menegakkan hukum tidak bisa,” ucap Nyoman Sutama.

Seolah akhirnya tersadar dan tak mau berlama-lama dalam posisi sulit, sebuah kelompok baru didirikan khusus dengan misi memperjuangkan sekaligus mempertahankan kelestarian Subak Jatiluwih. “Tim ini baru dibentuk oleh subak. Digagas oleh subak pada 29 Maret 2018,” jelas Wayan Sukabuana, anggota bagian monitoring dari tim. Selanjutnya ia menambahkan kurang lebih 25 anggota panitia untuk kelompok tersebut, khusus berasal dari kalangan prajuru (pengelola -red) subak dari tujuh tempek di kawasan Jatiluwih.

“Tujuannya supaya subak ini jangan sampai hilang. Jangan sawah dialihfungsikan. UNESCO juga berpesan begitu, jangan sampai sawah ini dibangun restoran dan villa,” ungkap Sukabuana saat ditanyai mengenai alasan dibentuknya tim ini.

Terkait proses yang sudah dilakukan, Sukabuana menjelaskan bahwa tim selalu memantau perkembangan di subak supaya lahan tersebut tidak sampai habis dikikis terus-menerus. “Jika subak dikikis terus dan habis, siapa yang tanggung jawab? Karena satu-satunya (subak -red) menjadi andalan, khusus di jatiluwih. Kalau subak nanti putus, bakal apa jadinya?” ujarnya. Sementara terkait kasus pengalihfungsian lahan, Sukabuana mewakili tim subak dengan tegas menyuarakan penentangan.

“Ada tiga karakter visi dari subak; pertama, yang benar-benar mengerti. Kedua, yang setengah-setengah. Ketiga, yang sangat mengerti saat membicarakan kelestarian, pencemaran dan bangunan ilegal. Tapi meski dia bisa ngomong di forum subak, tidak ada yang bisa mengantarkan dia (forum -red) ke tempat yang lebih tinggi. Kadang jadi ‘putus’ di jalan,” sambung Sukabuana. Koordinasi yang putus di tengah jalan memang suatu kendala yang tengah mereka hadapi, tambahnya. Aspirasi petani banyak hanya tersampaikan di sekitar lingkungan mereka.

Meski Sukabuana juga berpendapat bahwa selalu ada kemungkinan ‘pembiaran’ oleh pemerintah yang berkedudukan di atas mereka, dirinya tetap tidak anti dengan pemerintah. “Kita tidak anti dengan pemerintah karena pemerintah payung hukumnya subak. Kita tetap bekerjasama. Subak ingin mendapat perlindungan dari pemerintah, tapi masih sulit untuk bisa sampai ditahap atas itu,” paparnya.

Salah satu anggota bagian dokumentasi, I Putu Mega Putra Parayana, mengaku dirinya memilih bergabung ke kelompok pergerakan ini karena sebuah panggilan hati setelah mengetahui kondisi Jatiluwih yang sedang tidak baik-baik saja. Ia mendapat banyak pengalaman setelah terjun langsung ke lapangan. “Contoh yang saya lihat di jalur hijau ada plang dari Perda yang menyebutkan secara jelas bahwa di sepanjang jalur ini tidak boleh didirkan bangunan. Tapi persis di sebelah plang ada restoran. Menurut saya itu tidak etis, tidak seharusnya ada itu,” tegasnya.

Secara sederhana, Mega yang juga mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Udayana ini melontarkan sebuah pertanyaan yang mendasari pentingnya memperjuangkan pelestarian Jatiluwih mulai dari sekarang, “Di sini yang mana dilestarikan: homestay-nya, restorannya atau sawahnya?” (Kristika/Akademika)

Editor: Juniantari

 

[DISCLAIMER]

Berita ini dipublikasikan pertama kali  pada tanggal 21 Juni 2018 di persakademika.com

 

You May Also Like