(Oleh: Ach Fawaidi)
Kiriman air mata ini akan segera tiba. Kubungkus dengan kertas terbaik dan di sana kuberi puisi terindah yang pernah aku rangkai.
Aku.
Anisa, ini kutitipkan padamu air mata. Simpanlah jika engkau bersedia. Letakkan di tempat berbahan beludru kecil bekas tempat cincin pertunangan kita. Lalu dekaplah di kala engkau hendak menenangkan diri di tempat tidur yang sedari dulu senantiasa memberikan kenyamanan. Dan ketika engkau berharap ingin tahu tentang makna air mata yang kutitipkan ini, segera mungkin engkau terlelap dan berharap air mata yang kutitipkan adalah air mata kebahagiaan.
Anisa, jika engkau pernah tahu cerita peri-peri kecil yang sering mengantar air mata ke beberapa orang yang sedang bahagia, itu bukan berarti peri-peri kecil itu terlalu bisu memberikan air mata untuk orang yang sedang dilanda kebahagian. Tapi air mata itu adalah air mata keharuan yang pantas diberikan oleh gadis-gadis kecil yang masih polos dan lugu. Sama seperti air mata yang kutitipkan kepadamu, bukan air mata pilu, melainkan semua itu sudah cukup mewakili sebuah kebahagiaan yang telah kau berikan beberapa waktu lalu.
Air mata ini kupetik dari air mataku sendiri, bukan dari air mata orang lain. Kamu pasti tahu aroma air mataku seperti apa. Karena dulu, di kala aku bersedih kaulah yang selalu mengusap air mata yang keluar dari pekat mata. Bagaimana mungkin aku bisa menyayangimu sepenuh hati jika air mata ini kupetik dari orang lain?
Maka ini cukup menjadi bukti bahwa pilu hatiku kerap hanya untukmu. Anisa kau harus tahu, betapa sakitnya memetik air mata ini, betapa pilunya air mata ini. Tapi semua kulakukan karena untuk membuat isyarat hati terhadapmu, untuk berterima kasih atas semua keputusanmu waktu lalu. Aku memang tidak bersamamu hari ini, maka sedari itu aku mencoba menitipkan air mata ini terhadapmu. Jaga diri baik-baik, Anisa. Maafkan jika aku belum bisa menemuimu.
Perihal pemetikan air mata, beginilah kronologinya. Ya, malam itu Anisa, aku tengah terbangun dari lelap tidurku. Kemudian kulihat samar-samar bayangan seseorang dari balik pintu Joglo kecil, tempat aku berdiam diri selama berjuang. Kemudian kudengar pula suara biola yang sudah tidak asing lagi irama suaranya.
Irama itu tidak asing lagi, persis sekali dengan irama yang kerap kau mainkan empat tahun lalu tepat ketika kita masih bersama.
Semuanya aku acuhkan, sebab aku yakin itu hanya ilusi akibat rasa kerinduanku yang teramat dalam terhadapmu. Kulihat pula sehelai kertas di atas laci lemariku, tempat biasanya aku merapikan diri. Kulihat sebaris tulisan yang berisikan kalau kamu sudah siap bersamaku apapun yang terjadi. Dan sejak saat itu kemudian, air mata ini kupetik untuk kutitipkan terhadapmu.
Aku tahu, kau menungguku. Maka, bergegaslah kupetik air mataku. Biar kau tahu, aku memang selalu ada untukmu walau tak bisa bersama, pikirku. Tenanglah Anisa, hapus air mata yang menggantung di kelopak matamu. Sebab kiriman air mata ini akan segera tiba. Kubungkus dengan kertas terbaik dan di sana kuberi puisi terindah yang pernah aku karang.
***
Pagi sekali mereka bangun, sebelum embun turun dan mentari pagi menyingsing. Orang-orang di luar rumah sudah ramai, semuanya laki-laki. Sementara yang perempuan hanya bergumul dengan tangisan. Istri-istri pada takut kalau seandainya ditinggal mati suaminya. Anisa tidak menangis kala itu. Ia hanya merundukkan kepala. “Tenanglah, Anisa. Ini demi tanah air kita. Aku pasti kembali,? ucap suaminya. Anisa tidak bicara apa-apa. Suaminya berangkat bersama banyak laki-laki yang lain. Tentu pergi berperang. Karena penulis cerpen ini sedang ingin menulis tentang mereka pergi berperang. Mereka tidak boleh mengelak.
***
Perempuan berkerudung ungu itu duduk di bangku tua sampai senja. Sampai malam tiba, ia tak beranjak sama sekali, menunggu seseorang yang sangat ia cintai. Sudah dua hari ia duduk di situ. Matanya sembab dan wajahnya layu. Ia tidak ingin pergi sebelum suaminya pulang dari peperangan. Aku tak akan pernah meninggalkanmu sendiri, begitulah perempuan itu mengingat-ingat perkataan suaminya. Suami yang begitu tulus mencintainya, walau ia tunanetra. Walau ia tak sesempurna perempuan lainnya. Maka dari itu, sampai kapan pun ia akan menunggu.
Air mata itu tak pernah sampai pada perempuan berkerudung ungu itu. Kau pasti sudah tahu nama perempuan itu adalah Anisa. Anisa yang malang. Sampai berkali-kali senja datang, berkali-kali malam menjelang, ia tetap di situ. Sampai kaki bangku rapuh. Sampai rambutnya beruban. Sampai sakit. Sampai malaikat menjemputnya. Sampai ia beranjak ke surga. Ia tetap menunggu suaminya. Walau hanya dengan kerangka tubuhnya.
***
Anisa.
Suamiku, apa yang aku lakukan saat ini bukanlah sia-sia. Sebab, aku yakin kau akan datang. Dan seandainya kau telah tiada pun, kau akan menemuiku. Kau orang paling setia yang pernah aku temui. Gugur daun-daunan di depan, belakang, kanan dan kiriku adalah saksi kalau aku akan sesetia mungkin sepertimu. Kau telah menerimaku apa adanya. Kau telah membangkitkan aku dari keterpurukan hidup. Burung-burung yang bersarang di atas beringin yang mengayomiku saat ini, sudah entah berapa kali pulang pergi setelah mencari makan. Rumput-rumput hijau entah sudah berapa kali bergoyang diterpa angin. Aku tetap menunggumu.
Gianyar, 14 Februari 2015
Editor: Kristika
[DISCLAIMER]
Berita ini dipublikasikan pertama kali pada tanggal 04 Juni2018 di persakademika.com