Si Nomor Satu

Jauh melangkah tanpa alas menuju samudera luas. Namun kini aku berbalik arah menuju pintu kecil itu untuk menemuimu, Si Nomor Satu.

 

Pagi yang suram seperti biasanya, tapi kali ini tampak sedikit berbeda. Penghuni baru kursi belakang telah tiba dengan aura dinginnya. Kemarin masih biasa saja, tidak ada perubahan suasana, hingga hari ini sang bayu berhembus dengan kencangnya. Aroma parfum yang melintas membuat pandangan ini mencari siapa pelakunya dan tak disangka, dia telah bersila tepat di depan mata.

Tidak mungkin akan bersama, karena sifatnya yang begitu dingin, tutur batinku sembari melirik bahu lebarnya. Banyak yang mengincarnya, berinteraksi bagaikan telah lama bersama. Namun dia konsisten dengan sikapnya, acuh dan tidak dapat ditembus oleh rayuan. Anehnya, baru hari ini aku mengetahui namanya, oh Si Nomor Satu rupanya.

“Ayo pergi bersama,” bukan sebuah mantra tapi telah berhasil menghipnotis jiwa. Tubuh ini mendadak beku, bagaimana bisa si dingin ini berbicara begitu. Di antara semua kemungkinan, baru kali ini terasa maya, sangat tidak mungkin adanya. Dia menatapku dengan kedua mata coklatnya yang tajam, alisnya yang tebal, bulu mata lentik serta tanda lahir yang menghiasi pipi kanannya seakan tak berdosa karena telah membuat diri ini kehilangan tenaga untuk beberapa saat. Sesak, seakan udara bertolak belakang menjauhiku, membiarkan wajah ini merona dan hampir meledak rasanya. Belum sempat diri ini bersuara, tanganku sudah digenggam dan ditarik pergi olehnya, tidak…. aku akan pingsan detik ini juga.

Masa-masa kelabu seakan telah usai. Awan mendung yang biasa menghiasi langit ini seakan pergi tanpa berpamitan. Kini mentari yang telah lama padam kembali memancarkan sinarnya. Perlahan tapi pasti, kupastikan musim telah berganti. Senyum simpul kini selalu menghiasi wajah sensitif ini ketika melihat dia tiba di depan pintu kelas dan melangkah menuju singgasananya.

Apa sebaiknya aku teriakkan kepada seisi ruangan ini jika aku pemenangnya?

“TIDAK! Tidak bisa seperti itu!” ucap sahabatku.

“Kamu bahkan baru mengenalnya, jangan mudah goyah!”

Termenung, sekuat-kuatnya benteng yang telah kubangun untuk menghalau angin gersang datang tetap saja dirobohkan puting beliung. Setiap kata yang dilontarkan oleh ‘sahabatku’ seperti mengandung duri yang berhasil mengingatkan raga ini akan luka lama. Apakah akan seperti sebelumnya? Bahkan luka itu belum kering dengan sempurna.

“Apakah pendirianmu masih sama?” wajah si nomor satu kini tidak sedingin biasanya. Terlihat jelas atau hanya anganku saja jika dia khawatir aku tidak akan sama lagi. Red flag, ungkapan yang sedang digunakan oleh remaja sekarang untuk mengungkapkan hal yang tidak mereka suka dari seseorang.

“Tidak masalah karena itu urusanmu, tapi tolong menjauh dariku selagi kau menikmatinya. Aku benci asapnya.”

Mungkin terdengar ketus jawabanku, tapi suasana hati yang sedang terombang-ambing ini diselipkan masalah baru, siapa yang tidak kesal. Jika dipikir-pikir kembali, kenapa dia bersikap seperti itu? Kemana hilangnya sifat dingin itu, apakah telah mencair atau……

Sudahlah, intinya kami semakin dekat sejak saat itu. Kurasa kini dia semakin menunjukkan jati dirinya (berarti selama ini dia berpura-pura?) Entahlah, tapi dunia kecilku sekarang tidak lagi sepi. Bunga-bunga dan hewan kecil yang indah mulai menetap di sini. Aku rasa luka lamaku telah kering.

Hari demi hari, minggu demi minggu dan kini tidak terasa enam bulan telah berlalu. Baru kemarin kiranya aku mengetahui nama Si Nomor Satu bahkan tidak pernah terpikirkan jika aku akan menjadi ‘orang penting’ dalam ceritanya (ini hanya pemikiranku, jangan ditiru). Hubungan kami  semakin dekat  rasanya, tapi tidak jelas arah tujuannya.

Kabar tidak menjadi prioritas utama karena kami memiliki kesibukan tersendiri. Kekurangannya adalah menghilang seperti ditelan bumi dan tiba-tiba muncul seperti tidak terjadi apa-apa. Awalnya kami selalu berselisih mengenai kebiasaannya itu, tapi kini aku sedikit sadar jika bukan ranahku untuk marah. Lagi pula kami bukanlah sepasang kekasih bukan?

“Kamu harus mendengar ini meski itu menyakitkan.” Sebenarnya hati ini tidak siap untuk mengetahui apa pun itu yang akan merusak dunia kecilku yang asri. Namun logikaku menyanggah dengan angkuh.

“Ceritakan semua, aku siap.”

Setelah mendengar penjelasan dari ‘buku tak kasat mata’ sahabatku, tubuhku kembali membeku. Kali ini berbeda dari sebelumnya, terasa sesak sekali hingga tak sadar ada air mata yang turut mengalir. Aneh, aku tersenyum tapi rasanya ada sosok lain yang menguasai tubuh ini, seakan memerintahkan air mataku untuk bekerja keras agar keluar dari sarangnya.

Kenapa seperti ini, lagi?

Setelah angin puting beliung itu datang (kali ini aku yang mengizinkannya masuk), dunia kecilku berantakan tapi tidak separah dulu. Rasanya luka lamaku telah mengajari tanah di sini untuk tetap menopang akar tumbuhan yang goyah. Aku tidak sesakit dulu, mungkin karena aku sudah bisa menebak alurnya, lagi.

“Jangan pernah menganggap ucapanku serius,” ucapnya dengan nada tenang.

Tunggu, tenang? berarti selama ini, hanya ekspektasiku yang berlebihan? Atau sebenarnya dia juga begitu dengan semua orang?

“Baiklah, aku tidak akan mengganggumu lagi dengannya, terima kasih telah bersamaku selama ini.”

Itu adalah salam terakhir yang dapat kuberikan untukmu. Meski aku tertawa menyampaikannya, namun perih rasanya. Baru kali ini aku bisa melangkah dengan cepat, tapi tanganmu lebih cepat untuk mencegahku.

“Aku tidak mendekati siapa pun, selain dirimu.”

Seharusnya aku merona, tapi kali ini aku biasa saja.

Aku kembali mati rasa.

 

Penulis : Restu Tresnawati

Penyunting : Dyana

You May Also Like