Nengah Kuti : Meniti Hidup dengan Berguru pada Pertiwi

Ada  yang mengatakan manusia terlahir dari tanah dan akan kembali lagi kepada tanah itu sendiri, yaitu pada Pertiwi, Ibu dari alam semesta. Seperti halnya di Desa Tojan yang dahulu dikenal dengan sentral kerajinan gerabah, ipidan waktu tiang cenik nak buka banjar deriki megae pidan,”  tutur Nengah Kuti tatkala mengingat betapa riuhnya perajin gerabah di rumahnya dahulu . Namun, kini di masa tuanya, Nengah Kuti menjadi satu-satunya perajin gerabah yang tersisa di Tojan. 

 

Tak dapat diingat kapan pastinya, pun di tahun kapan, tatkala Nengah Kuti berhenti dari pendidikannya di bangku kelas dua sekolah dasar. Satu hal yang pasti dalam ingatannya, berhentinya ia mengenyam pendidikan di bangku formal tersebut membawanya berguru pada Ibu dari alam semesta ini, pertiwi. “Ampun uling tiang cerik suud masuk SD, tiang ten masuk, masuk nika kelas 2 suud, mebekel ten taen, nak pis ten ade (sudah dari saya kecil tamat SD, saya tidak sekolah, hanya sampai kelas dua saja, tidak pernah bawa bekal karena tidak ada uang -red),ungkap Nengah Kuti dalam Bahasa Bali, kala mengingat musabab pastinya memulai pekerjaan sebagai seorang perajin gerabah.  

 

Tradisional- Proses pembuatan gerabah di kediaman Nengah Kuti yang masih tradisional

Namun, putus sekolah tak menandakan belajar boleh berhenti, juga tak menandakan gedung kehidupan tak bisa dicicipi lagi. Kegemarannya untuk belajar mendorongnya untuk mengenali dunia tanah liat.  Latar belakang keluarga Nengah Kuti yang juga dominan berprofesi sebagai seorang perajin gerabah  mengajaknya untuk menyelami dunia tanah liat tersebut, bahkan sebelum sekolahnya terhenti.  “Nggih orang tua ampun megae, tiang nak demen melajah, kene be tiang, kale welange kin orang tuane simalu, orange menggangu ngedegdog orange ( Ya, orangtua sudah bekerja, saya memang suka belajar, jadi mau belajar tapi sempat dimarah dulu sama orangtua -red), kenang Nengah Kuti, ketika kembali mengingat memori lama yang menyenangkan itu.

Desa Tojan dalam Putaran Pelarik Gerabah

Tak ada yang  kekal di dunia ini, kecuali perubahan, seperti halnya yang terjadi di desa Tojan.  Dahulu desa ini dikenal dengan sentral kerajinan gerabah. Dari tangan-tangan terampil perajin gerabah Desa Tojan, banyak dihasilkan kerajinan gerabah  berkualitas tinggi. Seperti yang dituturkan Nengah Kuti ketika rumah masa kecilnya dahulu begitu sesak dengan orang-orang yang bekerja membuat gerabah dari tanah liat “Ampun ada ne maluan, ampun uli dadong nika, nak uling keturunan turun temurun gaene iniki, ipidan waktu tiang cenik nak buka banjar deriki megae pidan, dereng wenten ledeng, ngae jun, ngae kekeb, gek ten uning jun ? nak care ipidan ne kayeh nyuun jun. Pih gede- gede biin deriki, gedenan ken niki, ah tegeh-tegeh, gede-gede, terkenal niki pegaen Tojan (Sudah dari dulu pekerjaan ini, dari nenek saya, pekerjaan ini turun temurun. Dulu ketika saya kecil, di sini ramai seperti banjar -red),” kenang Nengah Kuti ketika mengingat desanya tersebut pernah ada di masa jaya-jayanya pusat gerabah. 

Kini, seperti putaran pelarik gerabah, cerita kehidupan perajin gerabah di Desa Tojan juga berubah. Tak terdengar lagi sayup-sayup perajinnya. Hanya Nengah Kuti yang bertahan. Di masa tuanya, tak ada cerita lagi sebayanya atau penerusnya yang mau melanjutkan pekerjaan ini. Menurun bahkan nyaris tiadanya keberlanjutan perajin gerabah di Desa Tojan salah satunya karena rendahnya minat generasi muda dalam menggeluti pekerjaan  ini. “Kalau dulu memang gerabah itu kan sangat terkenal sekali di daerah Tojan. Hampir di seluruh rumah tangga itu kegiatannya ya membuat gerabah, dulunya. Mungkin sekitar tahun 80-an ya. Tapi dengan kemajuan teknologi yang sekarang ini, gerabah itu sampai saat ini udah gaada di wilayah desa Tojan. Karena sekarang kebanyakan anak muda yang tamat SMA cenderung mencari pekerjaan keluar,” ungkap Kepala Desa Tojan. 

Tatkala Tim Konvergensi Media Jelajah Jurnalistik 2023 bertandang ke kediaman Nengah Kuti (13/7), ia sedang sibuk memutar pelarik gerabahnya. Tangan Nengah Kuti begitu terampil memoles tanah liat itu menjadi sebuah payuk kecil. Di sisi bangunan itu pula, nampak berjejer beberapa jenis gerabah yang kerap digunakan untuk kegiatan yadnya,  sedangkan untuk peralatan dapur, Nengah Kuti tak pernah lagi membuatnya sebab segala peralatan dapur modern kini lebih banyak diminati. 

Polesan- Polesan gerabah setengah jadi sebelum dikeringkan

Dalam kesehariannya, Nengah Kuti akan mengerjakan pesanan gerabah berdasarkan kebutuhan pasar. Pesanan itu akan disalurkannya lewat seorang pengepul di pasar Galiran. Pengepul tersebut tak pernah membiarkan pesanan gerabahnya kosong, “de ngoyong mbok, de ngoyong, apa ye sing ngelah mai aba. Payu masi tiang. Nggih astungkara Bhatara sueca, nika pun mayuaan langganan tiange (Jangan diam mbok, jangan diam. Kalau tidak ada apa, sini aja bawa. Astungkara, Tuhan memberkati, langganan saya itu yang membuat laris -red).   

 

Pekerjaan “Mulia” 

Penggunaan “air” sebagai salah satu sarana utama dalam upacara dan berbagai tradisi, menjadikan kerajinan gerabah utamanya payuk diperlukan. Sehingga pesanan gerabah Nengah Kuti akan selalu dicari untuk melengkapi sebuah prosesi upacara. Masih segar dalam ingatannya, kala pesanan datang dari seseorang di seberang, Nusa Penida, yang mendatanginya secara langsung ke rumahnya untuk membuat gerabah dengan jumlah nyonyoan (ukiran yang dibuat menonjol seperti mata pada sisi samping gerabah -red) sejumlah empat belas mata. Orang tersebut mengatakan sudah mencari ke berbagai sudut wilayah di Karangasem dan Badung, tetapi tidak bisa menemukan gerabah sesuai dengan kebutuhan upacara yadnya yang akan dilaksanakannya. Akhirnya orang tersebut dipertemukan dengan Nengah Kuti.

Ketika itu, Nengah Kuti mengaku pesanan untuk yadnya tersebut tergolong rumit, apalagi mesti dikerjakan dalam waktu yang cepat.  Namun, ia sadar bahwasannya upacara tersebut begitu membutuhkan kerajinan gerabah  tersebut, dan hanya tangan Nengah Kuti yang saat itu bisa menolong, mungkin jika tidak, upacara tidak akan berjalan. 

Payuk- Potret beberapa payuk dengan nyonyoan hasil tangan Nengah Kuti

Termasuk segala hasil kerajinannya yang dikirimkan ke pengepul di pasar  akan bermuara untuk kepentingan upacara umumnya upacara otonan (ulang tahun kalender Bali -red)  Seperti ketika tim konvergensi media berkunjung ke kediamannya, ia sedang membuat pesanan gerabah “Kene ampun nak mebayuh, ada nyonyo empat, nyonyo lima, nyonyo enem sampai solas. Nika ampun beda-beda tergantung lekad ne, menurut wuku, wenten nganggon solas, wenten nganggon patpat menurut kelahiran. Nak niki lais, niki ampun tiang orahine ngae (Gini sudah kalau ada yang mebayuh , ada yang pesan nyonyo  empat, nyonyo lima, nyonyo  enam sampai nyonyo sebelas. Itu berbeda-beda tergantung kelahirannya, menurut perhitungan kelahiran Bali, ada yang pakai sebelas , empat, tergantung kelahiran. Yang seperti ini laris dan seperti ini yang saya diminta buat  -red).  

Sebagai pengrajin gerabah yang tersisa, Nengah Kuti  sering dikunjungi oleh siswa-siswa yang melakukan observasi mengenai sebuah karya keterampilan. Tak pernah berat, ia begitu mudah menerima kedatangan setiap orang yang mengunjunginya untuk sekadar melihat pembuatan gerabahnya yang masih tradisional tersebut. 

Menemui Sekolah Kehidupan

Tak banyak hal yang bisa dilakukan. Selain terus melakoni pekerjaan sebagai seorang perajin gerabah tanah liat.  Cerita putusnya sekolah Nengah Kuti terdahulu, mengajak Nengah Kuti untuk merefleksi kehidupan dengan bersekolah pada alam, pada semesta dan Yang Maha Kuasa.  

Pembakaran- Nengah Kuti sedang mempersiapkan tempat pembakaran gerabah tanah liat yang telah dibentuk

Bekerja dengan alam, artinya siap untuk memahami dan menghadapi perubahan pada alam yang tak menentu, seperti cuaca hujan. Pekerjaannya yang membutuhkan matahari untuk mengeringkan kerajinan gerabahnya seringkali terhambat karena rintik hujan berjatuhan. Akhirnya, Nengah Kuti hanya bisa menunggu,  “ten megae, ngoyong tiang, derika megae tampiasan (Tidak bekerja saya, kalau di sana saya bekerja nanti terkena air hujan -red)”  

Ketika ada urusan adat, Nengah Kuti juga akan mengambil jeda libur untuk membantu kerabatnya ngayah. Kadangkala itu juga membuatnya kesulitan untuk membagi waktu, mengingat usia dan tenaga yang tak lagi muda. “Mangkin masan anak ngaben ngeroras, niki ampun tiang penda, di telun ampun tiang ngabe 20 set, enggal-enggalang tiang. ampun,  mbok, jani be liu anake ngaben ngeroras ngadep pedudusan, enggal-enggalang tiang 20 ampun ngabe, jani nyonyo-nyonyoanne be kosong san, nenten tiang mesesana lek, nggihh, ber ketuang tiang, kenkenan tiang ngae canang  liman tiang dadua, mancan tiang medengokan, mancan ngejot baas awai, mancan tiang ke sema. Nenten jalanang sesanane lek atine, nak di desa liunan sesana ( Sekarang lagi musim upacara ngaben dan ngeroras, ini saya sudah dua kali, tiga hari lalu saya sudah bawa 20 set, buru-buru saya,  saya dikasi tahu karena sudah musim upacara banyak yang memerlukan dan banyak yang kosong gerabahnya, tapi mau bagaimana, kalau saya tidak menjalankan kewajiban adat ya malu, gimana juga mau buat canang sediri, belum lagi urusan adat, tangan saya cuma dua -red), tuturnya ketika pesanan membludak bersamaan dengan adanya upacara ngaben di desanya.  

Namun, sorot wajahnya tak menunjukkan cemas. Kalau-kalau kesibukan lain tak bisa membuatnya fokus membuat gerabah atau kehilangan pelanggan. Seperti  yang perempuan ini yakini sejak awal ketika memulai sebagai perajin gerabah, sejak itu Nengah Kuti berguru  hidup pada Sang Ibu Pertiwi “Astungkara, Sang Hyang Widhi, yen tiang ten megae nang dasa lemeng, nang molas lemeng, kari nyidaang tiang,  gae niki tiang niki doen, niki doen. Nak astungkara nika nak Sang Hyang Widhi ampun sueca,tiang ten ngelah gae napi sajan , tiang ten bogbog. Nak astungkara nyidang ngencegan canang rainan nak ngidang tiang (Astungkara, Sang Hyang Widhi Wasa, kalau pun saya tidak bekerja sekitar sepuluh hari, lima belas hari, saya masih bisa, pekerjaan saya ini saja. Tapi astungkara  Sang Hyang Widhi Wasa memberkati, saya bener-bener tidak punya apa, tidak bohong. Tapi astungkara masih bisa menghaturkan canang -red)  

Nengah Kuti,  telah banyak belajar dan berguru pada alam, pada Ibu Pertiwi. Ungkapan lahir dan kembali ke tanah, bukan hal baru lagi baginya. Tanah adalah bagian dari perjalanan hidupnya di Desa Tojan sampai kini, meskipun banyak orang yang akhirnya memilih pergi. Namun, ia memilih bertahan dan setia meskipun hanya tersisa Nengah Kuti seorang. 

  

Penulis : Dyana, Santika, Wid

Penyunting : Wid

You May Also Like