(ilustrasi: Republika.co.id)
Diterima, namun tidak ditoleransi. Tidak legal, namun tidak juga ilegal. Dilema, itulah kata yang pas untuk menggambarkan nasib dari kelompok LGBT yang berkembang di Indonesia. Namin, setelah peristiwa “Pesta Gay” di Kelapa Gading, Jakarta, pada 21 Mei lalu, kepastian sikap negara terhadap kelompok homoseksual ini akhirnya terlihat. Kejadian yang berujung pada penangkapan serta penahanan 141 pria homoseks ini menuai perhatian beberapa media ternama dunia seperti CNN, New York Times, Arabnews dan Aljazeera. Media berita online Kompas menyebutkan bahwa CNN menulis penangkapan dan pengenaan pasal pornografi menjadi sikap tegas terhadap kaum LGBT di Indonesia. New York Times pula menyuarakan hal senada, namun sedikit kontradiktif dimana kaum LGBT yang belum dianggap illegal namun dikenai pasal anti-pornografi oleh aparat penegak hukum.
Hingga detik ini, LGBT masih menjadi isu yang menuai pro dan kontra di masyarakat. Literasi terkait komunitas ini pun tersebar begitu banyak, salah satunya terkait sejarah perkembangan LGBT. Secara kronologis, LGBT di Indonesia paling tidak sudah ada sejak era 1960-an. Ada juga yang menyebut di periode 1920-an, akan tetapi, pendapat terbanyak mengatakan LGBT sudah mulai berkembang dari masa 60-an. Perkembangannya berlanjut ke era 80-an, 90-an, lalu ‘meledak’ di era milenium 2.000 sampai saat ini.
Sejak awal kemunculannya, sesungguhnya nasib kaum LGBT selalu berada dalam bayang-bayang abu-abu. Tak hanya di Indonesia, secara umum kaum LGBT di seluruh dunia pernah menerima perlakuan tidak menyenangkan dari kelompok non-LGBT. Salah satu contoh yakni kejadian penembakan di gay bar di Orlando, Amerika Serikat pada 2016 lalu. Kejadian semacam ini, dalam ilmu sosiologi diistilahkan sebagai bentuk dari hate crime, yakni kejahatan berbasis kebencian. Pelaku hate crime biasanya mencari anggota dari kelompok sosial tertentu baik itu agama, suku, ras, ataupun orientasi seksual sebagai target kejahatan mereka. Bedanya dengan pelaku kejahatan lain, pelaku hate crime tidak dimotivasi oleh dendam atau kebutuhan ekonomi. Mereka melakukan perbuatan keji karena didorong rasa benci terhadap kelompok tertentu yang menurut anggapan mereka menjijikkan atau tidak pantas hidup. Kelompok homoseksual tentu saja juga menjadi salah satu target empuk untuk hate crime karena mereka dianggap menyimpang, berdosa, dan menjijikkan.
Keberadaan kaum LGBT tidak pernah bisa lepas dari pro-kontra dan penyudutan berbagai kalangan. Ada beragam keyakinan populer di masyarakat terkait LGBT, seperti mereka dikategorikan sebagai “orang sakit jiwa”, dan harus menjalani “rehabilitasi”. Terdapat pula seruan yang menuduh bahwa propaganda oleh kaum gay tengah melebar dan menjadi ancaman dalam negeri, yang mengakibatkan muncul himbauan untuk melakukan sensor. Informasi-informasi simpang siur yang tidak benar-benar jelas presentase kebenarannya ini tak lain membuat kaum LGBT kian disudutkan oleh masyarakat. Sebelum pemerintah pada akhirnya mengambil tindakan berupa penegakan hukum terhadap kelompok LGBT, masyarakat telah melakukan tugas ‘memberi hukuman’ kepada mereka jauh lebih dulu. Bentuk-bentuk diskriminasi, penganiayaan fisik dan mental, bahkan hingga pembunuhan yang secara langsung merenggut sejumlah hak asasi manusia dari kelompok LGBT seperti untuk bisa hidup dibawah tekanan dan ancaman. “Hukuman” untuk kaum ini pun alih-alih tampaknya makin diperlebar saat sempat muncul isu bahwa orang gay tidak boleh melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas, lalu kasus penggrebekan “pesta gay” Kelapa Gading yang berujung pada vonis pelanggaran pasal pornografi.
Mengutip hasil penelitian yang dilakukan oleh Arus Pelangi di tahun 2013, dengan hasil 89,3% LGBTI di Indonesia pernah mengalami kekerasan; 79,1% mengalami kekerasan psikis; 46,3% kekerasan fisik; 26,3% kekerasan ekonomi; 45.1% kekerasan seksual; dan 63.3% dalam bentuk kekerasan budaya—pengusiran dari tempat tinggal, dituntut untuk menikah, serta pemaksaan menikahi orang yang tidak disukai. Pelaku utama dari kekerasan budaya antara lain keluarga sebesar 76,4% dan teman-teman dari subjek sebanyak 26.9%. Data-data ini memperlihatkan bahwa komunitas LGBT sangat rentan terhadap kekerasan, stigma, dan diskriminasi di ruang publik.
Status kelompok LGBT yang senantiasa berada dibawah bayang-bayang ancaman, tidak heran jika pergerakan menuntut kebebasan, pengakuan dan hak untuk kelompok dibawah naungan bendera pelangi ini bermunculan disana-sini. Gerakan demonstrasi merupakan sebuah bentuk penyuaraan yang terbilang progresif mengingat rata-rata kaum LGBT memilih untuk hidup tanpa mengungkapkan orientasi seksual atau identitas gender mereka secara terbuka, dengan tujuan melindungi diri dari diskriminasi atau kekerasan. Namun tentu saja, sikap yang berdasarkan tujuan ‘demi kebaikan’ sekalipun masih bermuara pada pembatasan hak-hak atau pengekangan dari salah satu kaum minoritas yang nyatanya ada di Indonesia. Seberapapun kerasnya suara seruan kaum LGBT menuntut diberikannya pengakuan, apabila bentuk penolakan dari mayoritas dalam berbagai cara tetap dikukuhkan, alhasil kemerdekaan yang selama ini menjadi impian akan tetap jauh dari jangkauan.
Itulah potret dari kelompok LGBT, kelompok ‘tabu’ yang tak henti-hentinya menuai pro dan kontra di masyarakat. Mereka yang tidak sepenuhnya ilegal namun tidak pula ditoleransi. Memang tidak semua orang setuju akan keberadaan kelompok ini, sayangnya tidak sedikit pula yang lupa bahwa kelompok LGBT juga manusia, yang kecuali orientasi seksualnya, masih sama seperti masyarakat hetero/non-LGBT. Kemirisan terletak di bagian ada hak-hak yang seketika terlupakan lantaran persepsi yang didasari oleh kebencian. Sebaiknya, daripada terburu-buru untuk menghujat kaum LGBT, tak ada salahnya jika kita melakukan sebuah tinjauan ulang dari berbagai aspek terlebih dahulu. Masyarakat yang berintelektual patutnya bisa memilah mana dari alasan, isu serta informasi yang benar-benar masuk akal dan yang tidak. Butuh pemahaman yang baik terlebih dahulu sebelum melompat pada keputusan tindakan.
Namun apabila keberadaan kelompok LGBT masih dirasa jauh untuk bisa diterima oleh suatu masyarakat, maka paling tidak, jangan sampai tindakan kekerasan yang angkat bicara. Sebab pada dasarnya, semuanya sama-sama manusia.
Akan sampai kapankah kelompok LGBT hidup dalam bayang-bayang abu-abu? Jawabannya, mungkin, tak seorangpun ada yang tahu.(krt)
(*dari berbagai sumber: Kompas.com, Suarakita.org, HumanRightsWatch.org, Aruspelangi.org, Detik.com, Megapolitan.Kompas.com, Republika.co.id