Nyepi Segara: Harmoni Kebudayaan Berbalut Konservasi

Menilik Nyepi Segara sebagai suatu tradisi “memuliakan” laut yang penuh akan nilai-nilai filosofis dan keterkaitannya dengan Tri Hita Karana

 

Pendahuluan

Jika kebudayaan dikatakan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan budi dan akal pikiran, maka budaya maritim adalah pemberdayaan budi dan akal pikiran untuk menata keseluruhan aspek kehidupan manusia melalui pemanfaatan semua hal yang terkait dengan kelautan (Oktavianus, 2019). Bahasa dan budaya maritim sangat mewarnai budaya Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari leksikon-leksikon dan ungkapan-ungkapan kelautan yang dipakai pada berbagai ranah penuturan. Indonesia disebut sebagai negara maritim tidak hanya berdasarkan pertimbangan letak wilayah secara geografis sebagai negara kepulauan yang diselingi oleh laut tetapi juga secara linguistik bertolak dari banyaknya leksikon dan ungkapan yang dibentuk dari segala sesuatu yang terkait dengan kelautan.

Nyepi Segara sebagai salah satu budaya maritim yang secara turun temurun selalu dilaksanakan oleh Masyarakat Desa Adat Kusamba, Klungkung. Nyepi segara merupakan kegiatan penghentian aktivitas di pesisir maupun lautan baik kegiatan melaut ataupun penyeberangan selama 12 jam mulai pukul 06.00 – 18.00 wita yang merupakan rangkaian upacara Ngusaba Segara lan Ngusaba Nini di Pura Segara Desa Adat Kusamba setiap Purnama Sasih Kelima (Negara, 2022).

Interpretasi Nyepi Segara dalam Filosofi Tri Hita Karana

Hidup harmonis seperti aman, damai, sejuk, sejahtera dan sejenisnya merupakan dambaan setiap orang yang normal di dunia ini. Membangun kehidupan bersama harmonis, dinamis dan produktif di bumi ini memang membutuhkan landasan filosofis yang benar, tepat, akurat dan kuat. Dengan demikian kehidupan bersama itu akan menjadi wadah setiap insan yang mendambakan kesejahteraan lahir batin secara utuh dan berkesinambungan (Suadnyana, 2020). Dalam agama hindu khususnya umat hindu di Pulau Dewata, kita mengenal istilah Tri Hita Karana. Tri Hita Karana pada hakikatnya adalah sikap hidup yang seimbang antara memuja Tuhan dengan mengabdi pada sesama manusia serta mengembangkan kasih sayang pada sesama manusia serta mengembangkan kasih sayang pada alam lingkungan (Yhani, 2020). Secara etimologis bahasa Sanskerta istilah Tri Hita Karana berasal dari kata “tri”, “hita” dan “karana”. “Tri” artinya tiga, “Hita” artinya bahagia, dan “Karana” artinya Penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana sebagai istilah berarti Tiga Penyebab Kebahagiaan. Tri Hita Karana sendiri mencakup tiga hal yang dibagi kedalam tiga istilah yakni; Palemahan yakni hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan, Pawongan yakni hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia serta yang terakhir Parahyangan yakni hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan.

Bali yang lekat akan berbagai tradisi yang lahir dan masih mendarah daging di tengah masyarakat tidak lepas pengaruhnya akan filosofi Tri Hita Karana. Sebagai suatu konsep yang mengakar di kehidupan masyarakat, Tri Hita Karana dapat diuraikan melalui 3 pendekatan filosofis terhadap adanya tradisi Nyepi Segara yang rutin dilaksanakan setiap tahunnya. Dalam menguraikan tentang konsep Tri Hita Karana tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan filsafat yaitu aspek ontologi, aspek epistemologi dan aspek aksiologi (Yhani, 2020). Ketiga aspek dalam berpikir filsafat antara ontologi, epistemologi, dan aksiologi saling berhubungan satu sama lain. Jika berbicara tentang epistemologi ilmu, maka harus dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu juga.

Ontologi kerap kali diidentikkan dengan metafisika. Ontologi merupakan cabang ilmu filsafat yang berhubungan dengan hakikat apa yang terjadi. Ontologi menjadi pembahasan yang utama dalam filsafat, dimana membahas tentang realitas atau kenyataan (Rokhmah, 2021). Dalam tinjauan ontologis, Tri Hita Karana dapat diartikan sebagai pandangan tentang bagaimana segala sesuatu yang ada di alam semesta saling berhubungan dan berinteraksi untuk mencapai keseimbangan dan harmoni dari segala aspek hingga segi metafisika/ketuhanannya. Dalam kaitannya dengan Tri Hita Karana, tinjauan ini selaras dengan konsep Parahyangan atau hubungan harmonis antara Manusia dengan Tuhannya. Nyepi Segara yang dilaksanakan tepat satu hari setelah Ngusaba Segara dan Ngusaba Nini. Menurut Bendesa adat Desa Kusamba, AA Gede Raka Swastika, Nyepi Segara dilaksanakan secara simbolik sebagai upaya mengingatkan dan ucap syukur kepada Sang Hyang Baruna dalam kepercayaan hindu sebagai penguasa laut karena telah memberikan keselamatan serta hasil-hasil laut yang melimpah sebagai penghidupan. Penghormatan ini dilakukan melalui berbagai sarana persembahan yang disebut dengan banten. Sesajen berupa jajan yang dibuat semuanya berbentuk menyerupai ikan sejumlah 375 jenis serta Pala Bungkah dan Pala Gantung yang nantinya akan dilarung ke laut.

Epistemologi sebagai ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Jadi, epistemologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan dan dipelajari secara substantif (Rokhmah, 2021).  Tinjauan  epistemologi dapat diartikan sebagai cara menganalisa asal mula suatu hal melalui sumber-sumber terpercaya baik dari sisi tokoh ataupun literatur-literatur terdahulu. Berdasarkan keterangan Bendesa adat Desa Kusamba, AA Gede Raka Swastika, asal mula Tradisi Nyepi Segara berawal dari adanya Pura Segara yang menjadi Pura Swagina yang diempon oleh para nelayan, petani garam serta masyarakat yang mencari penghidupan sepanjang Pantai Kusamba. Belum diketahui secara pasti kapan tepatnya hal tersebut dimulai sebab belum ditemukan lontar ataupun peninggalan yang menjelaskan secara pasti waktu mula adanya tradisi ini. Dahulu, Pantai Segara yang menjadi jalur persimpangan dan penyeberangan nelayan-nelayan terutama asal Bajo dan Makassar. Dari sinilah upacara Nyepi Segara pertama dilaksanakan serangkaian dengan kegiatan Ngusaba Segara dan Ngusaba Nini. Sejak terbentuknya desa adat pada 1990, tradisi ini menjadi tanggung jawab penuh desa adat sehingga melibatkan seluruh krama dari delapan banjar yang ada menjelang sepuluh hari sebelum puncak kegiatan Ngusaba berlangsung.

Salah satu cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya disebut aksiologi. Aksiologi mencoba untuk mencapai hakikat dan manfaat yang ada dalam suatu pengetahuan. Berpijak pada landasan aksiologi, suatu pernyataan ilmiah dapat dianggap benar bila pernyataan ilmiah tersebut mengandung unsur aksiologi di dalamnya yaitu adanya nilai manfaat bagi kehidupan manusia. (Rokhmah, 2021). Dalam tinjauan aksiologi, Tri Hita Karana dari budaya Bali, mencerminkan nilai-nilai dan prinsip moral yang mendasari pelaksanaan suatu hal. Aksiologi adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan studi tentang nilai dan etika, termasuk nilai-nilai moral, estetika, dan nilai-nilai lain yang membimbing perilaku manusia. Adanya Nyepi Segara juga menjadi salah satu bentuk toleransi antar umat beragama. Seperti yang diketahui, Desa Kusamba dan Desa Kampung Kusamba berdampingan dengan mayoritas penduduk yang berbeda agama. Dalam pelaksanaannya, adanya Nyepi Segara ini sangat dihormati oleh masyarakat muslim Desa Kampung Kusamba dan dalam banten yang dihaturkan pun masyarakat Desa Kusamba juga merepresentasikan dan tetap menghormati keberadaan Nyama Selam. Panggungan yang merupakan bagian dari tempat upacara dibedakan sor-nya menjadi dua, yakni sor maguling bebek sebagai manifestasi penghormatan terhadap kontribusi dari pada saudara-saudara umat muslim dari Bajo Wajo dari Makassar atau dari bugis pada zaman terdahulu, dan satu lagi adalah sor maguling babi yang khusus untuk umat hindu di Desa adat Kusamba sesuai paparan dari AA Gede Raka Swastika selaku Bendesa adat Desa Kusamba. Hal inilah yang menyebabkan toleransi bisa terjadi hingga bertahun-tahun lamanya yang berdampak pada nilai-nilai yang diterapkan oleh masyarakat sekitar setiap harinya.

Berdasarkan pendekatan ontologi, epistemologi dan juga aksiologi Tri Hita Karana telah mengakar dalam adanya tradisi Nyepi Segara. Baik dari sisi hubungan ke atas kepada Tuhannya yang merepresentasikan bentuk penghormatan kepada Sang Hyang Baruna sebagai penguasa laut melalui sesajen berupa banten yang dilarung ke laut. Hal ini tentu tidak terlepas dari kepercayaan agama yang dianut oleh masyarakatnya. Kemudian, hubungan horizontal antar sesama manusianya dapat dilihat dari asal muasal terbentuknya Nyepi Segara melalui persinggahan nelayan dari berbagai wilayah nusantara dimana berasal dari berbagai etnis dan agama. Kejadian inilah yang selalu memberi kesan historis sehingga toleransi sesama manusia dapat dijaga hingga kini. Aspek terakhir yang tak kalah penting yang mencakup hubungan antara manusia dengan lingkungan yakni Nyepi Segara sebagai sarana memuliakan laut serta mengistirahatkan laut sebagai suatu ekosistem yang memberi sumber penghidupan bagi masyarakat pesisir Desa Adat Kusamba khususnya.

Refleksi dan Impak Nyepi Segara dalam Berbagai Lini

Nyepi Segara sebagai tradisi budaya maritim di Desa Adat Kusamba, memiliki nilai yang sangat berharga dalam melestarikan hubungan harmonis antara manusia dengan laut dan sumber daya alamnya. Nyepi Segara yang menceritakan tentang pemberdayaan budi dan akal pikiran untuk menghormati dan memanfaatkan kelautan dengan bijaksana bukan semata-mata seremonial, melainkan sebuah manifesto keterikatan manusia dengan alam sekitar dan hubungannya dengan Tuhan. Di tengah gemerlapnya dunia modern, tradisi ini mempertegas pentingnya menghormati dan memanfaatkan kelautan dengan bijaksana.

Nyepi Segara mengajarkan tentang pentingnya memperlakukan laut sebagai mitra hidup, bukan sebagai sumber eksploitasi semata. Masyarakat mengheningkan lautan selama 12 jam sebagai bentuk penghormatan dan refleksi atas peran laut sebagai sumber kehidupan. Tradisi ini menjadi peringatan bagi kita semua untuk menghargai dan melindungi lingkungan laut yang semakin terancam oleh aktivitas manusia.

Relevansi Nyepi Segara tidak hanya mencakup aspek lingkungan, tetapi juga dampak sosial dan spiritualnya. Perayaan ini menjadi sarana memperkuat persatuan dan gotong-royong di masyarakat Desa Adat Kusamba. Menghadirkan seluruh warga dalam persiapan dan pelaksanaan upacara, tradisi ini menggalang persatuan di antara mereka, menjembatani perbedaan agama dan etnis.

Peran pendidikan menjadi kunci untuk melestarikan dan mengembangkan Nyepi Segara. Pendidikan tentang nilai-nilai budaya, pentingnya menjaga lingkungan, dan hubungan manusia dengan alam harus ditanamkan sejak dini kepada generasi muda. Hal ini akan memastikan bahwa tradisi ini akan terus hidup dan berkembang dari generasi ke generasi.

Dalam kesempurnaan Nyepi Segara sebagai budaya maritim, tradisi ini menawarkan inspirasi bagi kita semua untuk menghargai dan melestarikan hubungan harmonis dengan laut dan alam sekitarnya. Dalam usaha merawat tradisi berharga ini, masyarakat Desa Adat Kusamba menjadi pelopor dalam menjaga kearifan lokal dan kekayaan budaya Indonesia.

Sejalan dengan julukan “Pulau Dewata,” Bali memang menyimpan jutaan cerita mengenai kekayaan dan kearifan lokal. Nyepi Segara menjadi salah satu khazanah budaya yang mengisi ladang penghidupan masyarakat Desa Adat Kusamba. Dengan semangat gotong-royong, seluruh warga bersatu dalam persiapan dan pelaksanaan upacara ini, menciptakan harmoni yang mengatasi perbedaan agama dan etnis. Semangat gotong royong masyarakat Kusamba yang disatukan oleh perayaan Nyepi Segara menarik perhatian cukup besar, menciptakan suasana saling pengertian dan kebhinekaan.

Tradisi ini memperkuat ikatan sosial antargenerasi dan mempertahankan hubungan harmonis antara masyarakat yang berbeda agama dan etnis. Tak hanya itu, perdagangan produk laut pun meningkat selama perayaan Nyepi Segara. Ikan segar, hasil laut olahan, dan garam banyak diperdagangkan sebagai bahan persembahan dalam pelaksanaannya. Hal inilah yang menciptakan peluang usaha bagi pedagang lokal. Selain itu, para nelayan juga merasakan manfaat ekonomi dari tradisi ini karena  adanya pengakuan penghormatan kepada Sang Hyang Baruna (penguasa laut) diwujudkan dalam persembahan berupa ikan dan hasil laut lainnya yang dilepas ke laut yang dipercaya mampu meningkatkan hasil laut guna kesejahteraan masyarakat.

Nyepi Segara dalam Mencapai Tri Hita Karana

Perubahan sosial budaya dan lingkungan merupakan sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat serta kondisi lingkungan yang ada di sekitarnya. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan (Baharuddin, 2015). Seiring perkembangan zaman dan derasnya transformasi sosial di Bali, masyarakat Bali pun mengalami perubahan. Berbagai julukan yang diberikan kepada Bali seperti pulau surga (The Paradise Island), pulau seribu pura (The Island With Thousand Temple), pulau dewata (The Gods Island), atau paginya dunia (The Morning Of The World), tampaknya bukan sesuatu yang berlebihan. Namun demikian, fenomena belakangan ini menunjukkan bahwa Bali telah berubah (Tanu,2018). Perubahan sosial budaya paling besar dan paling terasa dari masyarakat Bali saat ini adalah berubahnya mata pencaharian utama masyarakat Bali dari sektor pertanian menjadi pariwisata. Secara langsung maupun tak langsung, hal ini turut berimplikasi pada sistem sosial masyarakat Bali (Kamajaya & Nugroho, 2020). Selain itu bisa kita lihat salah satunya dari gaya berpakaian dimana dahulu masyarakat Bali tidak menggunakan baju namun bertelanjang dada, sekarang seiring zaman yang semakin maju mulai ada modifikasi-modifikasi salah satunya terbentuk pakaian berupa kebaya. Sedangkan, perubahan lingkungan bisa kita lihat secara nyata seperti makin berkurangnya lahan hijau yang dibanguni gedung bertingkat ataupun abrasi pantai yang kian parah di pesisir Pantai Kusamba Klungkung contohnya berdasarkan wawancara bersama Ketua Kelompok Petani Garam Sarining Segara, Mangku Rena.

Menyelami lebih dalam daerah-daerah yang ada di Bali, kita akan bertemu dengan Desa Kusamba. Sebuah desa yang terkenal akan kearifan lokal garam serta kental akan sejarah peradaban budaya, tradisi pun masih terjaga salah satunya Nyepi Segara. Nyepi segara sebagai suatu budaya yang selalu dijaga kelestariannya secara turun temurun juga rentan digerus perubahan. Perubahan yang terjadi bila direfleksikan dengan pelaksanaan Nyepi Segara bisa disimpulkan memiliki beberapa relevansi yang selaras dengan Tri Hita Karana dalam konsep umat hindu. Nyepi Segara merupakan perayaan hari raya keagamaan yang diniatkan untuk membersihkan dan melestarikan lingkungan laut. Selama perayaan ini, warga desa bersama-sama membersihkan pantai dan laut dari sampah dan melakukan upacara sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan dan alam. Dalam konteks perubahan lingkungan yang mungkin terjadi di masa kini, tradisi ini tetap relevan karena tetap mendorong kesadaran akan pentingnya konservasi dan keberlanjutan lingkungan yang selinier dengan konsep Palemahan dan Parahyangan yang ada. Selain itu, Tradisi Nyepi Segara melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam upaya membersihkan lingkungan dan melaksanakan upacara keagamaan bersama. Ini menciptakan ikatan sosial antara warga desa, membentuk solidaritas, dan memperkuat hubungan antarmanusia. Dalam konteks perubahan sosial yang terjadi di Bali, tradisi ini dapat berperan dalam mempertahankan nilai-nilai sosial dan kebersamaan. Upaya ini perlu partisipasi aktif antar sesama manusia sesuai konsep Pawongan. Sehingga, adanya Nyepi Segara ini merupakan suatu sarana yang dapat diterapkan dalam mencapai harmonisasi. Namun, perlu digaris bawahi perlu juga partisipasi aktif antar berbagai kepentingan untuk mencapai tujuan yang mulia tersebut.

Penutup

Nyepi Segara sebagai salah satu tradisi turun temurun masyarakat Desa Adat Kusamba, Klungkung Bali. Nyepi Segara merupakan kegiatan penghentian aktivitas di pesisir maupun lautan baik kegiatan melaut ataupun penyeberangan selama 12 jam mulai pukul 06.00 – 18.00. Dilaksanakan tepat 1 hari setelah Ngusaba Segara dan Ngusaba Nini, secara simbolik sebagai upaya mengingatkan dan ucap syukur kepada Sang Hyang Baruna karena telah memberikan keselamatan serta hasil-hasil laut yang melimpah sebagai penghidupan.

Berdasarkan pendekatan ontologi, epistemologi dan juga aksiologi Tri Hita Karana telah mengakar dalam adanya tradisi Nyepi Segara. Baik dari sisi hubungan kepada Tuhan yang merepresentasikan bentuk penghormatan kepada Sang Hyang Baruna melalui sesajen berupa banten yang dilarung ke laut. Hubungan horizontal antar sesama manusia tercermin dari asal muasal terbentuknya Nyepi Segara melalui persinggahan nelayan dari berbagai wilayah. Hubungan manusia dengan lingkungan terlihat dari Nyepi Segara sebagai sarana memuliakan laut serta mengistirahatkan laut sebagai suatu ekosistem yang memberi sumber penghidupan bagi masyarakat pesisir Desa Adat Kusamba.

Penulis: Andini, Devi, Dian

Daftar Pustaka

Suadnyana, I. B. P. E. (2020). Ajaran Agama Hindu Dalam Geguritan Kunjarakarna. Genta Hredaya, 3(1).

Yhani,P.C.C., dkk. (2020). Filsafat Tri Hita Karana sebagai landasan menuju Harmonisasi dan Hidup Bahagia. Sruti Jurnal Agama Hindu Vol 1. (1).

Negara, A.E.P. (2022). Nyepi Segara di Kusamba Klungkung, Aktivitas di Perairan Ditiadakan. Tautan: https://www.detik.com/bali/budaya/d-6397050/nyepi-segara-di-kusamba-klungkung-aktivitas-di-perairan-ditiadakan. (Diakses pada 27 Juli 2023)

Rokhmah, D. (2021). ILMU DALAM TINJAUAN FILSAFAT: ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI. CENDEKIA : Jurnal Studi Keislaman Volume 7, Nomor 2, Desember 2021; P-ISSN 2443-2741; E-ISSN 2579-5503

Kamajaya, G., & Nugroho, W. B. (2020). SOSIOLOGI MASYARAKAT BALI: BALI DULU DAN SEKARANG. MASA: Journal of History Vol. 2, No. 1, Juni 2020

Tanu, I.K. (2018). Bali Aga dalam Perubahan Sosial Budaya. Vidya Samhita: Jurnal Penelitian Agama, IV (1) 2018 p-ISSN: 2460-3376, e-ISSN: 2460-4445 Journal homepage: http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/vs

Baharuddin, B. (2015). BENTUK-BENTUK PERUBAHAN SOSIAL DAN KEBUDAYAAN. Al-Hikmah, 9(2). https://doi.org/10.24260/al-hikmah.v9i2.323

You May Also Like