Alunan nada dari Petikan Dawai Nolin seolah mengajak Tim Konvergensi Media Jelajah Jurnalistik turut bernostalgia akan rasa dan cerita di Mincidan, kala dahulu Nolin dimainkan untuk melepas penat sepulang dari berladang.
Bermusik bukan hanya sekadar suara dengan alunan nada, melainkan juga alunan rasa yang mengantarkan pada sebuah cerita. Seperti halnya kisah alat musik Mandolin di Banjar Mincidan, Desa Sulang, Kabupaten Klungkung. Rasa ingin tahu untuk melihat secara langsung kesenian Mandolin di Banjar Mincidan, mengantarkan Tim Konvergensi Media untuk bertandang kembali ke Desa Sulang. Setelah sempat sebulan lalu pencarian kami ke Desa belum mendapatkan titik temu dari keberadaan alat musik bersejarah ini.
Beruntung, kedatangan kedua kami ke Desa Sulang berbuah manis. Berkat bantuan Kepala Dusun Br. Mincidan, Wayan Budiasa, kami diantarkan menuju kediaman para seniman Mandolin. Di Mincidan, kami dipertemukan dengan dua orang seniman yang sudah memasuki usia senja, tetapi memiliki gairah besar terhadap alat musik ini, Nengah Mendra dan Wayan Sudiarsa.
“Nolin”, begitulah alat musik dari Negeri Tirai Bambu ini dikenal di Mincidan. Pada kisaran tahun 60-an, nolin menjadi primadona alat musik masyarakat. Hampir pada setiap rumah di Klungkung memiliki nolin untuk menghibur diri selepas penat berladang, “Di klungkung kan dari rumah-rumah biasanya ada satu. Kalau dulu, cerita orang tua tiang, ketika selesai dari ladang full sore hari ya, nah itu dipakai hiburan karena dulu kan tidak banyak ada hiburan, tidak ada media seperti TV dan lain-lainnya, jadi musik ini sambil ngopi, sambil metuakan,” tutur Putu Ariyasa, yang merupakan keponakan dari Nengah Mendra, sekaligus Kelian Sekaa Gong Swarga Suara ( Sanggar Kesenian Gong Mandolin di Mincidan –red) ketika diwawancarai melalui saluran telepon (30/7).
Dalam ingatan Nengah Mendra masih membekas alat musik ini ia peroleh dari orangtuanya yang bekerja di toko milik orang China, “raman tiange ade megae sik china ne meriki di Klungkung (orangtua saya dulu ada yang bekerja dengan orang China di Klungkung –red terjemahan).” Keadaan Nolin yang telah usang, menarik perhatian Nengah Mendra yang notabene gemar bermusik untuk meminta dan memperbaiki Nolin tersebut. Atas izin si empunya, Nolin tersebut akhirnya dibawa pulang dan masih disimpannya apik sampai saat ini.
Rindu Nostalgia
Meskipun menjadi alat musik primadona, Nolin sempat berhenti dimainkan di tahun 1965. Faktor tuntutan ekonomi yang semakin tinggi menyebabkan kegiatan hiburan tidak lagi menjadi prioritas. Orang-orang memilih untuk fokus bekerja, menyambung dan bertahan hidup “Namanya ekonomi tidak ada lagi niat ngibur, pipis ten ngelah makan sing ada (Namanya ekonomi tidak ada lagi niat hiburan, uang tidak punya, makan juga tidak ada -red terjemahan) ,” imbuh Putu Ariyasa mengenai sempat terhentinya kesenian Nolin.
Namun, rindu akan kenangan dan kecintaannnya dalam bermusik mendorong Nengah Mendra untuk membangun kembali puing-puing ingatan dalam memainkan Nolin. Keahlian memang tidak akan berbohong, lewat petikan dawai dari tangannya, Nolin seperti bernyawa kembali. “Niki nak demen ten kenten. Metembang biin malih kenten ( Karena ini hobi, suka juga. Jadinya main alat musik lagi –red). Melihat semangat Nengah Mendra, hati Putu Ariyasa tergerak untuk membersamai keberlanjutan Nolin di Mincidan “Nah tiang sendiri selaku anaknya, generasinya untuk membangkitkan ya. Nah singkat cerita jadi tiang kepengen supaya ada sekaa,” ungkapnya. Kemudian, perlahan segala alat musik penunjang mulai diisi seperti ceng-ceng, klenang, klempung, suling, kendang, untuk melengkapi Nolin menjadi satu barung gong. Termasuk Nolin yang telah lama tersebut juga diganti dengan Nolin baru yang dibelinya di Karangasem.
Akhirnya di tahun 2016, terbentuk Sekaa Gong Swarga Suara. Sanggar yang diinisiasi oleh Putu Ariyasa ini beranggotakan sembilan orang. Sejak dibentuk 2016, sanggar tersebut telah beberapa kali mengikuti pementasan diantaranya mewakili Klungkung dalam Pesta Kesenian Bali di tahun 2017 serta ikut tampil dalam sebuah perhelatan hotel yang berlokasi di Sanur “Orangtua tiange maan melali maan tampil , kenten (orangtua saya jadi dapat jalan-jalan, dapat tampil juga -red),” kenang Putu Ariyasa.
Sampai kini, diakuinya, Sekaa Gong Swarga Suara kerap mendapatkan tawaran untuk mengikuti pementasan. Ciri khas lagu yang dibawakan dalam pementasan Sekaa Gong Swarga Suara dari Mincidan ini ialah tabuh kuno sehingga menjadi pembeda Nolin di Mincidan dengan daerah lainnya, “kalau di klungkung ciri khas tiange (kami –red) tabuh kuno, tabuh gong yang lama-lama” ungkap Putu Ariyasa. Namun karena kesibukan dan juga para pemain yang rata-rata sudah berusia lanjut menjadi kendala tersendiri untuk terus memasifkan eksistensi dari Sekaa ini “Nggih tiang gen ampun umur 60. Bapak tiang, Pak Mendra ampun 80 umurne nika. Ya rata-rata umurne 60 ampun paling muda nika,” terang Putu Ariyasa.
Terang, harapan untuk adanya generasi penerus kesenian Nolin di masa mendatang. Sampai saat ini, masih jarang generasi yang mau mempelajari Nolin. “Nak ampun orahine , maan latihan cepok nika , be tare nyak biin. Ten ye ade, mentok , ampun tua-tua tiang (Sudah dapat disuruh , dapat latihan sekali gitu, cuma tidak lagi. Kalau tidak ada, ya berhenti, di sini sudah tua-tua -red) ” ungkap Wayan Sudiarsa.
Kini, Nolin yang ada lebih banyak diperuntukkan untuk kegiatan internal di Mincidan. Khususnya untuk upacara Yadnya. Selebihnya, Nolin tetap menjadi penghibur setia bagi mereka yang menikmatinya. Seperti halnya ketika melihat Nengah Mendra dan Wayan Sudiarsa berseri-seri memainkan alat musik petik itu. Seolah mengajak kami ikut bernostalgia seperti apa riuhnya dahulu Nolin dimainkan selepas berladang. Sambil sesekali kami dilemparkan pertanyaan, “adik bisa menyanyi? Nanti saya mainkan Nolinnya,” tuturnya.
Nolin, nadanya yang tenang sekaligus terdengar gamang di telinga generasi penerusnya, semoga kelak masih bisa didengar dari jaman ke jaman.
Penulis : Wid, Dyana
Penyunting : Kamala