Secangkir Kisah Arak Desa Tri Eka Buana

 

Arak Bali terikat dalam sejarah kebudayaan yang panjang. Bukan perkara mabuk, di Desa Tri Eka Buana, minuman ini menempati posisi penting dalam tatanan masyarakat. Ia muncul sebagai perekat sosial, ritual adat, pengobatan, hingga sumber penghidupan masyarakat produsennya. Meski kaya potensi, arak Desa Tri Eka Buana masih terjungkal regulasi.   

Belasan pohon kelapa menjulang tinggi di salah satu petak tanah basah yang lengket di Desa Tri Eka Buana, Sidemen, Karangasem pada Kamis (17/6). I Nengah Warta, seorang pengrajin arak kelahiran Desa Tri Eka Buana, sore itu berniat mencari bahan baku arak. Seraya memikul sebuah dirigen putih lusuh, ia melangkahkan kaki menuju salah satu pohon kelapa miliknya. Matahari memang cukup menyengat meski sudah menunjukkan 15.58 WITA. Oleh karenanya, hari itu ia ditemani sebuah topi bundar berwarna biru tua yang melingkari kepalanya. Warta kemudian sigap melangkahkan satu persatu kakinya pada batang pohon kelapa tersebut. Langkahnya pasti, tiada keraguan. Melompat dari dahan satu ke lain kemudian menyadap bunga kelapa yang diwadahi dalam dirigen putihnya. Saat itu, merupakan yang kedua kalinya ia memanjat pohon kelapa. “Biasanya saya manjat dua kali sehari, pagi dan sore,” ujar Warta saat diwawancarai di perkebunan pohon kelapanya.

Memanjat – I Nengah Warta, petani arak asal Desa Tri Eka Buana memanjat pohon kelapa untuk menyadap bunga kelapa sebagai bahan baku arak.

Rutinitas Warta itu sudah dilakoninya sejak tahun 1981. Begitu pula warga Desa Tri Eka Buana lainnya. Hampir 80 persen warga Desa Tri Eka Buana telah menjadi pengrajin arak layaknya Warta. Mata pencahrian sebagai pengrajin arak berlangsung sejak secara turun temurun. Bahkan, sejarah pembuatan arak dimulai dari kedatangan para tetua Desa Tri Eka Buana yang kala itu berniat bermukim di wilayah Desa Tri Eka Buana. “Pada awalnya desa ini merupakan sebuah hutan belantara dan leluhur desa ini tinggal di atas bukit. Ketika membuka desa ini, banyak terjadi halangan karena kondisi ‘tenget’(angker -red) yang masih menyelimuti. Isitlah yang sering disebut para Bhuta Kala (kekuatan negatif -red) yang kerap kali mengganggu manusia,” ungkap I Ketut Derka, selaku Kepala Perbekel Desa Tri Eka Buana saat membuka cerita perihal sejarah arak desa.

Derka melanjutkan ceritanya, raut wajahnya kian serius. “Saat itu, masyarakat di sini tiap tahunnya meninggal bertepatan dengan tilem kesanga (periode bulan mati pada bulan kesembilan -red),” lanjutnya. Kejadian yang terus berulang membuat warga Desa Tri Eka Buana harus memikirkan jalan keluarnya. Kematian beruntun itu wajib berakhir. Terlebih, hal ini merupakan fenomena niskala (hal yang tak kasat mata -red). Tentu, senjata fisik bukan jawaban. Cara macam apa yang dapat dilakukan untuk melawan sang Bhuta Kala? “Terpikirlah suatu ide untuk menyuguhkan alkohol pada Bhuta Kala agar ‘mereka’ mabuk dan lupa untuk menyerang manusia,” cerita Derka bak dalang dalam perwayangan. Siasat ini kemudian yang melandasi adanya penggunaan arak-berem pada bebantenan umat Hindu. Keterikatan historis tersebut kemudian diabadikan dalam sebuah tarian khas yang berhubungan dengan arak, yakni Utamaning Malini (untaian bunga kelapa yang menetes -red). Desa Tri Eka Buana kemudian disematkan sebagai desa pelopor produksi arak. Perkembangan arak kian berkembang dan terus melahirkan kebudayaan-kebudayaan baru, seperti adanya tradisi Jaga-Jaga (seekor sapi jantan dihias kemudian di arak hingga dagingnya dibagikan -red).

Menjelaskan – I Ketut Derka, Kepala Desa Tri Eka Buana menjelaskan mengenai sejarah dan potensi desa di ruang kantornya.

Di sisi lain, arak juga menjadi perekat sosial. Menurut penuturan Warta, seringkali dalam berbagai upacara-upacara yang berlangsung di Desa Tri Eka Buana, pasti diakhiri dengan minum arak bersama. “Kalau saya, tidak sampai mabuk,” ujarnya seraya tertawa kecil. Pada akhirnya warga desa saling melebur dalam interaksi sosial yang tercipta kala meminum arak bersama.

31 Buana, Siap Menantang Dunia

Bertahun-tahun warga Desa Tri Eka Buana melakoni hidup sebagai pengrajin arak, kini komoditas utama desa tersebut sungguh dikenal se-Bali. Dari arak, warga Desa Tri Eka Buana dapat hidup. Arak Desa Tri Eka Buana berbeda. Menurut Derka, Arak Desa Tri Eka Buana manis dan gurih, sebab terbuat dari kelapa murni tanpa campuran lainnya. Pembuatan arak khas Desa Tri Eka Buana harus dimulai dari memilih bunga kelapa dengan menyadapnya pagi dan sore hari secara terus menerus hingga empat hari lamanya buga kelapa akan meneteskan air. Petani arak akan membawakan beruk ke atas dan ditampung. Pagi diturunkan dan sorenya, bunga kelapa sedikit diiris. “Paginya arak juga disaring agar tidak ada lebah serta mengurangi bakteri dan kotoran sehingga didapatkan arak yang memiliki aroma dan rasa yang bagus,” papar I Gede Artayasa, selaku Ketua Koperasi KBS-Padat Desa Tri Eka Buana.

Alat destilasi – alat yang digunakan untuk mencari arak dengan masing-masing kadar alkohol.

Proses tersebut dilanjutkan dengan fermentasi dan disaring apabila sudah jadi. Hasil fermentasi kemudian disimpan pada suatu tempat dan ditambah sabut kelapa, kemudian masuk ke proses destilasi. Pada tahap destilasi, tetesan pertama diambil menggunakan suhu (750C-920C). “Nanti ditemukan arak dengan kadar 35%-40% yang disebut arak berkualitas bagus,” ujar pria yang karib disapa Artha tersebut. Lebih lanjut, bagi Artha, pembuatan arak rawan gagal. Potensi kegagalan terletak dalam proses fermentasi, yakni perkara rasa, kadar alkohol, aroma, dan lain-lain. “Suhu adalah faktor utama yang menentukan kualitas arak, untuk warga yang masih menggunakan alat tradisional suhunya masih mengira-ngira sehingga saat didestilasi untuk menentukan kadar didapatkan hasil yang hanya 20%, akan tetapi jika perkiraannya bagus bisa menghasilkan kadar 35-40%,” tambahnya.

Pesatnya perkembangan produksi arak di Desa Tri Eka Buana dan kian ketatnya persaingan penjualan bisnis minuman beralkohol membuat para petani arak di Desa Tri Eka Buana tidak hanya diam saja. Mereka kemudian menggagas sebuah produk khas Desa dengan merek 31 Buana. “Rencananya sudah mau distribusi tapi terhalang pandemi, semoga Agustus nanti saat pandemi sudah mereda, kami bisa distribusikan ke sektor pariwisata,” ujarnya.

Tidak Mudah Industri Arak: Digeledah, Ditangkap, hingga Disita

Keleluasaan yang petani arak rasakan dalam proses produksi arak saat ini tidaklah didapatkan dengan instan. Tergurat jelas dalam ingata Arta, sekitar tahun 1995-1996 kala itu produksi dan distribusi arak dari Desa Tri Eka Buana masih kucing-kucingan. “Dulu pernah digeledah polisi razia arak dirumah-rumah. Sehingga masyarakat demo hingga tingkat kabupaten,” ungkapnya. Demonstrasi yang dilakukan oleh para petani arak itupun kemudian membuahkan hasil, adanya tata kelola distribuasi yang diubah, yakni dilegalkan walau hanya sebatas pada wilayah Karangasem. “Tidak boleh dibawa keluar, bahkan kalau lewat perbatasan saja akan ditangkap,” lanjutnya seraya mengerutkan dahi. Selain itu, jumlah produksi arak pun dibatasi hingga terbatas 25 liter per hari.

Tidak hanya pada tahap produksi, kendala distribusi pun dialami oleh para pengepul arak dari Desa Tri Eka Buana. “Tahun 80-90an pengepul itu ditangkap sama polisi, saat lagi mengirim arak ke luar desa,” ungkap Warta. Kini, terbitnya produk hukum dalam upaya melegalkan industri minuman beralkohol dalam Peraturan Gubernur No. 1 tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan atau Destilasi Khas Bali, bagi Warta membawa kelegaan sekaligus juga kekhawatiran baru. Kabar baiknya, Warta dan petani arak lainnya tidak perlu melakoni produksi arak secara sembunyi-sembunyian. Arta pun memberi tanggapan yang sama. “Pergub sudah bagus karena menatur tata kelola agar tidak ilegal sehingga petani arak dapat lebih sejahtera. Akan tetapi untuk membuat legal lumayan sulit,” akunya. Misalnya, dalam urusan mengenai izin BPOM, produksi arak harus dilengkapi dengan pabrik produksinya. “Sedangkan untuk membuat pabrik belum bisa karena tidak ada perizinan pembangunan,” terangnya.

Meski belum memiliki kekuatan legalitas di tingkat nasional, arak Desa Tri Eka Buana kian berbenah terutama dalam hal pengelolaan. “Setelah Pergub, lalu dibuatkan wadah berupa koperasi. Petani arak yang sudah memproses araknya dibawa ke koperasi dan desa ini juga bekerja sama dengan Nikisake. Harga yang diberikan pada koperasi juga 20 persen naik ke petani,” jelas Derka. Koperasi dengan nama KBS-Padat (Koperasi Bersama Petani Sejahtera Desa Adat -red) itupun dibentuk dengan beranggotakan terdiri dari 40 orang atas respons dari Pergub. Adapun tujuan koperasi didirikan adalah untuk menghimpun dan menyeleksi bahan baku arak yang berkualitas berkualitas dari masyarakat dan didistribusikan yang nantinya dilegalkan oleh pabrik. Sayangnya, pandemi Covid-19 datang. “Kita sudah berupaya sebenarnya. Dimulai dari pengemasan hingga meningkatkan kualitas. Tapi disaat seperti ini (pandemi Covid-19) kurang tepat sebenarnya, kalau umpamanya jual dengan harga tinggi, masyarakat masih belum bisa beli, kalau murah petani kita rugi,” jelasnya. Oleh karenanya, pendistribusian arak merek 31 Buana ditunda hingga kondisi pariwisata membaik, agar siap terserap pasaran seraya terus membenahi produksi.

Bercerita – I Gede Arthayasa, ketua koperasi KBS-Padat menceritakan tentang proses pembuatan arak khas Desa Tri Eka Buana.

Di sisi lain, kekhawatiran baru itu mencuat tatkala kompetitor arak kian meningkat dikalangan warga desa. Hal ini dirasakan oleh Warta. “Bahkan arak dari luar Desa Tri Eka Buana justru mendominasi karena harganya yang lebih murah,” ungkapnya. Senada dengan Warta, Arta juga menyadari adanya kompetitor arak dari Desa Tri Eka Buana. Namun, ia tidak risau. Bukankah persaingan adalah hal yang lumrah? Ia tetap yakin pada kualitas arak Desa Tri Eka Buana. “Sebenarnya merek luar menyebabkan kerugian masyarakat, namun kami yakin kearifan lokal arak kelapa dapat berlindung pada Pergub,” ujarnya. Perihal keberpihakan desa pada petani arak Desa Tri Eka Buana, Derka tidak dapat berbuat apa terhadap persaingan tersebut. “Yang punya wewenang adalah desa adat. Dia bisa mengeluarkan pararem atau ada sanksi, dan lainnya,” papar Derka. Sebagai kepala desa dinas, Derka hanya menganjurkan agar warga tetap mendukung arak desa dan menyadari kebudayaan sendiri.

Keberpihakan menjadi Kunci

Seperti halnya Soju khas Korea Selatan yang kian meng-global, Arak Bali pun tak kalah ingin demikian. Dalam upaya pengembangannya, keberadaan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal sungguhlah membawa kabar gembira bagi Desa Tri Eka Buana, sebab perizinan menjadi lebih dipermudah. “Dari dua hari sudah ditarik oleh Pak Jokowi. Sebenarnya sudah merasa gembira dengan perpres tapi istilahnya kami ini kan kecil,” papar Derka. Kini, produksi arak Bali di desa hanya berlindung pada produk hukum daerah. Perihal pengembangan potensi arak hingga mendapat suntikan investasi, Derka mengaku waspada. “Yang ingin investasi sebenarnya ada tapi kami tidak berani karena tidak mau jangan sampai orang lain investasi kesini otomatis ya tetap dia yang menjadi bos masyarakat kami di sini tetap menjadi penonton makanya kami tidak terima,” ucapnya dengan nada tegas. Ia lebih sepakat dengan strategi pengelolaan yang dilakukan warga desa sehingga petani arak menjadi sentral dari tujuan menyejahterakan.

Keberpihakan pada warga desa produsen menjadi kunci. Arta menambahkan, penting bagi seluruh pihak untuk mendukung produksi arak yang dilakukan warga desa. “Arak sangat menjanjikan karena sudah mampu menghidupi warga Desa tri Eka Buana dari turun temurun,” ujarnya. Menjadi petani arak juga tidak mudah, perlu kesabaran, ketekunan, dan teliti dimulai dari tahap memanjat, menyadap, hingga mengolahnya. Arta menyebutnya; perlu keahlian. Oleh karenanya, desa produsen perlu keberpihakan dan perlindungan dalam pengelolaan produksi arak. “Agar arak 31 Buana go internasional, masyarakat dapat sejahtera.” Harapnya dengan senyum. Arta kemudian meneguk satu sloki arak buatannya sebagai penutup percakapan hari itu.

Reporter: Gangga, Puja, Galuh

Penulis: Galuh, Gangga

Penyunting: Fajar

You May Also Like