Menyambut Janji Manis Unud Bersistem BLU

“BLU (Badan Layanan Umum) cukup menjanjikan untuk fleksibilitas penggunaan dana dan membuka peluang usaha dengan praktik bisnis yang sehat,” ujar Prof. I Nyoman Norken, SU. Phd, koordinator pembuatan konsep BLU Universitas Udayana.

Pasal 53 UU. No 20 tahun 2003 tentang Undang-undang badan Hukum sistem pendidikan nasional telah membawa perjalanan panjang sistem pengelolaan kampus dari BHP (Badan Hukum Pendidikan) hingga BLU. Universitas Udayana (Unud) menjadi salah satu kampus yang mengikuti perjalanan panjang ini. Keputusan mahkamah konstitusi mengenai pencabutan undang-undang BHP sekitar akhir 2009 akhirnya bermuara pada keputusan rektor Unud untuk beralih ke sistem pelayanan BLU.

Saat itu universitas-universitas di Indonesia mempunyai dua pilihan yaitu beralih ke BHMN (Badan Hukum Milik Negara) atau ke BLU. BHMN bersifat Otonom sedangkan BLU lebih bersifat semi otonom. Oleh karena itu tim konseptor BHP Unud yang telah mendapatkan dana 4,3 Milyar untuk mempersiapkan Universitas menjadi BHP, diinstruksi oleh rektor untuk membuat usulan kepada menteri pendidikan dan kebudayaan untuk menjadikan Unud bersistem BLU pada tahun 2012.

Berdasarkan keputusan menteri keuangan RI No. 441/KMK/05/2011, Unud ditetapkan sebagai instansi pemerintah yang menerapkan pengelolaan  BLU. Keputusan ini ditetapkan pada 27 Desember 2011, dan mulai berlaku sejak 1 Januari 2012. Menurut Norken cita-cita BLU adalah meningkatkan layanan mahasiswa melalui fleksibilitas keuangan dan peluang untuk melakukan praktik bisnis yang sehat. “praktik bisnis ini bisa untuk menunjang proses pembelajaran,” imbuh Norken.

Meskipun sistem pengelolaan BLU ini bertujuan baik, tetapi ada kekhawatiran jika dilihat dari pasal-pasal yang ada di PP No. 23.tahun 2005 tentang BLU. Menurut Adji Prakoso, mantan presiden Badan Eksekutif Mahasiswa 2010-2011 berpendapat bahwa pasal 3 mengenai pengelolaan bisnis secara sehat dapat menimbulkan suatu persepsi berbeda. “Kampus ini orientasinya bisnis, walaupun tujuannya untuk memberikan pelayanan efektif, efisien, dan profesional kepada masyarakat,” kata Adji yang menyampaikan pendapatnya pada diskusi BLU 15 Februari 2012.

Kemudian pada pasal 9  yang menyatakan bahwa kampus bisa memungut biaya kepada mahasiswa, Adji menyatakan hal tersebut memungkinkan celah untuk mengambil pungutan melalui adanya ujian-ujian  yang bersifat mandiri atau pengambilan pungutan diluar pembayaran SPP mahasiswa.

Saat ini pembiayaan pendidikan di Unud sendiri terdiri dari tiga sumber, yaitu mahasiswa melalui pembayaran SPP sebesar 50%, APBN 45%, dan hasil usaha 5%. Norken menyatakan bahwa selama lima tahun kedepan biaya pendidikan dari masyarakat akan berkurang persentasenya. Hal ini sudah dicantumkan dalam standar pelayanan minimum dan  akan berjalan seiring perkembangan usaha yang dimiliki Unud. Walaupun tidak ada jaminan untuk menaikkan SPP, tetapi dosen S2 teknik Sipil ini berjanji tidak akan ada kenaikan SPP secara signifikan. “Belum bisa diramalkan SPP akan naik atau tidak, dan berapa persen, tergantung APBN yang diterima. Kemungkinan kenaikan harus ada hitung-hitungan, dengan kenaikan sekian apa yang bisa ditawarkan,” kata Norken.

Saat ini dan selama tiga tahun kedepan Unud masih akan menjalani masa transisi dari sistem pengelolaan BLU secara penuh. Akan ada beberapa hal yang sangat krusial harus dikerjakan Unud sebagai syarat administratif. Antara lain mengenai pola tata kelola Unud, rencana strategis bisnis, dan standar pelayanan minimum. Beberapa hal yang bersifat administratif tersebut akan dikerjakan secara bertahap. “Pertama-tama yang ingin dicapai yaitu bagaimana uang dapat digunakan secara langsung cepat, tepat, dan transparan,” ungkap Norken, koordinator penyusunan RBA (Rencana Bisnis Anggaran), revisi DIPA(Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran), dan tarif layanan.

Selain kekhawatiran yang dihadirkan BLU, sistem ini sebenarnya menjanjikan banyak hal terutama bagi kegiatan kemahasiswaan. Selama ini sistem pencairan dana mahasiswa dibatasi hingga akhir Oktober, dengan alasan Segala sesuatu yang surplus setelah periode itu harus dikembalikan kepada negara. Melalui BLU ada harapan keuangan dapat dipakai sepanjang tahun. BLU ini juga menjanjikan mengenai fleksibilitas pencairan dana kemahasiswaan. Selain itu pasal 8 PP No. 23 Tahun 2005 juga menjanjikan standart pelayanan minimum, pertimbangan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan. Menurut Adji Prakoso ini merupakan celah positif  untuk mengatasi ketimpangan pelayanan antara satu fakultas dengan fakultas yang lain, biaya berkeadilan antara semua golongan, dan semua komponen akan merasakan pelayanan yang sama.

BLU sebagai suatu sistem yang baru diterapkan hendaknya memang disambut hangat. Meski sejauh ini sosialisasinya masih belum dilakukan. Selama masih ada kekhawatiran yang beralasan tentu BLU membawa angin segar untuk sistem pengelolaan keungan di Unud. Adji Prakoso berpesan agar celah positif BLU diambil, sisi negatifnya diawasi secara ketat, dan peningkatan layanan kedepannya juga bisa dipertanyakan. Walaupun demikian, kebijakan-kebijakan yang ada memang belum dirumuskan secara sempurna, jadi BLU masih akan menjadi teka-teki selama masa transisi ini. (Py, Er, Asy)

You May Also Like