Bulan di Atas Kuburan

Kami berlarian di sekitar rumah warga seperti malam-malam sebelumnya. Aku dan teman-teman memutuskan untuk bermain kembang api, “Kurang seru nih, kalau hanya segini saja, bagaimana kalau kita lempar ke rumah pak RT?” kata Rusli, kami pun menyetujui dengan girang.

“DORRR!!!” terdengar suara ledakan, kami serempak berlari dengan tawa kegirangan bertepatan dengan pak RT yang keluar dari rumahnya dan mengeluarkan sumpah serapah yang justru tambah membuat kami bahagia. Saat kami sedang bersembunyi dari kejaran pak RT, saat itulah kami melihat ada suatu rumah yang dikerumuni oleh warga, kami memutuskan untuk mendekat.

Pranggg…Pranggg…Pranggg…
“APA YANG KALIAN LIHAT HAH? APA KALIAN SEMUA TIDAK PUNYA PEKERJAAN LAIN?” seru si bapak tua itu sambil memecahkan benda-benda kaca di sekitarnya.

Kutatap sekelilingku dan semuanya hanya dapat menatap ngeri bapak tua itu. Saat itulah, kejadian yang kupikir hanya ada dalam dunia fiksi terjadi di depan mataku, urat-urat di tubuh si bapak tua itu tiba-tiba saja terlihat, mata, dan mulutnya mengeluarkan darah. Si bapak tua itu tiba-tiba saja mengaum dan berlarian ke arah kami. Rani dan Rusli yang lebih cepat tersadar menarik aku dan yang lainnya agar segera berlari, kami terus saling menggenggam tangan satu sama lain. Namun, saat aku, Rusli, dan Rani menengok ke belakang, betapa terkejutnya kami bahwa kedua teman kami sudah tergeletak begitu saja dan ikut mengalami perubahan seperti si bapak tua.

Orang-orang di sekitar kami sudah ada yang mengalami hal serupa, aku terus bertanya di dalam hati apa yang sebenarnya terjadi. Aku berteriak kaget saat tiba-tiba saja ada yang memegang kakiku, Rani yang memang berada di dekatku langsung menendang orang tersebut. Akan tetapi, orang tersebut justru terlihat semakin beringas dan menerjang Rani, Rani berteriak menyuruh aku dan Rusli pergi meninggalkannya. Rusli menarikku yang masih menangisi Rani. “Kita harus cepat mencari tempat persembunyian, agar pengorbanan Rani tidak sia-sia.” Ujar Rusli kepadaku.

Dengan tenaga yang tersisa, aku dan Rusli terus berlari tanpa tahu arah. Tiba-tiba saja kami sudah sampai di sebuah pemakaman. Aku dan Rusli memutuskan untuk masuk ke pemakaman itu. Anehnya, saat kami menengok ke belakang orang-orang yang berubah layaknya monster tersebut sudah tidak terlihat.

“Sariiiii!” Teriakan Rusli membuyarkan lamunanku, aku berlari ke arah teriakan Rusli dan aku pun tersandung. Ketika akan bangkit, aku kembali terduduk saat melihat sebuah makam dengan nisan yang bertuliskan namaku, aku pun melihat makam di samping makam yang bertuliskan nama ku dan betapa terkejutnya aku saat nisan tersebut bernamakan Rusli.
Sebenarnya ada apakah ini, apakah teman-temanku sudah meninggal? Lalu apa aku ini? Apakah aku hantu yang gentayangan?

Bayangan hitam pun terus bermunculan di sekitarku dan kepalaku terasa sangat sakit sampai akhirnya aku tidak merasakan apa pun lagi. Kedua mataku seperti dipaksa untuk terbuka.

Apakah bulan yang menyinari kuburan masih ada? Aku perlahan membuka kedua mata ku dan bertanya apakah aku sudah di surga?

Saat sedang berpikir, aku merasakan sekujur tubuhku basah. “BANGUN SARI! KAMU GA CAPEK TELAT TERUS SEKOLAHNYA?” Saat mendengar suara ibuku, aku tersadar bahwa kejadian itu hanya bunga tidur. Cahaya yang menyilaukan itu bukan berasal dari bulan yang menyinari kuburan, melainkan berasal dari terik matahari yang melewati jendela kamarku.

Penulis : Lefira

Penyunting: Minati

You May Also Like